CDPS 19

Autumn in Massachussets
#Back_to_the_Past

Hari berganti begitu cepat. Nuansa kuning kemerahan perlahan berubah menjadi pucat. Titik-titik lembut berwarna putih jatuh menyelimuti tanah, menghiasi pepohonan menggantikan hijau daun menjadikannya putih sempurna. Pun dengan langit yang seakan mendukung pucatnya sang bumi disertai angin dingin yang menusuk.

Nuansa putih pun tak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit salju mulai mencair. Membuka tanah lapang untuk lahan tanaman yang bersemayam di bawahnya tumbuh. Mengubah warna putih pucat menjadi warna-warni yang indah. Dengan langit yang menampakan sinarnya kembali.

Perlahan namun pasti, putih itu menghilang dengan bantuan sang surya yang seolah baru terbangun dari tidur panjangnya. Memberi makan untuk seluruh tumbuhan di permukaan tanah dengan cahaya hangatnya. Memberi kekuatan pada pohon-pohon besar untuk kembali menumbuhkan dedaunan yang akan menjadi atap alami di sepanjang jalan.

Lama-kelamaan, sinar hangat sang surya semakin menjadi. Sepertinya, dia sedang bersemangat membagi sinarnya untuk makhluk bumi. Angin sepoi-sepoi yang datang menjadi hal yang luar biasa dinanti demi menyejukkan diri.

Saking semangatnya matahari membagi sinar, lambat laun hijau dedaunan pun menguning, kering hingga satu per satu gugur tertiup angin yang menyapa.

Namun, sepertinya banyaknya daun yang berguguran tidak sebanyak cinta yang meluap di antara sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Hari-hari yang mereka lewati bersama semakin menambah erat hubungan keduanya.

Tak habis rasa syukur Scarlette atas kejadian satu tahun silam yang membuatnya bertemu dengan pria idamannya. Pria yang nyaris sempurna di matanya. Tidak hanya tampan, tapi dia juga lelaki yang baik. Lelaki yang teramat dicintainya.

Hari ini, tidak ada rencana kegiatan apa pun yang akan dia lakukan. Kesibukkan selama ujian beberapa waktu yang lalu cukup menguras otak dan kali ini dia hanya ingin beristirahat. Menghabiskan waktu dengan menonton beberapa film.

Scarlette menyandarkan kepalanya di dada bidang Arnold yang merangkulnya sambil memainkan rambut halusnya. Sesekali, Scarlette menyuapkan tortilla pada Arnold tanpa mengubah posisi. Dia terlalu nyaman bersandar dalam dekapan lelaki itu.

Mereka sedang berada di flat milik Scarlette. Arnold tahu betapa lelahnya gadis itu setelah menghadapi segala macam ujian di kampus. Maka, Arnold menuruti saja kemauan Scarlette yang ingin berdiam diri menghabiskan waktu dengan beberapa kaset DVD, cemilan juga dirinya. Bukan suatu hal yang sulit untuk dituruti.

"Kau sudah berulang kali menonton film itu, apa tidak bosan?" tanya Arnold sambil menaruh dagunya di atas puncak kepala Scarlette, menghidu aroma mawar di tiap helai rambut gadis itu.

"Aku suka akting Leonardo DiCaprio di film ini. Dia juga tampan," jawab Scarlette dengan mulut sibuk mengunyah tortilla.

"Wanita mana yang tidak menyukai pria tampan? Apalagi dengan popularitas dan kekayaan. Itu sudah seperti magnet untuk menarik wanita."

Scarlette mengubah posisinya, menatap Arnold yang seolah menonton televisi. Padahal pikiran lelaki itu sedang melanglang buana entah kemana.

"Sepertinya aku mendengar nada kesal dari ucapanmu. Apa kau cemburu?" goda Scarlette.

"Tidak."

"Bohong! Kau pasti cemburu, iya, kan?"

Scarlette terus menggoda Arnold dengan menggelitiki pinggang. Membuat tawa Arnold meledak. Dia suka sekali menggoda Arnold, kadang dia rela bertingkah konyol hanya untuk membuat lelaki itu tertawa. Untuk sesaat, mereka saling balas menggelitiki. Tawa keduanya terurai memenuhi flat kecil itu. Sampai Arnold menahan kedua tangan ramping Scarlette dan menggenggamnya di kedua sisi tubuh gadis itu. Menatap mata biru terang yang bersinar jenaka dengan jarak yang cukup dekat.

"Untuk apa aku cemburu pada pria dalam televisi, sementara aku tahu di hatimu hanya ada aku."

Tak bisa dipungkiri. Hati Scarlette sudah penuh sesak dengan sosok lelaki di hadapannya. Bukan hanya hati, tapi otak dan pikirannya sudah tersita oleh Arnold.

"Percaya diri sekali." Scarlette mengalihkan pandangan dari tatapan tajam Arnold.

Ada ketakutan tersendiri yang dirasakan gadis itu saat menatap Arnold. Takut, lelaki itu akan tahu suatu hal yang sembunyikannya. Takut, kalau lelaki itu akan pergi meninggalkannya. Takut, kalau cinta mereka akan segera berakhir. Takut.

Arnold tak tahan melihat ekspresi memberengut Scarlette. Secepat kilat, dia mendekatkan wajahnya demi mencium gemas bibir gadis itu. Lalu duduk tegak kembali sambil menarik tubuh Scarlette dalam dekapannya.

"Ikutlah denganku ke Indonesia," ucap Arnold tiba-tiba.

"Kau tahu sendiri, aku masih harus melanjutkan kuliah. Tahun depan aku baru lulus, itupun jika proses riset untuk skripsi berjalan lancar," tolak Scarlette.

Sebenarnya, sudah beberapa kali dia mengajak Scarlette untuk terbang ke Indonesia. Dan, Scarlette selalu memberi alasan yang sama untuk menolak ajakan Arnold.

"Aku bisa menunggumu. Satu tahun lagi tidak akan menghabiskan waktu lama."

Aku ingin Arnold. Aku ingin! Tapi, aku benar-benar tidak bisa, teriak Scarlette dalam hati.

"Aku ingin mengenalkanmu pada kedua orangtuaku."

"Aku rasa... apa itu tidak terlalu cepat?"

"Apa empat musim yang telah kita lewati bersama masih membuatmu ragu?"

"A... aku... entahlah Arnold."

Scarlette melepaskan diri dari dekapan Arnold. Memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangan melingkar di depan dada. Ketakutan itu semakin menjadi. Dia takut kehilangan Arnold. Bukan karena lelaki itu tidak mencintainya, tapi takut karena cinta mereka tidak akan bersatu.

Selama ayahnya masih bersikeras dengan kemauannya. Selama itu pula dia harus mengalah dan menuruti apa pun perintah ayahnya. Dia tidak mau menjadi anak durhaka dengan membantah keinginan orangtua satu-satunya itu. Dia tidak mau sakit jantung ayahnya kambuh dan berakibat fatal.

Arnold duduk menghadap Scarlette yang tampak kebingungan. Mengarahkan wajah gadis itu untuk bertatapan dengannya.

"Kau tahu, bahwa aku mencintaimu, bukan?"

"Aku tahu."

"Lalu?"

Scarlette mendesah pasrah, melarikan tubuhnya tenggelam dalam dada Arnold. Dia tidak ingin Arnold menatapnya lebih lama. Bisa-bisa air mata yang selama ini mati-matian ditahannya luruh dan tak mampu menyembunyikan apa pun yang coba dia sembunyikan.

"Aku sudah bilang, aku ingin berkonsentrasi untuk bisa lulus dengan predikat terbaik."

Arnold tak menjawab. Hanya menjalankan tangannya untuk mengelus punggung Scarlette. Arnold tidak bodoh untuk tahu perasaan Scarlette. Dia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Dia hanya tak ingin menekan Scarlette dengan bertanya tentang apa pun. Jika Scarlette ingin, dia pasti akan bercerita padanya.

"Aku mohon, jangan bahas soal itu lagi."

"Baiklah!"

***

"Tidak bisa, Papa. Sekolahku belum selesai di sini!" Suara Scarlette sedikit kencang demi menolak keinginan mendadak ayahnya.

"Philip bisa mengurusnya." Rupanya, ayahnya tetap berkeras dengan kemauannya.

"Kenapa semua harus berhubungan dengan Philip? Kau menginginkanku pindah kemari karena pria itu dan sekarang kau menyuruhku untuk segera ke Swiss juga karena dia. Apa kau menginginkan aku menghabiskan hidup bersamanya juga?" Nada kesal tak bisa lagi disembunyikan dari suaranya. Selama ini dia sudah berusaha bersabar. Namun, semakin lama permintaan ayahnya semakin membuatnya tertekan.

"Memang itu yang aku inginkan. Jadi, jangan membantah lagi. Aku bisa hidup sampai hari pun karena keluarga Philip. Membalas budi itu wajib."

"Kenapa bukan kau saja yang membalas budi? Kenapa harus aku?" pekik Scarlette menutup telepon secara sepihak. Melempar handphone ke lantai dan membuat benda rapuh itu terburai. Tangisnya pecah, seiring dengan kesabaran yang sudah tak bisa dikendalikan.

Dia mengempaskan tubuh ke ranjang. Membenamkan wajah di atas bantal meredam suara isak tangisnya yang semakin kencang.

"Aaakkhh! Apa yang harus aku lakukan?" teriak Scarlette putus asa. Melempar bantal dan benda-benda yang terjangkau oleh tangannya. Dalam sekejap saja, kamar kecil itu sudah amburadul tak berbentuk. Semua benda melayang tak beraturan.

Lama dia menangis, menyesali perbuatannya yang dengan senang hati menuruti permintaan ayahnya. Kalau sejak awal dia menolak mungkin tidak akan begini jadinya. Tidak akan terjebak keinginan ayahnya atas dasar balas budi. Tidak akan bertemu Arnold dan terjebak cinta dengan pria itu yang membuatnya tidak lepas.

Dia bangkit dari ranjang, mengusap wajahnya lalu pergi ke toilet. Menyapukan bedak tipis untuk menghilangkan bekas air mata. Menyambar long coat dusty pink yang tergantung di pintu. Lalu pergi dari sana, mencari seseorang yang mungkin bisa menolongnya.

Keputusannya sudah bulat. Dia tidak mau lagi terus menuruti permintaan ayahnya. Menjadi budak atas dasar balas budi yang entah sampai kapan akan berakhir. Pergi dari sini, menjauh dan menghilang, mungkin akan menjadi solusi tepat demi terlepas dari segala tekanan yang ada.

Dia sudah lelah. Dia tak sanggup lagi untuk terus membohongi hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Dia tak bisa terus diam dan membiarkan penyesalan datang perlahan. Sudah cukup sampai di sini segala pengorbanan yang dia lakukan.

***

Sudah lebih dari sepuluh yang lalu Scarlette berdiri di depan pintu flat milik Arnold. Mengetuk berkali-kali dan tidak ada jawaban. Dia berusaha memanggil Arnold dan hasilnya sama saja.

Kemana dia?

Sialnya, handphone Scarlette rusak. Jadi dia tidak bisa menghubungi lelaki itu. Kebingungan melanda, pertanyaan 'kemana dia?' terus berputar di kepalanya. Sambil berjalan mondar-mandir dia mencoba memikirkan berbagai tempat yang mungkin akan didatangi lelaki itu.

"Scarlette?" Suara lelaki tiba-tiba menyentaknya. Seorang lelaki berambut pirang berjalan mendekat dengan langkah mantap.

"Mencari Arnold?" tanya lelaki itu yang diangguki oleh Scarlette. "Pagi sekali dia sudah pergi. Katanya dia harus terbang ke Indonesia hati ini juga."

"Apa?" Bagai guntur di siang bolong. Informasi itu langsung meluluhlantakan dirinya dalam sekejap.

"Apa dia tidak menghubungimu?" Scarlette menggeleng. "Baiklah, kalau begitu aku kembali ke flatku." Lelaki itu terlihat serba salah melihat Scarlette yang kebingungan. Lalu pergi meninggalkan gadis itu terpuruk sendiri. Tubuh Scarlette luruh seketika, jatuh terduduk di lantai bersamaan dengan hancurnya harapan yang baru saja dibangun.

Kenapa dia tidak menungguku? Tega sekali, meninggalkanku tanpa berkata apa pun. Kenapa kau tidak memberitahuku Arnold? Apa salahku hingga kau tega melakukan ini?

Tangisnya kembali pecah. Tertunduk dalam menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut. Yang terdengar hanya isak tangis menggema di sepanjang koridor. Merefkeksikan rasa sakit yang mendesak dada.

Kini, tak ada lagi tangan yang siap memeluknya jika dia terpuruk. Tidak ada lagi dekap hangat yang merangkulnya dengan penuh kasih. Tidak ada lagi belaian lembut yang melindunginya saat dia terluka. Tidak ada lagi binar mata yang menatapnya penuh cinta. Tidak ada.

Lelaki itu telah pergi. Salahnya memang, Arnold berkali-kali memintanya untuk ikut dan selalu dia tolak mentah-mentah dengan berbagai alasan. Arnold mungkin sudah muak dengan permintaanya yang selalu tidak mendapatkan hasil. Dan, kesalahannya membuat lelaki itu pergi. Tanpa kata. Tanpa salam perpisahan.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah penyesalan. Di saat dirinya telah memutuskan, ternyata semuanya telah terlambat. 

***

Akhir dari kisah Arnold dan Scarlette yang tanpa kejelasan. Apa bakal berlanjut? Atau hanya mengingatnya sebagai kenangan manis yang pernah mereka lalui bersama?

Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet vote 😉

Happy reading 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top