CDPS 18
Autumn in Massachussets
Tiga belas tahun lalu...
Seorang pria duduk termangu di bawah pohon ek menatap buku tebal tentang bisnis di tangannya. Matanya sibuk menjelajah huruf demi huruf, mengingatnya menjadi sebuah informasi penting dalam otaknya. Tak peduli dengan angin yang menerpa wajah, membuat sebagian rambut yang semula tersisir rapi menjadi berantakan.
Sesekali dia menyurai rambut ke belakang, saat di rasa rambut bagian depannya menganggu pandangan. Wajahnya terlihat begitu serius. Mata elangnya terfokus tajam membaca setiap kalimat yang tertera di sana.
Buku setebal hampir lima ratus halaman itu, bukan buku pertama yang dia bedah hari ini. Di samping kiri di atas sebuah batu besar, terdapat tiga buku yang tak kalah tebalnya. Masing-masing dengan tema serupa tapi berbeda isi dan pembahasan. Namun, tetap saja. Buku setebal itu bisa dilahapnya dalam sekali duduk. Apalagi, sebentar lagi mendekati musim ujian. Dia harus ekstra menggali segala informasi sebanyak yang dia bisa dapatkan.
Rupanya, waktu dua jam yang dihabiskannya di bawah pohon cukup membuatnya lelah. Dia menutup buku dengan terlebih dahulu menandai bagian akhir bacaannya. Menggeliatkan tubuh, merentangkan tangan demi mengurangi pegal di punggungnya.
Dalam sekejap sana, buku-buku miliknya sudah tersusun rapi dalam ransel hitam. Dia berdiri, bersiap menuju kelas berikutnya siang ini. Pria itu begitu mencintai kesempurnaan. Segala sesuatunya terorganisir rapi tanpa cela.
Dari mulai jadwal kuliah, belajar kelompok sampai kelass tambahan dia catat dalam agenda yang selalu dibawanya. Dia sudah harus memulai memikirkan masa depannya. Ralat, bukan kehidupan pribadinya, tapi masa depan perusahaan yang dikelola oleh sang ayah.
Sejak akhir tahun lalu, Arthur --ayahnya-- selalu menekan dirinya dengan tanggung jawab perusahaan. Padahal, usianya masih muda. Pendidikannya pun belum mumpuni untuk memimpin suatu perusahaan. Meski, kecerdasan otaknya di atas rata-rata, tetap saja dia masih ragu untuk terjun langsung ke dalam dunia bisnis.
Dia tidak mau terburu-buru dengan bertindak nekad. Duduk di kursi tertinggi tanpa ilmu. Salah-salah, perusahaan akan langsung runtuh dalam sekejap. Membuat ratusan karyawan Vince.inc terlunta menderita. Membuat hidup glamor ibunya berakhir dan menjadikan wanita itu depresi akibat tak ada lagi yang menyanjung popularitasnya. Membuat adik satu-satunya mati langkah tak bisa menggapai impian.
Maka dari itu, sebisa mungkin dia menahan diri dari godaan kekuasaan yang menggiurkan. Menutup mata dari bayangan kesenangan memerintah orang dengan telunjuk terangkat. Menutup telinga dari bisikkan kekuasaan yang akan berpindah dalam genggamannya.
Tidak. Prioritasnya saat ini adalah menggali ilmu sedalam mungkin. Mengumpulkannya untuk menjadi pegangan saat berdiri di posisi tertinggi agar tidak mudah jatuh.
Langkah kakinya mantap menapaki koridor kampus terbesar di Massachussets. Harvard University, kampus dengan bangunan khas berwarna merah yang dikelilingi oleh tumbuhan ivy. Kampus bergengsi yang telah melahirkan orang-orang ternama di seluruh dunia.
Sambil berjalan, dia membuka agenda melihat jadwal untuk hari ini. Tak ada kegiatan yang penting. Jadwal setelah kelas Mr. Stuward kosong. Jadi, dia bisa sedikit menarik napas dari rutinitas yang membosankan.
Tiba-tiba dari arah berlawanan seseorang berlari dan menabraknya. Membuat agendanya terjatuh, pun dengan beberapa buku yang dibawa gadis berambut golden blonde yang menabraknya.
"Maaf," ucap gadis itu sambil memungut bukunya. Arnold melakukan hal yang sama, berjongkok untuk mengambil agenda yang tergeletak pasrah di lantai koridor.
"Berhati-hatilah!" Arnold berkata ketus, kesal dengan tingkah gadis itu yang sembrono.
"Aku, kan sudah minta maaf." Gadis itu berkata tak kalah kesalnya.
Dia berlari bukan tanpa alasan. Kelasnya akan dimulai lima menit lagi. Sialnya, sekarang kelas Miss Harley yang terkenal kejam. Miss Harley tak akan segan-segan memberi nilai F jika ada salah satu muridnya yang melanggar aturannya. Telat sedikit saja, tidak ada yang boleh masuk. Tiga kali berturut-turut terlambat, ancaman nilai terendah sudah menanti.
"Sekali lagi aku minta maaf." Gadis itu segera berlari setelah mengatakan maaf dengan raut wajah kesal. Arnold menggeleng melihat tingkah gadis itu. Larinya cepat sekali, dalam sekejap saja dia sudah menghilang di belokan koridor kanan.
Saat kakinya akan melangkah, sudut matanya menangkap sebuah benda pipih hitam di dekat beton pembatas setinggi setengah paha. Arnold meraih benda itu. Alisnya bertaut, berpikir handphone milik siapa yang terjatuh di sana.
Handphone itu berdering sekali, menandakan sebuah pesan masuk. Layar handphone otomatis menyala, menampilkan wallpaper seorang gadis yang berdiri di dekat air terjun Niagara dengan gaya dua jari terangkat membentuk huruf V.
Milik gadis itu, batin Arnold.
Percuma Arnold mencoba melongok ke arah di mana gadis itu menghilang. Karena sudah dipastikan, dia tidak sadar handphonenya terjatuh. Ditunggu pun tidak mungkin, kelas Mr. Stuward akan dimulai sebentar lagi. Jadi, dia memutuskan untuk membawa benda pipih itu bersamanya dan akan kembali lagi kemari jika kelas sudah selesai. Dengan harapan akan bertemu kembali dengan gadis itu.
***
Seperti dugaannya, gadis itu sedang berjalan tertunduk sepanjang koridor. Raut kebingungan tercetak jelas di wajahnya. Berkali-kali dia mendesah kesal sambil sesekali menghentakkan kaki. Sebelah tangannya memeluk beberapa buku, sebelah lagi digunakan untuk menahan rambut agar tidak menghalangi pandangannya saat tertunduk.
"Kau mencari ini?" Gadis itu mendongak, melihat benda yang dicarinya di tangan seorang pria tidak dikenal.
Spontan, dia merebut handphone miliknya dari tangan Arnold kemudian berkata, "darimana kau mendapatkannya?"
"Tepat di tempat kau berdiri sekarang."
Gadis itu seakan tak mendengar perkataan Arnold dan sibuk dengan handphonenya. Membalas puluhan pesan singkat yang hampir membuat Arnold kehilangan konsentrasi saat kelas berlangsung karena getaran handphone milik gadis itu begitu menganggu.
"Tidak ada ucapan terima kasih untukku?" ujar Arnold kesal karena tidak dianggap. Padahal berkat dialah benda hitam pipih itu bisa kembali pada pemiliknya. Coba saja orang lain yang menemukan, tak yakin akan kembali utuh tanpa cacat sedikitpun atau bahkan tak akan pernah kembali.
"Ah, maaf dan terima kasih telah mengembalikan handphone-ku."
"Tepatnya menemukan handphone-mu."
"Whatever!" ucap gadis itu memutar bola matanya.
Dari pertemuan tidak sengaja itu, entah bagaimana caranya berlanjut menjadi makan siang bersama di sebuah restoran cepat saji dekat kampus. Tidak sulit untuk Arnold mengakrabkan diri dengan Scarlette. Gadis itu tipe wanita periang dan banyak bicara. Berbanding terbalik dengan Arnold yang lebih suka menjadi pendengar.
Dalam sekejap saja, Scarlette sudah bicara panjang kali lebar. Menceritakan apa pun yang ada dalam pikirannya. Sementara Arnold tak banyak menanggapi, hanya sesekali membalas ucapan Scarlette. Dia lebih senang mengajukan pertanyaan pada Scarlette dan mendengarkan gadis itu berbicara.
"Aku baru masuk awal semester kemarin. Dan, tempat itu membuatku bingung." Scarlette berucap sambil mengunyah kentang goreng dan potongan ayam.
"Pantas, aku tidak pernah melihatmu."
"Kau tahu? Saking bingungnya, di minggu pertama saja aku sering kesasar salah masuk ruangan kelas. Bahkan, aku pernah duduk di kelas oseanografi selama lebih dari satu jam. Dan baru menyadari kalau aku salah masuk pada menit-menit terakhir."
Arnold tertawa melihat wajah Scarlette. Membayangkan gadis itu saat duduk di kelas Mr. Harrison dengan wajah kebingungan. Scarlette seorang mahasiswi pindahan dari Cambrigde. Mengikuti kemauan ayahnya untuk melanjutkan sekolah di Harvard. Untung saja, Scarlette cukup cerdas untuk menyamakan mata kuliah dari kampus yang berbeda.
"Apa yang membuat ayahmu ingin kau pindah kemari? Bukankah Cambridge memiliki universitas yang tak kalah bagus?"
Scarlette mendesah malas, "aku pun tak tahu. Hanya saja, dia pernah berkata ada seorang anak dari temannya yang menjadi lulusan terbaik di sini. Dan, dalam waktu beberapa tahun saja anak itu sudah menjadi kepala rumah sakit di Swiss."
"Wow."
"Yeah, wow!" ujar Scarlette malas menanggapi.
"Apa dengan begitu kau akan bisa mengikuti jejak teman ayahmu itu? Menjadi kepala rumah sakit hanya dalam beberapa tahun saja."
Scarlette tak langsung menjawab, dia mengambil gelas kertas berisi minuman soda. Menyeruputnya hingga tandas, mengelap bibirnya dengan tisu dan bersandar di kursi.
Menyusun kalimat yang pas agar Arnold mengerti dan tidak bertanya lagi. Enggan sebenarnya membahas tentang anak teman ayahnya itu. Kalau bukan karena hutang budi, mana mau dia terbang jauh-jauh ke Amerika dan tinggal sendiri di sini. Hanya karena kemauan bodoh teman ayahnya, dia harus rela kuliah di Harvard. Semua demi hutang budi yang harus dibayarnya. Pindah ke Harvard dan...
"Mungkin dalam pikiran ayahku, semua yang berhasil lulus dari universitas itu akan menjamin kehidupannya akan maju jaya. Padahal, tidak semua seperti itu, bukan?" Rasa kesal tak bisa ditutupi dari wajah cantik Scarlette. "Berharap aku bisa sesukses anak temannya itu."
"Kau benar." Arnold meraih cangkir kopi yang sudah agak dingin. Meminumnya perlahan menikmati aroma kafein yang sanggup menenangkan saraf.
Scarlette memperhatikan cara Arnold minum. Begitu anggun bak seorang raja yang sedang bersantai dengan cangkir kopi. Bagaimanapun dia mencoba untuk tidak menatap Arnold, tetap saja wajah tampan lelaki di hadapannya itu tidak bisa diabaikan. Apalagi, saat sepasang mata elang yang bernaung di bawah alis lebat itu menatap tajam ke arahnya.
Ada getaran aneh yang dirasakannya saat mata mereka beradu pandang. Saling melempar senyum canggung yang membuat gadis berusia dua puluh tahun itu salah tingkah. Berkali-kali membetulkan letak rambutnya, diselipkan di belakang telinga.
Scarlette sadar dengan siapa dia duduk. Lelaki tampan itu telah membuat hatinya berdebar tak keruan sejak pandangan pertama. Dia bersyukur atas kejadian tak terduga tadi di kampus. Menabrak lelaki setampan Arnold merupakan suatu berkah tersendiri.
Apa ini yang dinamakan 'love at first sight'?
***
Flashback dulu ke masa lalu Arnold. Ada sesuatu yang Scarlette sembunyikan, apa itu?
Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet vote 😙
Happy reading 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top