CDPS 16
SUMMER
Aliyyah
Zurich, kota terbesar di swiss yang menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Kota yang terkenal dengan kehidupannya yang mahal. Kota yang indah dengan bangunan yang masih terbilang kuno ala era renaisans abad ke-14. Klasik dengan kesan romantis yang kental.
Mataku tak lelah untuk terus menatap pemandangan yang tersaji di luar sana. Melihat ke kiri kanan jalan yang terstruktur rapi. Ruas jalan luas dengan sedikit kendaraan, membuat aku leluasa untuk mengagumi tiap penjuru kota. Berbeda dengan kota metropolitan di Indonesia yang penuh sesak dengan kendaaan dan polusi.
Apalagi saat melewati Bahnhoftrasse, ruas jalan terbesar di Zurich dengan berbagai toko high end dan cafe berjajar di sepanjang jalan. Berbagai macam fashion store ternama kelas high end menjadi surga tersendiri untuk fashionista. Swiss terkenal dengan jam hasil ciptaan tangan-tangan ahli di negara ini. Maka, tak heran jika banyak toko-toko yang menyediakan jam tangan berbagai merk dengan harga yang fantastis. Harga yang dibandrol di sini cukup mahal memang. Namun, sebanding dengan panorama kota yang begitu memukau.
Pejalan kaki hampir mendominasi ruas jalanan Bahnhoftrasse. Aku tak sabar untuk segera turun dan bergabung bersama pejalan kaki itu. Menyusuri jalanan asri kota Zurich. Duduk di depan cafe di pinggir sungai Limmat dengan secangkir capuchinno menikmati pemandangan kota.
Saking terpesonanya aku dengan pemandangan, hingga tak kusadari tatapan Arnold yang lekat memandangan ke arahku. Bayangannya terlihat dari kaca jendela mobil. Samar, tapi itu cukup membuatku terpaku pada bayangannya.
"Kau suka?" tanyanya saat aku membetulkan posisi duduk tegak menghadap ke depan, tapi dengan mata yang masih menatap ke luar.
"Sangat!" jawabku antusias.
"Jika aku sudah bisa berjalan, aku akan mengajakmu berkeliling."
Aku menoleh secepat kilat demi menatap matanya. "Sungguh?" Rasa antusiasku semakin besar melihatnya mengangguk.
"Janji?" Aku mengangsurkan jari kelingkingku padanya sebagai tanda perjanjian kami. Seperti kebiasaan kami dulu.
"Janji." Dia membalas dengan mengaitkan kelingkingnya.
Aku mendapati Charllene tersenyum sendiri melihat tingkah lakuku. Dia duduk di depan bersama Toby yang menjadi pemandu jalan. Toby akan tinggal bersama kami selama beberapa hari ke depan sampai Arnold benar-benar bisa melakukan segala hal sendiri. Sedangkan Charllene, dia akan kembali ke Indonesia besok. Rafael --anaknya-- sedang sakit dan butuh kehadirannya segera.
Mobil memasuki jalan yang lebih sempit bernama Rosengartenstrasse dan berhenti di sebuah apartemen. Bangunannya tampak sederhana. Berlantai lima dengan cat warna hijau pastel yang lembut. Halaman yang luas tersaji di depan bangunan dengan sebagian besar berupa taman rumput berhias bunga warna-warni dalam pot-pot besar.
Kami semua turun. Toby bergegas mengeluarkan kursi roda dalam bagasi, mengaturnya lalu memindahkan Arnold ke atas kursi roda. Aku mengambil alih posisi Toby untuk mendorong kursi roda bergantian dengan pria itu yang mengangkat beberapa koper ke lobi.
Seorang pria berperawakan tinggi kurus dengan pakaian rapi menghampiri kami. Tepatnya menyapa Charllene yang sepertinya sudah mengenal pria itu. Terlihat dari cara mereka berbicara akrab.
"Ini kakakku, Arnold dan Aliyyah. Dan itu Tobias," ucap Charllene mengenalkan kami satu persatu.
"Halo, saya Greg Anderson. Teman Charllene," sapa pria itu menyalami kami bergantian.
"Dia yang membantuku merenovasi apartemen yang akan kalian tinggal. Sekaligus pemilik tempat ini."
"Semoga Anda menyukainya." Greg berkata sopan dengan senyum yang ramah.
Mr. Anderson membawa kami ke dalam. Seorang pria bertubuh tambun yang duduk di sisi kanan pintu lobi spontan berdiri melihat kedatangan kami. Memakai kemeja dengan vest rajut cokelat tua ditambah dengan newsboy merab maroon bermotif garis tipis hitam di atas kepalanya.
"Selamat sore, Tuan dan Nyonya," sapanya ramah sambil sedikit membungkuk hormat. Aku mengangguk untuk membalas sapaannya.
Menaiki lift menuju lantai tiga dan masuk ke dalam ruang apartemen berpintu hijau tua dengan hiasan rangkaian huruf double A berwarna emas tergantung di pintu. Pintu terbuka dan mataku terbelalak seketika.
Ruang tamu yang terdiri dari sofa mini beserta meja kaca tertata rapi. Di sisi kanan, dua ruang kamar saling bersebelahan. Kamar depan bernuansa klasik dengan furniture terbuat dari kayu bercat cokelat tua. Dinding bercat putih bersih. Juga ranjang queen size bersprei putih di tengah ruangan diapit oleh dua nakas di kanan kirinya. Tak lupa, dua buah lampu tidur berdiri cantik di atasnya. Ini pasti kamar untuk Arnold.
Benar saja, saat aku masuk ke kamar sebelahnya. Semua yang ada di kamar ini berwarna hijau. Wallpaper dinding bermotif abstrak didominasi warna putih dan hijau. Ranjang queen size bersprei hijau dengan motif padang rumput. Lemari kayu juga berwarna hijau metalik.
Aku melirik ke arah Charllene yang tersenyum jenaka melihat wajah bengongku.
"Kenapa harus hijau?" tanyaku padanya.
"Sengaja, agar kau betah tinggal di sini. Feel like home, sama seperti rumah kalian, bukan?"
Aku tertawa. Hijau atau tidak hijau, asalkan bersama Arnold aku pasti betah tinggal di sini.
Aku kembali berkeliling. Tidak hanya kamarku saja yang dihiasi warna hijau, tapi tiap penjuru rumah ini tersentuh warna hijau. Masuk lebih dalam terdapat dapur lengkap dengan isinya tersusun sedemikian rupa. Sebuah pintu kaca membatasi ruang apartemen dan balkon.
Kubuka pintu kaca tersebut dan pemandangan luar biasa langsung menyambutku. Atap menara gereja Fraumünster yang berwarna hijau menjulang tinggi, begitu kontras dengan langit biru yang cerah. Atapnya yang berbentuk kerucut lancip seakan menembus langit. Satu keunikan menara tersebut ialah jam besar yang menghias sekeliling menara bernuasa neo gothic. Tower clock itu merupakan salah satu ciri khas Zurich.
Udara bersih, penduduk yang ramah juga suasana klasik begitu menggodaku untuk menjelajahi kota Zurich. Apalagi, di musim panas seperti ini danau Zurich akan ramai dengan pelancong yang menghabiskan waktu di sana. Berpiknik, berenang atau sekadar berjemur di bawah hangat sinar sang surya.
Tepukan halus mengalihkanku dari petualangan imajinasi. Charllene berdiri dengan isyarat mata untuk segera ke kamar depan. Kamar Arnold.
Dia berbaring di ranjang dengan mata terpejam. Toby baru saja membenahi letak kaki Arnold, mengganjalnya dengan bantal. Dia pasti lelah duduk selama berjam-jam dalam perjalanan tadi. Aku menghampirinya. Dia membuka mata dan menyambutku dengan senyumannya.
"Anda pasti lelah. Mau saya buatkan teh hangat?"
Arnold menggeleng, "aku hanya ingin beristirahat."
"Baiklah!" Aku mengatur AC dengan suhu yang tidak terlalu dingin. Lalu pergi ke luar, meninggalkannya yang terlelap kelelahan.
"Kak, aku sudah menyiapkan segala keperluan kakak di sini," ucapnya sambil membuka lemari es yang terisi penuh. Beberapa kabinet lengkap dengan bumbu dapur. Bahkan, ada bumbu instan khas indonesia juga.
"Ini?" Aku mengangkat satu kotak berisi berbungkus-bungkus bumbu instan.
"Aku menyuruh Bibi Maria untuk membeli semua bahan itu di Indonesia dan mengirimkannya kemari. Itu semua baru datang kemarin. Aku memang sengaja menyiapkan ini jauh sebelum kalian tahu akan kemari."
"Maksudnya?" Aku mengikuti Charllene duduk di kursi makan dapur dengan wajah bingung.
"Sebenarnya, aku sudah berencana menyewa flat di daerah Lausanne yang akan kalian tinggali berdua. Tapi, ternyata Dokter Theo tidak bisa melanjutkan terapi dan merekomendasikan dokter di sini. Maka, aku putuskan untuk menyewa flat ini, merenovasinya sesuai ciri khasmu dan jadilah seperti ini." Dia semakin mengembangkan senyum di wajahnya. Tangannya meraih salah satu bumbu dalam kotak.
"Kak Arnold suka sekali masakanmu. Aku berharap, dia akan segera mengingatmu melalui masakan yang kau sajikan untuknya."
"Ya, I hope so."
Aku menatap deretan bumbu dalam kotak. Masih membekas dalam ingatanku bagaimana wajah Arnold saat duduk manis di kursi meja makan menungguku menyajikan masakan. Desah nikmatnya ketika sendok masuk suap demi suap mengantarkan makanan ke mulutnya. Atau saat dia mengacau di dapur karena ingin membantuku memasak. Hal sederhana yang justru membuatku merindukannya.
Akan kubawa kembali setiap kenangan yang pernah kita ukir bersama. Menuangkannya dalam setiap sentuhanku. Menyalurkannya dalam setiap rasa yang masuk ke tubuhmu.
"Pikat dia dengan masakanmu. Aku yakin, ingatannya akan segera kembali. Apalagi..." Charllene mendekatkan wajahnya ke arahku dan berbisik, "aku melihat kalian berciuman."
Sontak wajahku langsung memerah dengan mata terbelalak. Sedangkan Charllene tertawa puas melihat ekspresiku.
"Kau mengintip?" protesku yang balas dengan bahak membahana.
"Aku tidak sengaja melihat kalian."
Aku mendesah malu, menundukkan kepala hingga menyentuh meja makan terbuat dari kayu bercat putih. "Aku malu..."
"Tidak usah malu. Aku yakin... sangat yakin, kau selalu ada dalam memorinya. Hanya saja, dia masih bingung."
"Doakan yang terbaik."
***
Perkataan Charllene ada benarnya. Mungkin Arnold akan bisa mengingatku melalui masakan. Aku sudah hafal betul lidahnya. Apa yang disukai dan dibenci olehnya.
Charllene telah menyiapkan ini semua demi mengembalikan ingatan Arnold. Membiarkan kami hidup berdua dan menghabiskan waktu dengan sebaik-baiknya. Dengan harapan, setiap waktu yang kami habiskan akan membawa sedikit demi sedikit memorinya.
Meski akan sedikit sulit. Menurut penjelasan Dokter Fischer, amnesia Arnold termasuk amnesia retrograde yang disebabkan trauma pada kepala dan efek operasi. Ingatan masa lalu Arnold selama beberapa tahun terakhir hilang sepenuhnya dengan kemungkinan akan bersifat permanen.
Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa ingatan Arnold akan kembali. Dan, biasanya pada jenis amnesia yang diidap Arnold, dia akan ingat dengan sendirinya secara spontan tanpa paksaan. Jika Arnold dipaksa untuk mengingat kejadian yang dilupakannya, kemungkinan besar dia akan menolak informasi apa pun itu dan malah tidak akan mengingat apa pun lagi.
Itu menjadi salah satu penyebab aku menolak saran Charllene untuk memberitahu siapa diriku. Lagi-lagi Carol benar dengan larangannya untuk tidak memberitahu Arnold informasi apa pun tentangku, karena hal itu akan mempengaruhi mental dan psikis Arnold.
Saat ini, kesembuhan fisik Arnold menjadi prioritas utama bagiku. Walaupun, tiap waktu yang kuhabiskan bersamanya akan sangat berat. Tak apa, asalkan dia bisa pulih kembali.
***
Jaeellah, Charllene sampe segitunya amat
Dua hari ga nulis, gatel juga. Meski masih rada kleyengan, akhirnya dapet segitu 🤣
Pusing riset 😵
Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet like 😅
Buat yg ketinggalan bisa akses lewat wattpad dengan link
https://my.w.tt/3Jtw7eWcpO
Happy reading 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top