CDPS 13

SPRING

Aliyyah

Mataku nanar menatap selembar kertas di tanganku. Kertas yang akan mengakhiri hubunganku dengan Arnold. Kertas yang akan memutuskan tali keluarga antara ayah dan anak. Kertas yang akan menghancurkan hidupku.

Hanya selembar kertas, tapi nasibku dan kedua anakku bergantung padanya. Perjalanan bahtera kami mengarungi samudera harus terhenti secara paksa. Petualangan hidup kami menjelajahi dunia bersama harus berakhir. Terputus tanpa ada jejak.

Setelah pertemuan yang kurang menyenangkan dengan Carol siang tadi. Dia memberiku sebuah amplop berisi surat pernyataan ini. Sepertinya, waktu beberapa minggu kemarin dia pergunakan untuk mengurus segala tetek bengek yang berhubungan dengan pernikahanku dan Arnold.

Dia memintaku bertemu di sebuah cafe yang terletak tak jauh dari rumah sakit. Sekitar lima menit berjalan ke arah kanan. Aku mengikutinya yang berjalan lebih dulu. Sambil berpikir, hal apa yang ingin dia bicarakan denganku. Berbagai pikiran buruk menyerang pikiranku. Aku menggeleng, berusaha menepis firasat buruk yang bermunculan di otakku.

Carol mempersilakan aku untuk duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Terlihat sekali dia tak ingin berlama-lama berada di dekatku. Seolah, aku ini memiliki penyakit menular yang mematikan.

"Kau mengurusi Arnold dengan baik," ujarnya memuji dengan nada sinis. Entah apa tujuannya berkata begitu.

"Alhamdulillah, Arnold semakin baik. Bagaimana kabarmu, Mom?"

"Tak usah banyak basa-basi. Aku kemari hanya untuk memberikan ini," sahutnya sambil menyodorkan amplop cokelat dari dalam tasnya

"Apa ini?" Aku meraih amplop itu. Firasat buruk semakin menghantuiku.

"Kau bisa membacanya sendiri."

Aku membuka amplop itu dengan ragu dan terhenyak seketika membaca isinya. Huruf di kepala surat tercetak dengan jelas bertuliskan surat gugatan cerai atas nama Arnold.

"Apa ini?"

"Ingatan Arnold tidak akan kembali. Jadi, percuma saja kau tetap berada di sampingnya dan mengaku sebagai istri."

"Aku memang istrinya, Mom. Aku istri sah Arnold."

"Tidak lagi dalam beberapa bulan ke depan."

"Mana bisa begitu!" Aku terus membantah keputusan sepihaknya yang ingin memisahkanku dengan Arnold. Aku tidak rela jika rumah tangga yang baru aku bina harus berakhir dengan cara seperti ini.

"Kenapa tidak bisa? Aku lebih berhak atas Arnold dibandingkan dirimu!" pekiknya dengan tatapan sinis.

"Mom..."

"Aku rasa waktu empat tahun sudah cukup bagimu untuk menikmati harta Arnold. Sekarang saatnya kau pergi!"

"Aku tidak menerima pinangannya hanya karena harta, Mommy. Aku tulus mencintainya."

"Sayangnya, cinta tulusmu harus berakhir. Kuberi kau waktu selama enam bulan ke depan sampai Arnold benar-benar pulih dari cederanya. Setelah itu kau boleh pergi bersama anak dan ibumu."

Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, dia berlalu begitu saja. Meninggalkan sayatan-sayatan pisau yang tertancap dalam di dasar hatiku.

Sakit. Perih. Pedih.

Ya, Tuhan. Apa salahku padanya hingga dia tega berbuat seperti ini? Apa salahku hingga dia begitu membenciku? Apa yang salah dari diriku?

Lagi-lagi air mataku tumpah tak tertahankan. Kubenamkan wajah di atas bantal, meredam isak tangis yang semakin kencang seiring dengan rasa sakit yang semakin menjadi.

Kenapa mencintai harus begini sulit? Aku tulus mencintainya. Tak pernah sedikitpun terpikir olehku akan ada rintangan begini besar yang harus kuhadapi. Aku tak pernah menyangka, kebencian Carol sanggup membuatnya melakukan hal kejam seperti ini.

Aku mengerti, Carol lebih berhak atas Arnold. Aku paham, bahwa seorang anak lelaki akan tetap milik ibunya sampai kapanpun. Tapi, apa harus seperti ini? Menyakitiku dengan segala kebencian yang dimilikinya untuk memisahkan kami.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa?

***

Waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Pipiku masih basah, mataku sembab dengan hidung yang merah sempurna. Tubuhku lemah, berat sekali rasanya untuk bangkit berdiri. Tenagaku habis terkuras oleh air mata yang terus mengalir semalaman.

Charllene tidak ada. Dia sedang menunggui Arnold di rumah sakit bersama Carol. Sengaja aku menyuruhnya untuk diam di rumah sakit. Jadi, aku bisa bebas meluapkan air mata tanpa perlu takut ketahuan. Tanpa perlu menyembunyikan segala kesedihan yang kurasa. Tanpa perlu menjelaskan persoalan yang sedang kuhadapi.

Aku tidak ingin mengulang-ulang perkataan Carol. Cukup aku dan hatiku yang tersakiti. Charllene tidak perlu tahu. Aku tidak ingin dia membenci Carol karena sikap semena-mena ibunya. Hubungan mereka sudah renggang akhir-akhir ini, dan aku tidak ingin menambah rumit hubungan keduanya.

Biarlah aku yang menanggung rasa sakit ini. Biarlah semua berjalan seperti yang Carol minta. Biarlah waktu yang akan menjawab semua. Menyembuhkan luka yang entah kapan bisa mengering.

Perkataan Carol ada benarnya. Dalam memori Arnold tidak ada sedikitpun kenangan tentangku. Jika kupaksakan menjejali otaknya dengan segala kenangan kami, aku tidak yakin dia akan menerimanya.

Kuserahkan semua pada Sang Khalik. Sang Maha Pencipta. Sang Maha Pembolak-balik Hati. Jika kami masih ditakdirkan untuk berjodoh, maka dia akan tetap berada di sampingku. Apa pun bisa terjadi. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi hari esok. Bisa jadi, esok atau lusa langit berpihak padaku dengan mengembalikan Arnold-ku. Mengembalikan Arnold dalam dekapanku.

Kupaksakan tubuh lemahku untuk bangkit. Membasahi wajah dengan air wudhu, bersiap menghadap Sang Illahi. Mengadu pada-Nya atas kelemahanku. Menceritakan pada-Nya seberapa sakitnya aku. Menengadahkan tangan meminta petunjuk-Nya. Memohon. Berdoa untuk kesembuhan Arnold dengan air mata yang terus berlinang.

***

Kulirik penunjuk waktu yang tergantung di dinding. Pukul enam pagi, dan Indonesia sudah menjelang siang. Kuraih handphone, mencari kontak yang bisa kuhubungi di sana. Aku merindukan mereka. Aku rindu ibu, dia yang menggantikanku menjaga dua malaikat kecilku.

Sebelum kutekan nomor milik ibu, aku berlari kecil menuju toilet. Memperhatikan wajahku dan meraih tas kecil berisi riasan. Kupulas wajah dengan bedak tipis, memakai lipstik demi menutupi wajah pucatku. Kutepuk-tepuk kedua pipi agar aliran darah di sana menjadi lancar dan membias kemerahan.

Lalu kembali ke atas ranjang, menekan nomor ibu dan menunggu deringnya tersambung. Teriakan cempreng Manda menyambutku di seberang sana, bergantian dengan Rama yang berebut ingin memegang handphone. Alhasil, ibu melerai keduanya dan memegangi handphone dengan duduk di antara Rama dan Manda.

"Assalamualaikum, Sayang. Ibu apa kabar?" Sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak sempat menghubungi mereka. Aku tidak bisa melakukan panggilan jika ada Arnold di dekatku.

"Wa'alaikumusalam, alhamdulillah baik."

"Alhamdulillah, Bunda," jawab Rama sambil memegang mobil mainan berwarna merah.

"Mobil baru, ya?" tanyaku yang diangguki oleh Rama.

"Kemarin Om Bara ke sini, mengajakku dan Manda pergi ke bioskop, Bunda. Terus pulangnya mampir ke toko mainan, Rama dibelikan mobil ini. Bagus, kan, Bunda?" celoteh Rama sambil menunjukkan mobilnya.

"Nda uga unya boeta balu, Bunda. (Nda juga punya boneka baru, Bunda.)" Manda tak mau kalah dengan mengangkat tinggi-tinggi boneka karakter Olaf.

"Badus, kan, Bunda? Nda cukaaa cekali. (Bagus, kan, Bunda? Nda suka sekali.)" ucapnya sambil memeluk boneka barunya.

Wajahnya lucu dengan rambut ikal yang dikuncir dua. Bibirnya merah alami dengan kulit putih. Matanya mirip Arnold, bermanik cokelat terang. Secara keseluruhan, Manda sangat mirip Arnold. Kalau bisa dibilang, Manda itu versi femininnya Arnold. Aku hanya menyumbang lesung pipit di pipi kirinya, persis sepertiku. Dan, itu menambah manis wajahnya.

"Bagus, lucunya," ucapku gemas, lebih kutunjukkan pada ekspresi Manda sebenarnya.

"Bunda, Bunda!" Giliran Rama yang mencuri perhatianku. "Kemarin aku ulangan matematika dan dapat nilai seratus, Bunda!" ucapnya setengah memekik kegirangan.

"Masya Allah, hebat! Rama memang anak bunda yang paling pintar."

"Nda uga pintal, Bunda! (Nda juga pintar, Bunda!)" teriak Manda tidak mau kalah.

Aku tertawa melihat tingkah lucu mereka. Saling berebut ingin terlihat di handphone berdesakan dengan ibu yang kewalahan melerai keduanya.

"Iya, anak-anak bunda semuanya pintar. Semuanya saleh, baik hati juga rajin. Tapi, jangan dorong-dorong nenek, dong. Kasihan nenek." Ketiganya tertawa dengan Manda dan Rama yang memeluk ibu bergantian.

Betapa aku merindukan mereka. Aku rindu mengecupi pipi tembam Manda. Aku rindu mengusap kepala Rama. Aku rindu memeluk ibu yang selalu ada saat aku butuh. Tanpa terasa air mataku jatuh dan terlihat oleh Rama.

Dia langsung memasang ekspresi siaga, mendekatkan diri ke layar handphone kemudian berkata, "Bunda jangan menangis, Rama sayang bunda."

"Bunda juga sayang Rama. Sayang Manda. Sayang nenek juga," ucapku tercekat, tak bisa menyembunyikan getar dalam suaraku.

"Bunda kapan pulang? Papa mana?"

Salah satu pertanyaan yang sulit kujawab. Jika dia bertanya tentang papanya, selalu jawaban yang sama yang bisa aku lontarkan.

"Papa masih sakit, Sayang. Bunda masih harus di sini menemani papa."

"Papa kapan pulang?"

Tiba-tiba pertanyaan itu bagai hantaman balok kayu tepat di kepalaku. Aku menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaannya.

"Segera, setelah papa sembuh." Hanya kalimat itu yang bisa kuberikan padanya.

Rama mengangguk paham. Tidak menuntut. Tidak merengek. Namun, aku tahu. Jauh di dalam hatinya, dia ingin sekali bertemu Arnold. Entah, kesakitan macam apa yang akan dirasakannya jika mengetahui papa yang amat dirindukannya tidak ingat siapa dirinya. Entah, kekecewaan macam apa yang dirasakannya, jika nanti saat aku kembali pulang dan tidak mendapati Arnold berjalan beriringan bersamaku.

"Ayo, kalian main dulu di teras," ucap ibu menyuruh mereka bermain. Mereka pun menuruti ucapan ibu, berpamit padaku dengan kecupan jarak jauh kemudian berlari saling kejar.

"Bagaimana kabarmu, Nduk?" Suara lembut ibu selalu bisa menenangkanku. Ah, aku rindu tidur dipangkuannya yang mengusap kepalaku dengan sayang.

"Alhamdulillah, baik, Bu."

"Suamimu bagaimana?"

"Alhamdulillah, sudah banyak kemajuan. Dia sudah bisa menggerakan kedua kakinya meski terbatas. Doakan Arnold agar cepat pulih ya, Bu!" Ibu mengangguk dengan senyumnya.

Hening. Kami hanya saling tatap satu sama lain. Ada ribuan kata yang ingin aku ucapkan padanya. Ada ribuan rasa gundah dan gelisah yang ingin kuceritakan padanya. Namun, sepatah katapun tak ada yang sanggup kukeluarkan.

Lagi-lagi, tetesan air mata mengalir tanpa perintah. Meluap. Membludak sebagai refleksi rasa sakit yang kurasakan saat ini.

"Liyyah, kangen ibu," ucapku di antara isak tangis.

"Tugasmu belum selesai, Nak. Kewajibanmu merawat suami belum berakhir. Terkadang rasa sakit menjadi alasan kita lemah. Menjadikan kita putus asa. Tapi, jangan sampai kamu berhenti di tengah jalan. Jadikan rasa sakit itu sebagai kekuatan untuk bangkit. Ibu yakin, putri ibu pasti bisa."

"Doakan Liyyah di sini, ya, Bu."

Sungguh. Aku ingin pulang saat ini juga. Mendekap erat tubuh ibu, bersembunyi di balik punggungnya, berlindung dari rasa sakit yang terus menghujam.

"Doa ibu tidak pernah putus untukmu. Semoga lelahmu menjadi Lillah karena Allah Ta'ala. Semua ujian pasti akan berakhir. Bersabarlah!"

Aku mengangguk dengan keraguan yang menggelayuti. Tak yakin, aku sanggup melewati hari demi hari menuju akhir.

Ibu, aku ingin pulang.

***

Huaaa... 😭😭😭

Author cengeng sampe mesti berhenti ngetik berkali-kali buat usap air mata 🤧

Astaga, baper sama tulisan sendiri. 😫

Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet vote 😅

Happy reading 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top