CDPS 12
SPRING
Aliyyah
"Ayolah, buka mulut Anda!"
Sudah lebih dari sepuluh menit aku membujuk Arnold untuk makan, tapi dia tetap dengan aksi GTM-nya alias Gerakan Tutup Mulut. Aku sudah mencoba berbagai cara agar dia mau membuka mulut. Dari mulai menunggu acara yang ditontonnya habis sampai mengeluarkan bujuk rayu khas anak kecil. Dan, semuanya tanpa hasil.
Entah apa salahku hingga dia menolak makan dan mendiamkanku. Mengacuhkan keberadaanku yang seolah tidak ada bersamanya. Padahal, baru saja aku mengira dia mulai merasa nyaman di dekatku. Meskipun dia tidak ingat siapa aku, setidaknya dengan dia merasa nyaman saja itu sudah suatu kebahagiaan bagiku.
Tapi, apa yang terjadi kini? Dia kembali mengabaikanku. Entah dengan alasan apa.
Jangan-jangan, karena aku meninggalkannya saat sesi latihan tadi? Dia marah karena aku tidak menungguinya hingga selesai.
"Apa Anda marah?" tanyaku dan dia hanya diam. "Anda marah karena saya tidak menunggui Anda?"
Dia mencebik dengan memutar bola matanya. Bersedikap bersikap sedingin mungkin. Pura-pura tak mendengar ucapanku.
"Maafkan saya. Saya ada urusan tadi. Besok saya janji akan menemani Anda sampai selesai." Lagi-lagi dia mencebik kesal.
Astaghfirullah, bujukan seperti apa yang harus aku lakukan agar dia mau membuka mulut? Asalkan, dia mau makan beberapa suap saja tidak mengapa.
"Baiklah, kalau Anda tidak mau saya suapi tidak apa-apa," ucapku sambil menaruh kembali piring berisi risotto safron ke meja. "Mungkin Anda ingin Tobias yang melakukannya?" Dia masih diam.
Aku menghela napas. Diam sejenak memandanginya yang mengacuhkanku.
"Sepertinya Anda masih marah. Kalau begitu, lebih baik saya pergi saja."
Aku tidak mau berlama-lama bersamanya dengan suasana hati yang kurang mendukung. Aku takut tidak bisa mengontrol diri dan lepas kendali memarahinya seperti anak kecil yang mogok makan.
Aku bangkit dari kursi, bersiap untuk melangkah pergi dari hadapan Arnold tepat saat tangannya menahan lenganku.
"Stay!" Aku menoleh menatapnya bergantian dengan genggaman tangannya. "Stay with me, please!"
Ah, aku meleleh dalam sekejap. Tak tahan rasanya untuk menolak permintaannya, apalagi dengan tatapan memelas penuh penyesalan yang dia tujukan padaku. Ingin aku cubit pipinya dengan gemas.
"Oke, saya tetap tinggal, tapi Anda harus menghabiskan makanan ini. Semua... tanpa sisa!"
Dia terlihat menelan ludah, melirik pada nampan berisi seporsi risotto, air mineral dan pisang. Tidak ada yang aneh, hanya saja ada campuran cumi panggang dalam risotto yang tidak disukainya. Dia benci tekstur kenyal cumi yang menurutnya agak aneh di lidah. Menghabiskan seporsi risotto ini pasti menjadi tantangan berat baginya.
"Bagaimana?"
"Oke," ucapnya lemah dengan wajah enggan. Lucu, aku semakin gemas ingin mencubit pipinya.
Aku kembali duduk di kursi samping ranjang, mengambil piring risotto dan bersiap melayangkan sendok yang terisi penuh dengan potongan cumi padanya.
"Aaa..." Aku mengisyaratkan Arnold untuk membuka mulut. Dengan mata terpejam sambil menahan napas, dia membuka mulut. "Yang lebar!" Dia mengikutiku membuka mulut lebih lebar dan memudahkan sendok mengantarkan makanan ke mulutnya.
Aku mengulum senyum melihat ekspresinya, mengunyah dengan teramat pelan seakan menahan diri untuk tidak memuntahkan kembali makanan di dalam mulutnya. Lalu menelan dengan susah payah, membuat wajahnya sedikit memerah.
Suapan kedua, potongan cumi tidak kuikutsertakan. Hanya nasi dan rempah-rempahnya, sudah cukup untuk mengerjainya.
Dia menepuk sisi ranjangnya. Aku bertanya dengan ekspresi apa maksud tindakannya. Tanpa diduga dia menjawab, "duduklah di sini."
Arnold menyuruhku duduk di sampingnya. Sekali lagi dia menepuk ranjang dengan tidak sabar. Aku beralih duduk di dekatnya. Menghadap tepat ke arahnya yang menatapku dengan lembut.
Kusodorkan kembali sendok berisi makanan, dia menerima tanpa protes, membuka mulut dengan lebar tanpa harus kusuruh.
Sungguh. Saat ini aku tak sanggup untuk menahan ribuan rasa yang menghujam tepat di dadaku. Sekuat tenaga kutahan air mata yang mulai menggenang. Mengerjap beberapa kali demi menghilangkan jejak basah di bola mata.
Sayangnya, kali ini aku tak mampu menahan laju air mataku untuk berhenti sampai di pelupuk mata. Perlahan namun pasti, tetesan bening itu meluncur mulus. Jatuh membasahi pipi dan berakhir di permukaan gamis hijau pucat bermotif floral.
"Kau menangis." Tangannya terangkat, mengusap pipiku yang basah. Tatapannya semakin lembut, dan itu menyiksaku. Aku tersiksa dengan kerinduan yang harus kupendam jauh di lubuk hati. Aku tersiksa menahan sakit dalam kesendirianku.
Catatan untukku yang di selipkan pada kotak hitam tadi, masih membekas dalam benakku. Kata-kata romantis yang tertulis di sana membuktikan betapa besar rasa cintanya padaku. Dulu.
"Maaf," lirihku sambil mengusap wajah yang basah.
"Kau masih merindukan seseorang itu?" ucapnya dengan nada yang teramat lembut.
Iya, Arnold. Aku masih merindukan seseorang itu. Dari hari ke hari rasa rinduku semakin besar untuk orang itu. Dari hari ke hari rasa rinduku berkembang pesat hingga rasanya hati ini tak mampu menampungnya. Dan, seseorang itu kau, Arnold. Kaulah seseorang yang kurindukan itu.
Aku mengangguk sambil terus mengusap pipiku, berusaha menghentikan aliran cairan bening yang bersumber dari mataku.
"Apa orang itu... Peter?"
Aku melongok dengan pertanyaannya. Air mataku tiba-tiba berhenti mendengar ucapannya. Dari mana dia bisa menyimpulkan kalau orang itu adalah Peter.
"Aku melihatmu bersama Peter di taman." Nada lembutnya berubah dingin saat membahas Peter.
"Dia datang untuk menanyakan kabar Anda."
"Kenapa tidak langsung menemuiku, malah bertanya padamu?" Suara sedikit naik. Tatapan matanya berubah tajam dengan alis yang saling bertautan. Dia marah karena Peter tidak menemuinya?
"Dia tidak mau mengganggu sesi terapi Anda."
"Dan, memilih berduaan saja denganmu?"
Hei, ada apa ini? Kenapa dia marah? Apa salahnya jika Peter menanyakan kabarnya kepadaku?
"Ada hubungan apa di antara kalian?"
Aku merasa semakin bodoh dibuatnya. Aku benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraannya. Dia tiba-tiba marah melihatku bersama Peter. Apa dia cemburu?
Sorot matanya semakin tajam menatapku tak berkedip. Menuntutku berbicara dan menjelaskan siapa Peter. Aku menghela napas, memejamkan mata sesaat untuk menenangkan hati. Kemudian beralih pada risotto di tanganku, kembali kusendokkan nasi berwarna kekuningan itu pada Arnold dan dia menolak.
"Saya dan Peter tidak ada hubungan apa pun. Kami hanya berteman," jawabku menahan sesak. Tak pernah Arnold sebelumnya menatapku penuh amarah seperti itu.
"Teman macam apa sampai dia bisa memberi hadiah dan membuatmu menangis haru?"
Dia melihatku menangis? Rupanya dia salah paham.
"Saya dan Peter memang hanya berteman." Aku berbicara setenang mungkin berusaha sabar menghadapi emosinya yang tiba-tiba saja meledak.
"Aku tidak percaya!"
Aku tidak menanggapi ucapannya. Kembali fokus pada makanan di tanganku. Menyodorkan sendok padanya. Lagi-lagi dia menolak. Kini dengan menampik sendok hingga terjatuh dan membuat isinya berhamburan di ranjang.
Aku mendesah, tanpa kata kuambil kembali sendok dan menyuapinya kembali. Hal yang sama berulang, menampik tanganku dengan kasar. Selimut putih yang dikenakannya berhias bintik-bintik kekuningan noda dari risotto. Dalam benakku aku terus menabahkan hati, berusaha keras untuk tidak ikut dalam emosinya.
"Saya akan panggilkan Toby untuk membereskan ini semua."
"Terserah!" ujarnya datar.
Aku menatapnya sesaat sebelum beranjak dari sana. Berharap dia akan mencegahku pergi seperti tadi. Menggenggam tangan menyuruhku jangan pergi. Namun, sia-sia. Dia masih menatapku dengan emosi. Amarahnya terlihat jelas.
"Saya tidak bisa tetap tinggal dengan keadaan Anda sedang marah." Aku bangkit berdiri.
"Pergilah!" bentaknya mengiringi langkah kakiku ke luar ruangan.
***
Aku duduk di kursi panjang tak jauh dari ruangan Arnold setelah memanggil Toby untuk mengurusi pria itu. Menenggelamkan wajah di antara kedua tangan yang bertumpu di atas paha. Menarik embuskan napas secara perlahan, mengatur gejolak emosi yang mulai terbentuk.
Aku tahu kecelakaan itu mempengaruhi kepribadian Arnold. Emosinya labil dengan perubahan yang drastis. Pertama dia diam dan bersikap acuh padaku, lalu berubah lembut yang membuatku terenyuh dengan tatapannya, kemudian secara tiba-tiba emosinya meledak. Berbicara dengan nada tinggi dan tidak mempedulikanku.
Aku tidak mengerti dengan sifat sekarang.
Dari kejauhan suara heels yang beradu dengan lantai menggema memenuhi lorong. Langkah kakinya begitu tegas, mungkin dokter wanita yang sedang bertugas. Aku enggan mendongakkan kepala untuk melihat pemilik langkah tersebut. Sampai langkahnya berhenti tepat di dekatku. Mau tak mau aku mendonggak untuk melihat siapa pemilik heels itu.
Seorang wanita dengan dandanan bak model dengan gaun hitam di atas lutut berbelahan dada rendah yang ditutupi syal tipis yang melingkar di lehernya. Kacamata disematkan di atas kepala dan tas tangan branded tergantung cantik di lengannya.
Seperti biasa, Carol tampak cantik diusianya yang tak lagi muda. Aura kearogansian terpancar kuat dari tatapan matanya.
Sudah sebulan ini dia tak menampakkan diri. Kesibukkannya sebagai sosialita telah banyak menyita waktunya. Entah apa yang dilakukannya hingga dalam sebulan ini tak memberi kabar, atau bahkan hanya sekadar menanyakan kondisi putranya. Semua tampak berjalan dengan normal baginya. Seakan tak ada sedikitpun rasa khawatir dengan perkembangan kesehatan Arnold.
Aku berdiri mensejajarkan tubuh dengannya. Berusaha bersikap ramah seperti yang sering aku lakukan. Meski tak ada tanggapan apa pun.
Tatapannya begitu menusuk, memandangku dengan jijik. Menganggapku wanita hina yang buruk rupa yang tak pantas untuk dilihat.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan!"
***
Ya ampuun Arn, marahnya sampe berkepanjangan gitu 😢
Nah, kira-kira Carol mau ngapain, ya? 🙄
Mencurigakan!
Kritik dan saran tetap aku tunggu. Jangan lupa jempolnya diangkat ya buat pencet vote 😅
Happy reading 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top