-- 13 --
Menetralkan kembali semua rasa tidak semudah menerima semua kesakitan dalam hati walau bibir mengucapkan kata ikhlas. Menatap Binar dan Bening secara bergantian malam ini adalah cara terbaik menghapus semua rasa kesalnya kepada Farhan. Abbey tidak pernah habis pikir, di mana nurani laki-laki itu. Dua hari menjelang hari pernikahannya justru memilih membuka kembali album kehidupan lama yang harusnya sudah dia tinggalkan. Andai Farhan tidak mengingkari kehadiran Bening, Abbey pasti sangat bahagia berbagi tugas dengannya sebagai orang tua meski telah berpisah. Tapi untuk sekarang, sepertinya memiliki Bening seorang diri adalah keputusan yang paling tepat.
Mata Abbey hampir terpejam kala suara ketukan pintu kamarnya terdengar. Lirih suara berat Bara memanggil namanya.
"Bar, kamu sudah antarkan Zora pulang ke rumah?" Abbey membuka pintu dan mengajak Bara bicara di meja makan.
"Kamu mau minum hangat?" Abbey menatap adik iparnya karena Bara tidak menjawab pertanyaannya.
"Boleh, Kak, kalau tidak merepotkan." Bara mengempaskan tubuhkan di kursi. Meluruskan kaki dan memejamkan mata sejenak.
"Capek banget sepertinya. Terbang berapa jam tadi memangnya?" Abbey menyodorkan teh jahe hangat ke hadapan Bara yang terlihat lelah.
"Atau kamu sedang bermasalah dengan Zora?" Abbey duduk di samping Bara.
Laki-laki itu membuka mata lalu mendesah perlahan. Memperhatikan Abbey lekat lalu tersenyum kecut dan menggelengkan kepala.
"Maksud Kak Abbey bermasalah dengan Zora itu apa?"
Abbey menarik diri ke belakang beberapa senti. Sepertinya tidak ada yang salah dengan pertanyaannya mengapa Bara terkesan menahan tawa dengan gaya tidak suka.
"Kalau aku lihat, kalian cukup akrab. Jadi tidak salah, kan, kalau aku menyimpulkan bahwa kalian sedang dalam fase penjajakan?" Abbey menjelaskan pertanyaannya dengan hati-hati.
"Penjajakan apa sih, Kak? Zora itu sudah memiliki tunangan. Pilot juga sepertiku. Dia tadi minta tolong padaku mengantarkan Zora pulang karena harus mengganti shif teman yang mendadak sakit." Bara menyeruput teh jahe buatan Abbey.
"Aku kira kalian...." Abbey menahan kalimatnya untuk tidak melanjutkan.
"Ya jelas kami akrab, dia itu passanger service di bandara, kebetulan di maskapai kami. Karena aku dan tunangannya bersahabat jadi ya akhirnya ikut akrab juga, Kak."
Tidak ada percakapan lagi setelahnya sampai minuman Bara tandas. Abbey ingin beranjak tapi akhirnya tertahan oleh pertanyaan Bara yang membuatnya duduk kembali di tempatnya.
"Bang Farhan ingin mengajak Kak Abbey rujuk karena Bening?"
Abbey tersenyum kecut.
"Andaipun itu benar, aku tidak ingin melakukannya, Bar. Lagi pula aku tidak mau dicap sebagai wanita yang menghalangi kebahagiaan wanita lain."
Bara menatap Abbey dengan banyak tanya.
"Lusa Mas Farhan akan menikah, untuk apa aku mengharapkan dia kembali. Buat aku saat ini, Bening adalah segalanya."
Bara yang kini tertawa mendengar ucapan kakak iparnya. Umur mereka yang sebaya akhirnya membuat kata akrab itu seolah meruntuhkan dinding persaudaraan sesaat.
"Abbey, Abbey, kamu bisa menyarankan orang lain untuk move on tapi ketika kamu berada di tempat yang sama dengannya. Hal yang sama juga kamu lakukan seperti orang itu."
Kedua mata mereka saling menatap. Senyuman untuk menertawakan diri sendiri pun terlihat nyata. Senyuman yang akhirnya menjadikan bukti bahwa melepaskan sesuatu yang pernah menjadi milik kita dan sangat berarti dalam hidup itu tidak semudah bibir mengucapkan kata iya atau tidak.
"Bar, tidak sopan kamu bicara seperti itu pada kakakmu." Abbey beranjak lalu meminta Nung untuk menyiapkan perlengkapan Binar. Biasanya menjelang akhir pekan seperti ini Bara ingin mengajak putrinya pulang bersamanya.
"Nggak usah, Mbak Nung. Aku mau menginap di sini."
Pertama kalinya setelah Abbey kembali ke rumah orang tua mereka, Bara memberanikan diri untuk menginap di rumah itu.
"Bar...."
"Kita tidak sekamar, Kak. Ada Nung, ada Binar dan Bening. Jangan terlalu paranoid dengan omongan orang. Kadang mereka membicarakan orang lain tidak pernah bercermin apakah dirinya sudah lebih baik daripada itu." Bara beranjak dan dan memilih mengambil Binar untuk diajaknya ke kamar yang dulu dia tempati. Namun, sebelum itu laki-laki itu lebih dulu mencium dan mengusap kepala Bening dengan lembut.
"Kamu tidak akan kehilangan sosok papa sayang, sebagaimana Binar yang telah menemukan sosok ibu pada mamamu. Papa Bara janji tidak akan membedakan kasih sayang untuk kalian berdua. Selamanya kalaian akan tetap menjadi saudara."
Abbey mendengar dengan jelas kalimat yang diucapkan Bara kepada putrinya. Tapi dia memilih diam tidak menanggapinya sampai Bara keluar sambil menggendong Binar ke kamarnya.
Hampir semalaman Abbey tidak bisa tidur hanya karena ucapan Bara kepada Bening. Selain itu juga karena malam ini Bening ingin diperhatikan lebih. Dia hampir sepuluh menit sekali terbangun dan meminta diperhatikan ibunya. Sampai menjelang subuh keduanya baru terlelap dalam tidur.
Bara yang terbangun saat azan Subuh berkumandang tidak menemukan Abbey di dapur padahal Nung sudah bersiap untuk menjerang air untuk mandi Binar dan Bening.
"Kak Abbey belum bangun, Mbak Nung?" kata Bara setelah menandaskan air putih yang dia tuang ke gelas di tangannya.
"Sepertinya belum, Pak. Dari semalam Bening rewel terus. Sepertinya dia bisa merasakan kehadiran ayahnya. Tapi Bu Abbey bersikukuh untuk melarang Pak Farhan bertemu dengan Bening."
Bara tersenyum miring.
"Memang seharusnya begitu. Sudah, lakukan tugasmu. Nggak usah ikut campur urusan Bu Abbey. Kemarin yang aku bilang jangan sampai kelewat ya. Kasihan Kak Abbey kalau yang membantu merawat Bening belum datang."
"Iya, Pak. Kemarin sudah saya tanyakan ke agen, tapi memang belum ada seperti yang Bapak minta. Semoga nanti segera ada kabar. Saya permisi dulu."
Bara menarik handel pintu lemari es. Dia melihat beberapa bahan makanan yang bisa diolah. Tak lama, laki-laki itu memilih berselancar dengan gawainya.
Makanan sehat untuk ibu menyusui. Judul artikel yang ada dalam pencarian utama. Bara memilih mengolah bahan makan setelah dia menyelesaikan salat Subuh di dapur. Setelah hampir selesai, terdengar suara riuh dari kamar Abbey, sepertinya Bening bangun dan Abbey pun juga baru terjaga dari tidurnya.
Bara mematikan kompor dan bergegas mengetuk kamar Abbey yang masih tertutup.
"Kak, ada yang bisa aku bantu?"
Pintu kamar terbuka, Abbey sedang menimang Bening. Masih tampak wajah semrawut setelah bangun tidur, kantung mata yang terlihat jelas dan juga kata lelah yang tidak akan pernah tersampai di permukaan.
"Sepertinya Bening demam, Bar. Dari semalam rewel terus."
"Kita bawa ke dokter saja, Kak. Sini biar aku gendong, Kakak siap-siap dulu." Bara mengambil alih Bening dari gendongan Abbey. Beruntung mereka memiliki Nung yang sangat telaten merawat Binar hingga saat dibutuhkan fokus ke Bening Bara tak lagi takut meninggalkannya sendiri di rumah bersama pengasuhnya.
Lima belas menit berada di gendongan Bara selama Abbey bersiap, Bening tampak tenang. Tak sekalipun dia menunjukkan kegelisahannya. Bahkan suhu tubuh yang sempat terasa panas kini berangsur menurun. Bening malah terlelap dengan nyaman di pangkuan Bara.
"Ayo, Bar." Suara Abbey membuat pandangan Bara teralihkan dari wajah imut Bening.
"Kak, sepertinya kita tidak perlu ke dokter," ucapnya.
"Maksud kamu apa? Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Bening, Bar. Dia satu-satunyabyangbaku punya sekarang. Aku tidak ingin Beningku kenapa-kenapa?" Abbey tampak gusar tapi Bara berdiri untuk menenangkannya.
"Biarkan dia bersamaku seharian ini, kecuali kalau Bening harus menyusu. Aku akan memberikannya padamu." Bara menepuk punggung Bening saat bayi imut itu mulai menggeliat karena terusik dengan suara percapakan mereka.
"Jangan bercanda, Bar!" Abbey tampak bingung.
"Aku tidak bercanda, Kak. Bening kencan sama Papa Bara dulu ya seharian ini. Dik Binar biar bersama Ibu, oke?" Bara mengindahkan tatapan Abbey dan memilih untuk mencium pipi Bening bergantian kanan dan kiri.
"Papa Bara--? Bara! Maksud kamu apa?" tanya Abbey.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, Kak. Sama seperti Binar yang kamu bahasakan memanggilmu dengan Ibu tidak ada salahnya kan, kalau Bening memanggilku dengan panggilan Papa sama seperti Binar?"
Abbey mendesah, dia meletakkan tas yang berisi perlengkapan Bening di meja. Memilih mengalah pada kemauan Bara, toh selama ini iparnya juga tidak pernah berbuat macam-macam kepadanya.
Bening bersama Bara di taman depan, sementara Abbey memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan karena Binar juga tengah bersiap-siap dengan Nung. Namun, setelah berada di sana Abbey justru mengernyitkan kening. Sudah ada masakan matang yang masih berada di atas kompor, tapi bahan-bahan dan beberapa alat masaknya masih berantakan belum sempat dibereskan.
Abbey ingin bertanya kepada Bara tetapi langkahnya terhenti saat gawai milik Bara yang berada di meja dapur berkedip. Tangan Abbey terulur ingin bergegas memberikannya kepada Bara, sayangnya saat gawai itu hanya menunjukkan notifikasi dari aplikasi yang terpasang di sana membuatnya urung. Abbey memilih untuk meletakkannya kembali. Namun, tanpa sengaja jarinya menyentuh layar yang tidak terpasang sandi sehingga Abbey bisa tahu apa yang Bara lakukan saat gawai itu menyala.
"Ya Allah, Bara." Abbey menutup mulutnya. "Jadi karena aku terlambat bangun sehingga kamu memilih untuk mengolah makanan pagi ini untukku. Sampai harus browsing makanan apa yang baik untuk ibu menyusui sepertiku?" gumam Abbey lirih.
"Maaf, Kak. Tadi aku belum sempat beresin dapur. Soalnya dengar Bening rewel dan--"
Suara Barra yang terdengar tiba-tiba membuat Abbey tersentak. Dia bahkan menjatuhkan gawai milik iparnya yang sedang dipegangnya. Tatapan mata keduanya bertemu dalam satu titik. Sementara Bening masih tenang berada dalam pelukan Bara. Mencoba mengerti dan memahami dalam sekian detik pandangan mereka sampai Bara memutuskan untuk mengakhirinya.
"Kak Abbey jangan salah paham dulu. Selama ini Kakak sudah banyak menolongku dan Binar. Tidak salah, kan, kalau aku berusaha untuk membalas meski itu tidak ada seujung kuku?"
Bara membelakangi Abbey dan mengalihkan kekakuan di antara mereka dengan mengajak Bening bersenda gurau. Abbey sendiri memilih untuk melangkah menjauh. Entahlah, sepertinya dia harus menyeimbangkan lagi debaran di dalam dadanya yang tiba-tiba bergemuruh saat kedua matanya bertemu pandang dengan milik Bara. Dan senyuman di bibir Bara yang kini mulai menari-nari dalam ingatannya.
'Allah, aku bukan manusia hebat yang tidak memiliki hasrat. Namun, tolong bantu aku untuk berpikir logis dan emnempatlan sesuatu pada tempat yang semestinya.'
-------------------------------->>
to be continued
Kok jadi kepikiran cerita ini aku naikkan ke percetakan ya 🤔🤔
Menurut kalian bagaimana??
Kita PO bareng #LIPSTIK yukkkkk 😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top