-- 11 --
Semua ibu pasti akan merasakan hal yang sama ketika hamil. Di usia kandungan tua menjelang melahirkan, seringkali merasakan kram di perut bagian bawah. Tidak terkecuali dengan Abbey. Hari perkiraan lahir yang diberikan dokter kandungannya masih kurang lima minggu tetapi dia sudah sering merasakan kram di perutnya. Rencananya hari ini dia masuk kerja terakhir sebelum mengambil cuti melahirkan.
Abbey masuk ke ruangan sebelum yang lainnya tiba. Dia berniat segera membuat laporan pelimpahan pekerjaan kepada detasir yang menggantikannya. Namun, semuanya menguap ketika kedua matanya melihat undangan pernikahan yang ada di meja kerjanya. Satu pasang nama yang dia kenal dengan baik siapa pemiliknya.
Senyum yang terkesan dipaksakan terurai. Logika Abbey bisa menerima, dia tahu bahwa tidak lagi ada hubungan antara dirinya dengan Farhan. Namun, keputusan untuk menikahi rekan dinasnya satu kantor? Hati tidak bisa dibohongi jika rasa sakit masih datang menyapa.
"Farhan dan Santi," gumam Abbey lirih.
Apa di dunia ini tidak ada wanita lain? Setidaknya bukan wanita yang berada di sekeliling Abbey. Ataukah ini memang cara Allah untuk membuat hati Abbey sekeras baja?
Beberapa pasang mata yang mulai berdatangan di kantor memberikan rasa simpati tapi tidak sedikit juga yang memandang rendah Abbey seolah mereka berkata, 'tahu rasa kan, sekarang, gimana rasanya melihat orang yang disayang diambil orang?'
"Bu Abbey, maaf, sebenarnya saya sudah tahu lama tetapi tidak berani memberitahukannya. Ternyata Santi benar-benar mengundang Ibu."
Abbey tersenyum ke arah Carita sambil mengangkat undangan yang ada di tangannya.
"Tidak apa-apa, Rit. Saya dan Mas Farhan memang sudah selesai. Jadi tidak ada masalah, kan?"
"Tapi mengapa bagi saya kurang etis saja ya, Bu."
Abbey mengibaskan tangannya di udara.
"Santi ingin membagi bahagia dengan kita. Tidak ada yang salah, tapi sepertinya saya memang tidak bisa hadir." Abbey mengusap perutnya yang sudah membuncit sempurna.
"Takut melahirkan di tempat acara, nanti malah merepotkan tuan rumah, Rit." Abbey tertawa untuk menyamarkan nyeri di ulu hatinya.
Carita menarik lengan Abbey sebelum atasan langsungnya itu pergi.
"Kalau Bu Abbey butuh tempat cerita, saya siap mendengarkan. Meski banyak cerita negatif yang beredar di luar saya masih percaya bahwa Ibu adalah orang baik. Pun demikian halnya dengan Pak Farhan, situasi dan kondisi yang sepertinya menjadi pemicu keretakan komunikasi. Seperti saya dulu."
Dua wanita dengan status baru yang dituntut tangguh untuk menghadapi segala kemungkinan atas keputusan yang mereka ambil. Membesarkan anak tanpa suami.
Abbey mengusap bahu Carita. Mantan suaminya telah membantu sejawatnya untuk keluar dari hubungan toksik yang membuat Carita harus dirawat beberapa hari di rumah sakit karena kekerasan yang dilakukan oleh mantan suaminya. Semua memang harus kuat dengan cerita hidup masing-masing.
"Tidak ada yang harus diceritakan, semua telah selesai, Rit. Bukankah cerita baru sudah menanti kita di depan." Tidak sepenuhnya Abbey menguatkan Carita, tapi dia lebih berkata untuk dirinya sendiri.
"Kamu harus move on, pun demikian dengan saya. Ayo kita bersiap untuk bekerja, hari ini saya terakhir bekerja sebelum bersalin lho."
Abbey mengajari beberapa hal sebelum meninggalkan pekerjaan untuk cuti yang lumayan panjang. Saat mereka bercengkerama untuk membahas laporan, Santi melewati keduanya. Awalnya dia mengabaikan tetapi Abbey justru berdiri dan memanggilnya.
"San--" Abbey mengulurkan tangan kanannya. "Selamat untuk rencana pernikahan dengan Mas Farhan. Semoga kalian bahagia, tetapi sepertinya saya tidak bisa hadir, San."
Abbey mengambil sebuah amplop yang sudah disiapkan di lacinya. Memberikannya kepada Santi dengan senyum yang tercipta tanpa paksaan.
"Bukan apa-apa, San. Hanya tanda mata saja. Sekali lagi selamat, semoga kelak menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah."
Seperti orang yang tidak percaya, Santi masih bergeming di hadapan Abbey. Dia pikir atasannya ini akan marah, ternyata justru mendapatkan perlakuan yang sebaliknya. Ketidakmarahan atasannya membuat Santi semakin yakin bahwa berita yang beredar adalah benar adanya. Bahwa apa yang diceritakan calon suaminya adalah kebenaran. Abbey bermain hati dengan iparnya hingga membuatnya hamil.
Tanpa menunggu jawwban Santi, Abbey kembali duduk dan kembali mengajarkan pada Carita, apa-apa saja yang harus dia kerjakan selama ditinggal Abbey cuti.
"Semoga lancar bersalinnya, Bu Abbey. Saya tahu Ibu wanita yang kuat." Carita membukakan pintu taksi online yang akan mengantarkan Abbey pulang.
Pesan dari Bara membuat senyum Abbey tercipta seketika. Dia baru mengingat bahwa besok malam harus kontrol rutin ke dokter kandungan. Namun, Bara minta maaf tidak bisa mengantarkannya karena harus berada di luar kota. Dan seperti biasanya jika Bara berhalangan, Abbey akan mengajak serta Nung dan juga Binar bersamanya sekaligus berkonsultasi perkembangannya dengan dokter anak yang merawat Binar selama ini.
Keesokan harinya, tidak ada yang berbeda seperti pemeriksaan sebelumnya. Bayi Abbey aktif bergerak di dalam rahimnya. Berat badannya normal. Yang perlu Abbey siapkan adalah psikis perubahan status dari calon ibu menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.
Binar sudah tertidur saat Abbey selesai melakukan pemeriksaan setelah dari dokter anak. Mereka memutuskan untuk segera pulang, karena malam beranjak larut dan itu sangat tidak baik untuk Binar.
Namun, lagi-lagi nasib mempertemukan Abbey dengan mantan suaminya bersama calon mempelai. Sepertinya mereka habis melakukan pemeriksaan kesehatan menjelang pernikahan. Melihat dari rekah senyum mereka, Abbey paham kalau kebahagiaan sedang menyelimuti keduanya. Hingga dia memilih menghindar bukan karena takut. Namun, lebih pada menghindari sesuatu yang menurutnya tidak perlu diperdebatnya.
"Mbak Nung, kita lewat sana saja," kata Abbey.
"Tapi memutar Bu, kasihan Ibu kalau harus jalan jauh."
Senyum Abbey terbit, dia tidak bisa banyak menjelaskan. Tangannya meraih Nung untuk mengikuti langkahnya berbelok tapi terlambat. Suara Farhan lebih dulu menyapanya.
"Abbey tunggu--"
Nung menatap majikannya sambil menggigit bibir.
"Kamu pasti sudah menerima undangan dari Santi, kan? Jangan lupa datang ya. Ajak calon suamimu juga, si Bara."
Setelah mengayakan itu Farhan menarik lengan Santi tanpa berniat mendengarkan tanggapan Abbey. Abbey pun tidak berniat menanggapinya.
"Bu Abbey yang sabar ya, Bu. Jika nanti malaikat meminta seseorang untuk menjadi saksi, saya akan maju pertama kali untuk menceritakan yang sesungguhnya."
"Kita pulang saja, kasihan Binar." Abbey mempercepat langkah meski sudah terasa berat.
"Pelan-pelan saja, Bu. Nanti kalau kenapa-kenapa saya malah dimarai sama Bapak."
Mendengar kata Bapak, Abbey terlupa untuk mengabari Bara tentang perkembangan Binar. Sepertinya dari hasil pemeriksaan Binar kali ini, Bara tidak perlu lagi mengkhawatirkan putrinya. Tumbuh kembang putrinya sudah sesuai dengan grafik perkembangan bayi yang lahir normal.
Ketika dalam perjalanan pulang, tiba-tiba mata Abbey melihat mobil Farhan mogok. Mobil yang dulu pernah memiliki cerita. Awalnya dia ingin mengabaikan tetapi rasa kemanusiaan memanggil hatinya untuk menyuarakan kepada driver menghentikan mobil mereka.
"Pak, bisa minta tolong, itu mobil saudara saya sepertinya butuh bantuan." Abbey menunjuk ke arah mobil Farhan yang berhenti di bahu jalan.
Sang driver turun dan mendekat. Sepertinya ban mobil Farhan bocor dan dia tidak membawa serep. Abbey turun ketika driver memberitahunya.
"Biar saya yang mengantar Santi pulang, sudah malam kasihan juga kalau harus menunggu montirnya," kata Abbey.
Lokasi di jalan tol membuat Farhan kesulitan mencari taksi online untuk calon istrinya. Tatapannya seolah enggan, tetapi mungkin dari sekian banyak pengguna jalan tol hanya Abbey yang bersedia menolongnya.
"Mas, aku nunggu bareng kamu di sini nggak apa-apa kok," ucap Santi.
"Jangan, kamu balik saja bareng Abbey. Nanti aku telepon Papa dan Mama." Farhan menatap Abbey kemudian mengangguk dan menitipkan Santi kepadanya.
Menyampingkan egois, mereka memang sudah seharusnya berdamai.
Rute berubah arah, sebelum pulang ke rumah Abbey, mobil meluncur ke kediaman orang tua Santi untuk mengantarkannya. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba perut Abbey kram dan sepertinya semakin lama semakin kencang hingga Santi memutuskan untuk membawa Abbey ke rumah sakit terdekat.
Khawatir dengan keadaan Abbey, Nung segera menghubungi Bara. Jika memungkinkan dia memintanya kembali secepatnya. Melihat bagaimana heroiknya dokter menangani Abbey sepertinya dia dipersiapkan untuk bersalin di luar hari perkiraan lahir yang diberikan dokter sebelumnya.
"Keluarga Ibu Abbey Jean Damani?"
Santi berdiri, tak lama kemudian langkah tergesa Farhan dna napas tak beraturan terlihat menyusul di belakangnya.
"Maaf, Bu. Ketuban Bu Abbey telah pecah. Sepertinya kami harus melakukan tindakan segera. Mohon keluarga menandatangi persetujuan pengambilan tindakan operasi caesar untuk menyelamatkan keduanya."
Santi menatap wajah Farhan. Sekali lagi karena faktor kemanusiaan Farhan membubuhkan tanda tangannya untuk memberikan persetujuan.
Empat puluh menit kemudian, bayi perempuan itu lahir dari rahim Abbey. Pertama kalinya, orang-orang yang ada di sekita Abbey melihat wajah mungil malaikat kecil itu tak terkecuali Farhan. Bak terlempar pada kenangan dalam album foto yang dimiliki, dia seolah menatap dirinya sendiri puluhan tahun yang lalu dalam bentuk wanita saat menatap bayi Abbey.
Seperti halnya bayi-bayi lainnya, perawat pun meminta ayah dari bayi untuk mengazaninya, karena Abbey tercatat sebagai pasien muslimah.
Tidak ada laki-laki lain bersama mereka kecuali Farhan, hingga dia berinisiatif untuk berdiri dan melakukannya dengan persetujuan Santi. Mungkin saking inginnya Farhan menimang anak, dan melakukan tugas pertama sebagai seorang ayah untuk mengazaninya maka saat ditengah-tengah melantunkannya, dia justru tak kuasa membendung air mata yang mengalir tanpa dia minta.
Bayi Abbey juga terlihat sangat menurut, dia tidak rewel ketika ada dalam gendongan Farhan. Lagi-lagi Farhan menatap manusia mini itu. Mereka seperti dua orang kembar beda generasi dan gender.
"Ternyata anak bayi nggak mau kalah dengan Papa ya, Nak. Mirip sekali seperti pinang dibelah dua." Perawat meminta anak Abbey untuk kembali diletakkan di inkubator karena meski berat badannya bisa dikatakan sebagai bayi yang terlahir normal tapi tetap saja dia masih membutuhkannya karena terlahir prematur.
"Ners, apa rumah sakit ini menyediakan fasilitas untuk melakukan tes DNA?" kata Farhan sebelum perawat itu memintanya keluar dari ruangan bayi.
Satu keputusan yang mungkin akan memberikan jawaban atas keraguan Farhan selama ini.
-------------------------------->>
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top