-- 10 --
Terbaring lemah tak berdaya. Mencoba untuk melepaskan semua yang bergelung dalam pikiran. Satu hal yang harus dilakukan adalah keinginan untuk kembali sehat dan melanjutkan perjuangan meski tanpa dukungan dari siapa pun. Abbey masih berusaha menelan apa yang seharusnya dimakan. Meski berulangkali perutnya bergolak.
"Ya Rabb, aku harus mampu dan aku harus bisa," gumamnya lirih.
Hingga suapan terakhir yang masuk ke mulutnya pun berhasil tetapi setelah itu rasanya seluruh makanan yang telah tertelan ingin dimuntahkan. Saat yang bersamaan Bara tiba dan bergegas mengambilkan peralatan yang bisa dipakai untuk menampung tumpahan tanpa Abbey harus turun dari bed-nya.
Hampir semua yang dimakan Abbey keluar. Perlahan dia menggigit bibirnya karena perutnya terasa kram. Bara yang melihatnya segera melakukan hal yang mungkin membuat Abbey nyaman sembari menunggu paramedis datang setelah dia menekan tombol nurse call.
Melihat wajah cemas Bara, tubuh Abbey semakin bergetar. Ada rasa bersalah yang melingkupi relung hatinya. Air matanya kembali menetes. Harusnya dia bisa mandiri tapi kini yang terjadi dia harus merepotkan semua orang yang ada di dekatnya.
"Aku minta maaf, Bar." Suara lirih Abbey membuat mata Bara menatapnya sesaat.
"Karena aku harus dirawat, waktu libur yang harusnya kamu habiskan untuk Binar harus--"
"Sudahlah, Kak. Alhamdulillah Binar tidak rewel, sepertinya dia tahu kalau ibu asuhnya sedang tidak bisa memanjakannya." Bara tersenyum.
"Kakak jangan terus menerus merasa tidak enak denganku, aku juga sama seperti Aine. Selamanya akan menjadi adikmu, jadi kalau Kak Abbey butuh sesuatu tolong jangan sungkan meminta padaku."
"Bar, aku, aku--" Abbey kehabisan kata-kata. Dia bingung harus berbuat apa.
"Jangan pernah anggap aku orang lain, Kak. Kita harus bekerja sama, aku butuh Kakak untuk Binar. Tolong--"
"Tapi, Bar--"
Belum sampai Abbey melanjutkan kalimatnya. Pintu kamar rawatnya sudah terbuka, seorang perawat dan dokter kandungan masuk untuk memeriksa kondisi Abbey.
Bara menjelaskan secara rinci apa yang dialami Abbey, hingga dia meminta dokter memberikan vitamin atau suplemen yang bisa meredakan rasa mual yang sekarang dirasakan Abbey setiap pagi.
"Jangan banyak pikiran. Kuncinya hanya satu, Bu Abbey, menciptakan lingkungan dengan positif vibes. Jangan terlalu overthinking atas hal-hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Pak Bara mungkin bisa dibantu istrinya."
"Dia adik saya, Dokter." Abbey menyahut tanpa memberikan kesempatan pada Bara untuk menjelaskan lebih.
Bara mengangguk membenarkan.
Pada akhirnya, bagi Abbey rumah sakit bukanlah hal yang asing selama dia hamil. Bahkan di usia kandungannya yang memasuki trimester ketiga pun dia masih rajin keluar masuk untuk dirawat beberapa hari di sana. Jika sudah demikian, Bara lah yang pada akhirnya selalu ada di samping Abbey.
Seperti saat ini, ketika Abbey berniat untuk jalan sendiri untuk pulang ke rumah setelah seluruh administrasi rumah sakit diselesaikannya. Namun, lagi-lagi Bara yang masih mengenakan pakaian dinas lengkap datang tepat waktu untuk mengagalkan rencana Abbey.
"Berulangkali aku bilang sama kamu, Kak. Jangan egois, sekarang hidupmu tidak hanya untuk dirimu sendiri. Tapi ada dia yang sekarang di rahimmu. Setidaknya jika kamu tidak lagi mencintai dirimu sendiri, bertahanlah hidup untuk anakmu!" Bara tidak berkata lantang, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, tekanan nada dalam setiap kata yang terucap membuat hati Abbey teriris.
"Apa aku perlu menikahimu dulu supaya kamu tidak lagi menganggap aku orang lain?" Bara mengusap keningnya.
Abbey meneteskan air matanya setelah melihat beberapa butir air mata jatuh di pipi Bara. Laki-laki itu meluruh, dia bahkan tak lagi mau menatap Abbey yang sudah bersiap untuk pulang. Sampai drama keduanya terpatahkan saat seorang perawat mengantarkan kursi roda yang diminta Bara.
"Duduk, Kak!" kata Bara setelah perawat meninggalkan mereka.
Abbey menatap iparnya yang memilih menghindari tatapannya. Meski demikian Bara bisa tahu apa yang dilakukan Abbey dari ekor matanya.
"Bara, aku tidak bermaksud begitu. Hanya tidak ingin membuatmu repot, harus bekerja, mengurus Binar dan ditambah mengurusku. Rasanya tidak adil buat kamu. Lihatlah dirimu, masih mengenakan seragam. Aku yakin kamu belum sampai rumah dari bandara."
"Karena aku tidak ingin ada Binar yang kedua. Aku tidak ingin anakmu lahir tetapi ibunya tidak bisa melihat bagaimana pertumbuhannya."
"Bara!"
"Kamu tahu, Kak! Ketakutanku lebih daripada ambisimu untuk bisa mandiri. Aku telah kehilangan Aine, jangan sampai aku gagal memenuhi amanahnya untuk menjagamu. Tolong, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Aine dengan melihatmu terjaga walau semua orang tahu kamu sekarang sendiri." Bara tertunduk. Terlalu kasar kalimatnya keluar, tapi mungkin itu lebih baik supaya Abbey paham maksudnya.
Bara kembali meneteskan air matanya.
"Maaf kalau kalimatku terlalu kasar, Kak. Aku hanya takut dengan ketakutanku sendiri." Bara menghapus air matanya dengan kasar. Dia kembali melembutkan tatapannya. Menyadari bahwa Abbey bukanlah Aine yang bisa dengan mudah dia atur karena hubungan keduanya berbeda.
"Harusnya aku yang berterima kasih kepadamu, Bar. Maaf kalau aku terlalu memaksakan diri. Aku hanya tidak ingin merepotkan."
"Kalau begitu, biarlah Binar tinggal bersamaku supaya tidak merepotkan Kak Abbey."
Kalimat sederhana yang langsung membuat mata Abbey berkaca-kaca. Bersama Binar, Abbey merasakan bahwa dia masih memikili keluarga dan memiliki adik karena di mata Binar tersimpan sorot mata yang lekat dengan mata milik Aine. Abbey tidak ingin kehilangan momen untuk menyaksikan tumbuh kembang Binar jika bayi itu harus berpisah darinya.
"Jangan pisahkan kami, Bara. Meski aku tahu kamu lebih berhak atas Binar daripada aku. Tapi--"
"Sama sepertimu, Kak, aku juga tidak ingin merepotkan."
Abbey mengusap perutnya yang sudah membuncit. Dia malu jika harus mengakui, di usia kandungan 34 minggu, biasanya ibu hamil tidak merasakan rasa mual tetapi Abbey masih merasakan itu setiap kali Bara berada jauh dari jangkauannya. Entahlah, jika Bara harus stay overnight bisa dipastikan keesokan paginya Abbey tidak memiliki daya hanya sekadar untuk menegakkan kepalanya. Rasanya lemas semua. Itu sebabnya Abbey selalu menekankan diri untuk tidak ingin bergantung pada Bara.
'Om Bara itu pamanmu, Nak. Dia bukan papamu, Sayang. Jangan meminta Ibu untuk bermanja lebih dari yang bisa Ibu lakukan. Kita akan gidup berdua, selamanya akan tetap berdua.' Air mata Abbey meluncur bersamaan dengan kata hatinya yang berbicara lembut pada janin yang kini sedang dikandungnya.
"Kita pulang, Kak. Biar aku yang mendorongmu ke parkiran." Bara kembali setelah dia selesai membawa tas milik Abbey ke mobil. Dia juga sudah berganti tshirt yang membuatnya lebih leluasa bergerak.
Abbey harus menelan ludahnya saat sudut matanya mengintip otot bisep trisep milik Bara yang menyembul dari ujung lengan tshirt yang dikenakannya.
'Istigfar, Abbey. Tundukkan pandanganmu, kamu sedang hamil beaar, mengapa justru matamu menikmati pemandangan yang bukan menjadi hakmu?' Abbey berkata dalam hati. Bibirnya komat-kamit melafalkan kalimat istigfar beberapa kali hingga membuat Bara mengerutkan keningnya.
"Kak, mengapa diam saja? Ayo duduk di kursi roda."
"Tapi aku ingin membeli perlengkapan bayi dulu, Bar. Setidaknya ada sedikit persiapan, meski di rumah juga masih banyak pakaian Binar yang bisa dipakai anakku nanti." Abbey tergeragap. Alasan asal yang membuat sudut bibir Bara tertarik ke atas meski hanya sedikit.
Laki-laki itu memilih tidak menanggapi, dia menyelesaikan tugasnya membawa Abbey ke mobil lalu mereka pulang. Namun, saat mobil bara melewati sebuah pusat perbelanjaan, tak urung dia membelokkan mobilnya dan meluluskan permintaan Abbey yang dia tahu hanyalah sebuah alasan untuk menolak berdua dalam satu mobil dengan Bara.
"Ayo turun," kata Bara saat melihat Abbey masih duduk di tempatnya.
"Kita mau ngapain ke mall, Bar?"
"Katanya tadi mau beli perlengkapan bayi. Aku tidak mungkin membiarkan kamu belanja seorang diri. Turun, nanti aku akan meminta sekuriti untuk memberikan kursi roda. Biasanya mereka menyiapkan beberapa untuk pengunjung."
Abbey semakin tidak enak hati kepada iparnya. Dia hanya bisa menurut saat Bara membukakan pintu dan menarik lengannya dengan lembut.
"Hati-hati, Kak. Pelan-pelan saja."
Sepelan desiran halus yang mulai singgah di hati Abbey saat sedekat ini dengan Bara. Desiran yang hadir karena terbiasa bersama. Seolah-olah dia menjadi wanita yang begitu sempurna, diperhatikan dan dipenuhi semua kebutuhan yang tidak bisa Abbey lakukan seorang diri.
Hingga sesampai di toko peralatan bayi, melihat bagaimana antusiasnya Bara memilih, Abbey hanya bisa tersenyum tipis. Lama-kelamaan senyuman itu berubah menjadi air mata haru. Orang lain yang begitu menyayangi dan menghormatinya, menerima dengan hati terbuka semua tuduhan ornag lain yang dilayangkan padanya meski pada akhirnya tetangga mereka mengerti seperti apa hubungan keduanya kini. Beberapa orang kini bahkan memberikan simpati dengan ikut membantu Nung mengasuh Binar kala Abbey tidak bisa merawatnya karena dia harus menginap di rumah sakit.
"Kak, ini sepertinya lucu." Bara menunjukkan pakaian hangat bayi perempuan pada Abbey.
"Boleh." Abbey yang duduk di kursi roda hanya bisa mengangguk mengiyakan.
Terakhir kali Bara mengantarkan Abbey memeriksakan kandungannya, dia sangat bahagia karena Abbey mengandung bayi berjenis kelamin perempuan. Setidaknya Binar akan mendapatkan saudara sepupu yang bisa diajaknya bermain dan satu frekuensi selama Bara bekerja. Abbey pun tidak banyak melakukan adaptasi untuk mengasuh keduanya.
"Ah, nggak sabar dia lahir ke dunia."
Abbey tertawa miris. Hatinya teriris saat melihat Bara tertawa dan dengan semangat memilihkan perlengkapan untuk keponakannya. Dulu, Abbey pernah bermimpi dia akan melihat senyum Farhan seperti halnya senyum yang ditunjukkan Bara saat ini padanya.
'Mas, andai kamu ada di sini, dan keadaan kita tidak seperti ini. Aku yakin, hari ini adalah hari yang telah lama kamu nantikan. Anak kita sebentar lagi akan lahir ke dunia, tapi sekalipun kamu tidak pernah menyapanya.' Mendung kembali menggelayung di wajah Abbey. Mengingat semua kenangannya bersama Farhan semakin menambah luka di hatinya. Hingga tak terasa air mata kembali menyapa.
Bara yang mengetahui semua itu segera mendekat dan berlutut di depan Abbey. Memberikan tisu untuk menghapus air mata kakaknya.
"Ada yang sakit lagi, Kak?" Wajah cemas seketika menyapa Bara. Melihat Abbey yang tampak pucat, dia segera menyelesaikan pembayaran dan mengajak Abbey pulang. Dia memang harus segera beristirahat setelah pulang dari rumah sakit.
Bara meminta seorang pelayan mengantarkan mereka ke tempat parkir karena dia harus mendorong kursi roda yang diduduki Abbey. Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih. Mereka berpapasan dengan orang tua Farhan yang sepertinya juga telah selesai belanja dan berjalan menuju parkiran yang sama.
"Mama, Papa--" Abbey menyapa.
"Abbey, Bara?" Papa Farhan tersenyum pada keduanya. Bara mengangguk dan tersenyum tipis sampai suara Lia melenyapkan senyumannya.
"Kalian sudah menikah? Kok Mama dan Papa tidak diundang?"
Abbey sampai harus menatap Bara untuk memastikan maksud pertanyaan mama Farhan.
"Akhirnya kamu hamil juga, Bey setelah menikah dengan Bara." Lia tersenyum miring tapi Rudiath segera mengajak istrinya berlalu.
"Doakan Farhan bisa segera menyusul ya, Bey. Minggu depan dia akan menikah lagi." Berita yang diucapkan Rudiath semakin membungkam bibir Abbey dan Bara.
Bukan hal yang harus ditangisi, karena mereka memang tidak lagi ada hubungan. Farhan bebas menentukan masa depannya begitu juga Abbey yang harus menentukan bahagianya sendiri. Namun, tak bisa dipungkiri hanya mendengarnya saja di hati Abbey masih merasakan sakit yang sama seperti saat Farhan pergi meninggalkannya.
-------------------------------->>
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top