-- 09 --

Bisa karena terbiasa. Rasanya hanya kalimat itu yang pantas sebagai penyemangat langkah Abbey. Bersama dengan air mata yang tidak pernah mengering, dia tidak ingin mengurangi sedikit pun rasa syukur. Walau berat, walau sakit, Abbey mencoba bertahan semampu yang bisa dia lakukan.

Perjuangannya baru dimulai. Kini, Abbey lebih menyukai menjadi orang tuli yang bisa melakukan apa pun daripada harus menjadi pendengar yang baik. Pura-pura sehat tetapi hatinya justru merasakan sakit yang teramat sangat. Ujungnya rasa lelah membuat Abbey menyumpal telinganya dengan earphone yang jauh lebih syahdu memperdengarkan lantunan khalam ilahi yang membuatnya semakin yakin bahwa Allahlah sebaik-baiknya pembela ketika dia memilih untuk diam.

Tidak ada dispensasi, Abbey juga masih terjun ke lapangan. Walau ujung dari pekerjaannya selalu membuat dia terkapar tak berdaya setelah sampai di rumah. Namun, lagi-lagi dia harus bisa bertahan untuk tetap tersenyum demi Binar.

"Mbak Nung, Pak Bara malam ini nggak balik ya?" tanya Abbey setelah melihat jam yang menunjukkan kebiasaan Bara setelah sampai di rumah tapi malam ini belum juga tampak batang hidungnya.

"Oh iya, tadi Bapak telepon memberikan kabar beliau harus overnight di Makasar. Besok siang baru pulang selebihnya offduty dua hari, Bu Abbey."

"Ya sudah, kamu temani Binar dulu ya. Saya mau menyelesaikan tugas kantor sebentar." Abbey menyerahkan Binar kepada pengasuhnya. Namun, bayi perempuan itu sepertinya tidak ingin berpisah dari budenya. Dia memilih mengencangkan tangisnya.

Abbey tersenyum kemudian meraih Binar kembali ke dekapannya. Awalnya tangisannya berhenti tetapi tidak lama kemudian Binar menangis. Semua yang dilakukan Abbey dan Nung keliru.

"Mungkin Dik Binar kangen dengan Bapak, Bu. Biasanya kalau rewel begini saya menelepon Bapak, lalu dia akan tenang."

Abbey memperhatikan keseriusan dari nada bicara pengasuh ponakannya. Binar memang sangat jarang bertemubdengan Bara tetapi bukan berarti ikatan batin di antara mereka akan menjauh sebagaimana waktu yang telah memisahkan mereka untuk sementara. Senyumnya terbit setelah itu lalu meminta Nung melakukan hal yang sama seperti yang diucapkan sebelumnya.

"Apa tidak lebih baik Bu Abbey saja?"

Abbey kembali terkejut. Melakukan kontak dengan Bara itu seakan-akan timbul rem pakem secara otomatis meski pada akhirnya logikanya akan berpikir ulang. Karena sejauh ini hubungan keduanya tidak lebih dari sekadar mengetahui perkembangan Binar.

"Kamu saja, Nung. Saya kan lagi gendong Binar," kata Abbey.

Nung memnag melakukan petintah Abbey, tetapi bukan kamera yang menyorot padanya tetapi pada Abbey yang masih berusaha menenangkan Binar dalam gendongannya dari kejauhan.

"Adik nangis, Pak. Awalnya tadi nggak mau pisah dengan Bu Abbey, tapi lama kelamaan nangisnya tidak berhenti," adu Nung.

"Saya berikan ke Bu Abbey ya, Pak?"

"Jangan, biarkan begini dulu. Sesekali Binar juga harus menangis untuk menguatkan paru-parunya. Letakkan di mini tripod saja."

Tidak jauh berbeda dari Abbey, sesungguhnya Bara pun sangat menjaga hubungan mereka. Bukan dia tidak ingin peduli apa yang orang lain katakan, meski dalam hatinya berkata 'mengapa harus mendengarkan mereka? Selama tidak melakukan apa yang orang lain tuduhkan'. Namun, sekarang dia mulai membatasi karena status iparnya yang baru dan juga karena dia sangat menghormati marwahnya sebagai seorang wanita.

Tidak perlu meragukan, seberapa besar kasih Abbey untuk putri kecilnya. Itu sebabnya pula yang membuat Bara tenang meninggalkan Binar bersama Abbey.

"Entah dengan apa nanti aku akan membalas semuanya, Kak. Kamu tidak hanya mengorbankan waktumu untuk membuatnya nyaman berada di sampingmu. Namun, juga seluruh cinta, kasih, pelukan yang harus diterima Binar dari Aine sebagai ibunya."

Tiba-tiba Bara teringat ucapan Abbey yang memintanyra untuk mencari ibu pengganti untuk Binar. Dia memang tidak boleh egois, tapi melihat bagaimana Abbey menimang Binar di depan matanya kini rasa-rasanya putrinya tidak lagi membutuhkan sosok ibu karena Abbey telah memberikan semua yang dibutuhkan Binar. Lagi pula Bara juga masih belum bisa menghadirkan cinta baru karena hatinya masih tertuju pada Aine.

"Apakah aku masih egois dengan menitipkan Binar kepadamu, Kak. Sementara kamu sendiri juga butuh ruang dan waktu lebih untuk menyembuhkan luka batinmu?"

Abbey yang sedang memperhatikan Bara melamun di depan layar gawainya segera menyapa. Binar sepertinya harus segera mendengar suara papanya agar bisa tenang seperti yang dikatakan Nung.

"Bar, kamu ngapain melamun begitu? Ini Binar dari tadi nangis, mungkin ingin mendengar suaramu." Abbey menatap Bara tetapi karena kamera gawai menggunakan kamera belakang sehingga Bara tidak bisa melihat Abbey dan Binar.

Sementara Abbey bisa dengan leluasa memandang ekspresi Bara tersenyum sendiri saat Bara tergeragap layaknya orang linglung yang baru tersadar.

"Anak Papa kenapa sayang?" Suara Bara kembali terdengar ketika Abbey telah merubah arah kamera yang menunjukkan Binar yang masih merengek meski matanya setengah terpejam.

"Sayang, tuh Papa. Binar ingin ngadu apa sama Papa?" Suara lembut Abbey membuat mata Binar terbuka.

Selanjutnya Bara mulai bicara dengan Binar, meski tanpa respons suara tetapi rengekan Binar mulai menghilang. Sepertinya suara Bara memang sangat ampuh menjadi pengobat rindu. Terbukti setelah setengah jam mereka tersambung dalam panggilan video, Binar benar-benar terlelap dalam tidurnya.

"Kak Abbey istirahat saja, pasti capek. Biar Binar tidur dengan Nung."

"Makasih ya, Bar. Malam ini aku harus menyelesaikan pekerjaan. Besok pagi harus sudah ada di meja Pak Bos."

"Jangan terlalu capek kerja, Kak. Si kecil juga butuh istirahat dan belaian ibunya. Kalau dituruti, pekerjaan nggak akan ada habisnya. Aku tidak ingin ada Aine kedua."

Tidak menginginkan kejadian istrinya terulang lagi. Maksud Bara peristiwa Aine harus bisa menjadi pembelajaran terbesar untuk semua keluarganya. Wanita hamil tidak boleh terlalu capek, baik secara fisik atau mentalnya.

"Aku tidak ingin menjadi anak emas karena kehamilanku, Bar. Terlebih omongan teman-teman di kantor yang seakan-akan merendahkanku."

Bara terdiam sesaat tapi akhirnya dia bersuara untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka. "Jangan pernah memaksakan sesuatu, Kak. Jika memang tidak mampu sebaiknya dilepaskan saja."

"Maksudmu apa, Bar?" Abbey mengernyitkan kening.

"Kita tidak tahu sampai kapan kita mampu bertahan, Kak. Namun, apa yang terjadi di sekitar kita rasanya sudah cukup membuat sadar untuk bisa mengukur semuanya. Sebelum Aine pendarahan kemarin, dia sempat ngedrop karena kelelahan sehingga memicu naiknya tekanan darah dan--" Wajah Bara berubah menjadi muram.

"Kak Abbey tahu sendiri bagaimana kelanjutannya."

"Maaf, Bar. Aku tidak bermaksud mengingatkanmu pada Aine."

"Aku tidak ingin Kak Abbey mengalami seperti yang Aine rasakan, terlebih karena Kak Abbey sekarang harus berjuang sendiri." Bara menunduk sedih. Entahlah, baginya kehilangan Aine itu seperti merenggut separuh kekuatannya, meski kini dia berusaha memulihkannya perlahan tapi ketika mengenang semuanya, air mata Bara masih setia keluar tanpa bisa dicegah.

'Bara, kita itu sama-sama merasakan kesakitan dan harus berjuang sendiri untuk bisa bertahan. Terima kasih udah selalu ada untuk aku.'

Abbey menutup teleponnya setelah berjanji dalam hati mengikuti saran Bara. Dia menidurkan Binar lalu mengikuti bayi itu terlelap. Mungkin besok dia akan bangun lebih awal untuk mengerjakan kekurangan dari laporan yang harus diserahkan kepada atasannya.

Namun, keesokan paginya rencana tinggallah sebuah rencana. Sebaik apa pun perhitungan waktu jika kondisi tubuh Abbey tidak mendukung, dia tetap saja tidak bisa mengerjakannya. Morning sickness yang tiba-tiba hadir membuat Abbey menelantarkan semua yang sudah disusun rapi semalam.

Bara yang sempat menelepon sebelum terbang kembali ke Jakarta sedikit cemas dengan kondisi Abbey yang terdengar muntah-muntah.

"Mbak Nung, jaga Binar dengan baik. Tidak perlu meminta bantuan Bu Abbey, dan tolong jika sempat buatkan teh mint dan pijat kakinya. Itu akan lebih menenangkan untuk wanita yang sedang hamil muda."

"Baik, Pak," jawab Nung.

"Sampai di Jakarta, saya akan langsung pulang ke rumah."

Sampai Bara tiba di rumah, kondisi Abbey belum juga membaik. Dia bahkan hanya bisa terbaring lemas di dalam kamarnya. Sampai-sampai Bara meminta Nung memanggilkan bidan desa setempat untuk memeriksa kondisi Abbey.

"Tidak ada masalah, Pak. Namun, kalau Bu Abbey terus menerus tidak kemasukan nutrisi dan cairan saya khawatir beliau akan mengalami dehidrasi dan juga tidak memiliki tenaga. Jadi sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja."

Tidak menunggu lama, Bara menggendong Abbey ke mobil karena dia sudah tidak lagi kuat berdiri. Meski Abbey menolaknya tetapi Nung sepakat dengan Bara, membujuk Abbey untuk bersedia dibawa ke rumah sakit.

"Laporanku harus selesai hari ini, Bar."

"Jangan pikirkan pekerjaan! Biar nanti aku yang menghadap pada atasanmu."

"Tapi, Bar. Kalau kamu ke kantor. Gosip tentang kita--"

"Sekarang kita harus bertemu dengan dokter dan kamu harus menurut, Kak. Setidaknya lupakan sikap egoismu, demi janin yang ada dalam kandungamu!"

Bara berpikir keras, dari sekian banyak prioritas yang harus dijaganya, hal terbesar yang harus dilakukannya sekarang adalah menyelamatkan Abbey dan calon buah hatinya. Setelah apa yang dilakukan Abbey untuk Binar dan dirinya. Sudah sepantasnya Bara membalas kebaikan itu dengan hal yang sepadan.

Sesuai dengan janjinya, meskipun sangat terlambat, Bara mendatangi kantor tempat kerja Abbey dengan membawa surat dokter dari rumah sakit yang menjelaskan bahwa Abbey harus dirawat. Kedatangan Bara menemui Anton membuat riak gosip yang sedikit mereda, kini santer terdengar lagi.

"Wah, mimpi apa Bu Abbey ya bisa dikelilingi makhluk Tuhan paling seksi seperti itu? Bawaannya pengen meluk kulkas terus," kata Winny.

"He em, Pak Bara lama-lama meresahkan hati para jomlo."

"Ganteng tapi kalau sukanya barang second milik orang lain, buat apa dipelihara?" kata Santi yang terang-terangan menatap wajah Bara dengan tatapan tidak suka.

Bara mengepalkan tangannya saat kedua telinganya mendengarkan sendiri. Bagaimana tidak tertekan batin Abbey berada di lingkungan kerja yang tidak sehat seperti ini? Rasanya jika iparnya sudah sembuh, Bara akan menjadi orang pertama yang akan menyarankan Abbey untuk mengajukan pindah ke bagian lain.

Tidak ada yang ganjil dengan sikap Bara. Dia masih bersikap wajar meski hatinya mulai mendidih. Sayangnya, siang hari itu cuaca di luar sangat mendukung untuk memuntahkan amarhnya ketika kedua matanya beraerobok pandnag dengan laki-laki pengecut yang telah menelantarkan calon anaknya bahkan telah membuat istrinya menjadi janda.

"Ow, jadi seorang pilot itu kerjanya wara-wiri di kantor selingkuhannya?"

Bara tidak menanggapi, dia memilih berlalu dan mengabaikan ucapan Farhan. Tetapi dia ingat-ingat wajah wanita yang berdiri di samping mantan suami iparnya itu dengan baik. Senyum masamnya mengembang.

Dalam hati Bara berucap, jika seorang pilot terlihat ganjil berjalan di koridor kantor Abbey, lalu untuk apa seorang pengacara ada di sana? Bukankah itu sama ganjilnya. Terlebih saat tidak ada masalah kantor yang harus dia bela.

-------------------------------->>
to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top