-- 08 --

Menjadi perbincangan saat menerima surat peringatan. Tak kan habis air mata yang mengalir atau sekadar kata sabar yang keluar untuk menguatkan. Tidak ada yang percaya, mungkin hanya sekadar tersenyum sebagai penghormatan padahal di belakang mereka dengan fasih membicarakan aib orang lain yang belum tentu kebenarannya. Menerima adalah hal sulit yang pastinya jauh lebih baik untuk kesehatan hati. Setidaknya itu yang menjadi pedoman Abbey untuk tetap menjaga kewarasan disela gemuruhnya hati untuk menjalani semua yang telah menjadi ketetapan-Nya.

Dari perjalanan menuju ke kantor, perut Abbey tiba-tiba mulas. Sesampainya di kantor mendaratlah di ke toilet segera. Namun, justru dari sanalah kedua telinganya menjadi saksi, siapa teman sejati dan yang hanya berpura-pura memuji.

"Parah, malu aku punya atasan tukang selingkuh. Atau sekarang sedang marak ya. Kemarin aku dengan ada menantu selingkuh dengan mertuanya, sekarang bahkan tahu sendiri perselingkuhan sesama ipar. Jangan-jangan sebelum adiknya meninggal mereka sudah selingkuh."

"Atau malah dia tuh bahagia ya adiknya meninggal. Kan, jadinya bisa ena-ena lagi sama iparnya."

"Ih, benar juga ya. Nggak mungkinlah suaminya yang notabene jadi lawyer tidak mencari tahu dulu. Dia pasti telah mendapatkan bukti dan saksi. Parah emang, nggak punya malu banget, mana pura-pura innocent gitu mukanya."

"Nggak mungkin sih, kalau menurutku. Bu Abbey baik kok sama semua orang memang. Pas aku lahiran kemarin saja sampai bela-belain bantuin keluargaku di rumah untuk ngiapin semua kebutuhan karena anakku lahir prematur."

"Halah, emang karena dia nggak bisa punya anak saja, makanya kalau ada orang melahirkan selalu caper."

"Sudahlah, kita tidak pernah tahu yang sebenarnya seperti apa. Kalau apa yang kita dengar keliru jatuhnya malah fitnah. Kasihan loh Bu Abbey."

"Rita tuh berbakti banget sama Bu Abbey, udah tahu dia dipanggil sama Pak Anton. Sekarang bahkan sudah dipanggil ke BKD untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."

"Bukan begitu, San. Kemarin aku juga dipanggil ke BKD kok tentang laporan KDRT itu. Wajarlah kepegawaian ingin tahu bagaimana cerita yang sebenarnya. Makanya yang bersangkutan dipanggil."

"Alah, udahlah fix. Emang Bu Abbey aja yang gatel. Padahal Pak Farhan gantengnya ampun-ampun. Masih juga nyosor iparnya. Jadi penasaran seganteng apa iparnya yang bernama Bara itu kok fenomenal banget di kator jadinya."

Hati Abbey teriris ketika mendengar seluruh percakapan tanpa sensor dari temat kerjanya. Abbey memang tidak melihat tapi bukan berarti dia tidak tahu siapa saja pemilik suara sumbang itu. Hanya Carita yang masih berbaik hati mempercayainya. Padahal selama ini Abbey sangat dengat dengan Santi. Nyatanya kedekatan tidak serta merta membuat orang yang kita percaya bisa menjadi teman yang baik. Beruntunglah sejauh ini Abbey sangat tertutup tentang kehidupan rumah tangganya dengan Farhan sehingga mereka tidak banyak bisa mengulik cerita dan menghiperbolakan tanpa mempertimbangkan ada hati dan perasaan yang terluka.

Tak terasa air mata Abbey jatuh, bukan lagi menetes tetapi sudah mengalir deras. Dia memilih tetap berada di dalam bilik toilet. Bukan tidak berani menampakkan muka, tapi memilih menjaga nama baik teman-temannya. Tidak ingin membuat mereka malu dengan memunculkan diri tiba-tiba.

Namun ternyata Allah tidak ingin menutup sakit hati Abbey dengan menelan sendiri air matanya ke perut. Gawainya tiba-tiba berbunyi, suara nyaring yang terdengar menandakan dia lupa menon-aktifkan suaranya. Mau tidak mau akhirnya wanita itu keluar juga dari bilik toilet dan bertemu dengan rekan-rekannya. Abbey hanya tersenyum sekilas lalu melewati semuanya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Tuh, mampus kita!" kata Santi.

"Bu Abbey bukan tipe suka mengadukan ke atasan, harusnya kita malu membicarakan beliau di belakangnya." Carita memilih meninggalkan teman-temannya dan menyusul langkah Abbey untuk meminta maaf.

Ketika Carita sampai di ruangannya, Abbey masih menelepon dan mencari berkas di tumpukan pekerjaan yang ada di mejanya.

"Saya kirimkan secepatnya, Pak. Sekali lagi mohon maaf untuk keteledoran saya." Abbey meletakkan gawainya di meja.

Sapaan Carita membuat kepalanya terangkat sejenak. Memperhatikan bawahannya lalu tersenyum saat bibir Carita mengucapkan kata maaf.

"Sudah, tidak perlu meminta maaf, Rit. Saya tidak apa-apa." Abbey kembali mencari benda yang diminta orang dalam telepon.

"Tapi, Bu. Saya--"

Desahan napas Abbey terdengar lembut. "Saya tidak bisa membela diri, Rit. Meski apa yang mereka katakan itu adalah fitnah. Biar Allah saja yang menunjukkan benarnya suatu hari nanti karena semakin banyak saya membela diri dan mengatakan tidak, sebanyak itu pula mereka tidak percaya bahkan bisa melebihi. Jadi ya biarkan saja--"

"Bu, mengapa saya tidak bisa sesabar Bu Abbey. Padahal saya masih punya anak yang butuh bimbingan papanya, tapi peristiwa kemarin--"

"Manusia diberikan pilihan, Rit. Kamu sudah benar memperjuangkan hakmu sebagai wanita. Tidak perlu di sesali. Ibrahim adalah kekuatanmu, jadikanlah dia laki-laki yang tangguh tanpa harus membuat air mata wanita mengalir karena kekerasan." Abbey kembali melanjutkan pekerjaannya. Carita sendiri memilih untuk kembali ke bangku kerjanya.

Tidak ada harapan. Perlawanan pun rasanya sangat sulit dilakukan. Sementara Abbey telah pasrah dengan semua nasib takdirnya. Kini, dia hanya bisa menyiapkan hati untuk membesarkan buah hatinya sendiri. Semua bukti yang ditunjukkan Farhan dalam persidangan seolah mamang menyudutkan dia. Beberapa foto yang diambil saat Abbey berduaan dengan Bara pun pada akhirnya menjadikan bom waktu yang membuat palu hakim terketuk untuk memisahkan keduanya.

Perpisahan yang sebenarnya tidak diinginkan tetapi Abbey harus kuat menjalaninya sendiri. Dia bahkan harus berbesar hati saat menerima sanksi penundaan kenaikan pangkat karena laporan Farhan. Tidak ada agenda pledoieski Bara berusaha membantunya untuk menyewakan pengacara. Abbey menolak semuanya, melawan api tidak bisa dengan menyiramkan bensin. Biarkan api itu padam dengan sendirinya dan penyesalan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.

"Kak, Kakak bisa memperjuangkan hak mengapa harus diam? Harga diri Kak Abbey diinjak-injak oleh mantan suami Kak Abbey sendiri." Bara masih mengenakan seragam dinasnya ketika menemui Abbey.

Laporan Farhan dimentahkan oleh saksi yang melihat mereka berseteru sampai Bara melayangkan bogem. Dalam CCTV juga terekam bahwa Farhanlah yang memulai perkara hingga menyulut emosi Bara. Polisi akhirnya mengeluarkan SP3 untuk kasus yang menjerat mereka dan Bara kembali berdinas seperti sedia kala.

"Aku tidak ingin membuang tenaga untuk sesuatu yang sia-sia, Bar. Lebih baik aku menata diri untuk kebahagiaan kami. Ada hal yang lebih penting dan prioritas dalam hidupku sekarang, Bar."

Bara tersenyum lalu meninggalkan iparnya sendiri di rumah mertuanya. Dulu ketika Aine masih ada, dia bersikukuh tidak ingin meninggalkan rumah orang tuanya dengan alasan pekerjaan Bara yang seringkali harus menginap di luar kota dan keinginan Aine untuk merawat keduanya di hari tua. Sementara Abbey sudah tinggal bersama suaminya. Namun, saat dia harus berpisah dengan Farhan wanita itu bingung harus tinggal di mana.

Bara memintanya kembali ke rumah yang kini dia tinggali, biar Bara yang mencari kontrakan rumah untuk sementara waktu. Meski akhirnya Bara telah memperoleh tempat tinggal, kondisi berbeda ketika Binar sudah diperbolehkan pulang. Dokter telah memberitahukan bahwa seluruh organ dalam Binar sudah berfungsi dengan baik. Saat itulah Abbey menawarkan diri untuk membantu merawatnya.

"Anak cantik, malam ini tidur dengan Bude ya. Papa harus pulang dulu." Bara mencium pipi Binar sebelum benar-benar meninggalkan mereka.

Pada akhirnya, Bara pun mengalah untuk merendahkan egonya. Menitipkan Binar kepada Abbey adalah keputusan paling baik karena pekerjaan dia yang tidak menentu untuk tetap tinggal di kota. Terlebih saat melakukan rute perjalanan panjang.

"Iya, Pa. Adik nggak nakal kok sama Bude."

Ada hangat yang menyeruak tiba-tiba muncul di hati Abbey. Membayangkan dan berandai-andai, tujuh bulan lagi saat anaknya lahir, dia pasti akan mendapatkan kebahagiaan yang utuh jika Farhan masih bersamanya. Tapi tak lama kemudian, Abbey cepat-cepat mengenyahkan khayalan tingkat dewanya. Dia kembali mengucapkan syukur, bahwa masih diberikan kesempatan untuk bisa berbuat baik kepada sesamanya.

"Kak, aku titip Binar."

Bara tersenyum sekilas pada Abbey lalu benar-benar berlalu di kegelapan malam.

Abbey masih menimang Binar untuk meninabobokannya saat kedua matanya memandang foto keluarga dengan formasi lengkap. Ada orang tuanya, Aine dan Bara serta dia dan Farhan yang tersenyum merekah di depan kamera. Momen bahagia yang tidak mungkin bisa dihapus begitu saja dalam ingatannya.

"Mungkin Allah memang menuliskan jalan hidup Bude seperti ini supaya bisa merawat kamu dengan baik, Dik." Abbey mengusap kening Binar yang sudah terlelap.

Menyenangkan dan kebahagiaan baru untuk Abbey. Setidaknya untuk membuat pikirannya tetap waras ditengah kesedihan yang harus dia lalui. Hamil saat menjadi janda setelah tiga belas tahun berjuang bersama. Beruntung Binar tidak rewel setiap malam, dia hanya akan merengek saat jam minumnya tiba. Setelah itu bayi empat bulan itu akan terlelap lagi sampai menjelang subuh.

Pagi ini, saat mata Binar terbuka lebar. Abbey justru merasakan mual yang menjadi-jadi, sampai-sampai dia mengabaikan jerit tangis Binar yang merasa diabaikannya. Pengasuh Binar seketika langsung menghubungi Bara dan memberitahukan kondisi Abbey yang muntah-muntah dan lemas tak berdaya.

Mengabaikan pesan Abbey agar tidak menimbulkan gunjingan tetangga, Bara justru memilih melesat meski azan subuh belum berkumandang.

"Bar, kamu ngapain kemari sepagi ini?" Abbey mengenyitkan kening ketika melihat iparnya berdiri di depan pintu.

Belum sampai Bara menjawab, perut Abbey kembali bergolak. Dia memuntahkan isi perut ke wastafel seperti sebelumnya. Bara masuk ke kamar, mencari tas mekap putrinya dan menemukan minyak oles yang mungkin bisa meredakan mual Abbey dengan menghidunya. Namun, sepertinya bukan membuat Abbey lebih baik, Bara justru membuat rasa mualnya semakin parah.

"Maaf-maaf, Kak." Bara kembali mengingat apa saja yang dulu dia lakukan saat Aine mengalami hal yang serupa dengan Abbey saat ini.

Ragu-ragu Bara mengangkat tangannya. Berniat untuk menyentuh tengkuk iparnya. Jika tidak berhasil, pagi ini juga dia akan membawa Abbey ke rumah sakit. Tidak tega melihat iparnya lemas seperti ini karena mual tetapi tidak ada lagi yang dikeluarkan.

"Maaf, Kak. Dulu ketika Aine morning sickness aku suka melakukan ini dan mualnya reda. Maaf ya--"

Abbey terdiam ketika tangan Bara mengurut tengkuknya dengan lembut. Hanya napasnya yang kini naik turun menyesuaikan irama detak jantungnya. Bukan sihir, bukan juga sulap, tapi ajaibnya rasa mual yang beberapa detik lalu singgah di perut Abbey tiba-tiba menguap. Namun, bukannya senang Abbey justru menangis dan meminta Bara menghentikannya.

"Sudah cukup, Bar."

Abbey menumpahkan air matanya. Ternyata memang tidak mudah hidup sendirian. Dia tetap saja membutuhkan orang lain untuk menolongnya. Dan saat Bara memberikan pertolongan itu, mengapa justru tubuhnya menerima dengan baik sedangkan logikanya menolak karena hubungan mereka yang jelas tidak memperbolehkan itu.

"Jika Allah memisahkan aku dengan Mas Farhan saat aku membutuhkannya, mengapa Engkau justru mendekatkanku dengan Bara ya Rabb? Pesan apa lagi yang harus kuterima dengan baik?" Air mata Abbey mengalir deras bersamaan dengan ketukan pintu yang terdengar di perungunya.

"Kak, sudah azan subuh. Kita salat dulu yuk."

Abbey tersentak, suara panggilan Bara yang lembut membuat hatinya bergetar. Bukan karena dia menyukai adik iparnya tetapi hatinya tersentuh dengan bagaimana cara Bara mengajak untuk menunaikan kewajiban mereka. Padahal selama menikah dengan Farhan, belum pernah sekalipun dia dibangunkan dengan cara demikian.

"Astagfirullah, mengapa aku jadi membandingkan Bara dengan mantan suamiku. Ampuni aku, ya Rabb." Abbey bergumam lirih.

-------------------------------->>
to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top