-- 07 --
Menjadi tergugat dalam sebuah panggilan peradilan. Abbey masih belum bisa mempercayainya. Hari yang sama di mana dia harus hadir dalam sidang mediasi pun sepertinya terlewatkan karena masih harus bedrest di rumah sakit. Sementara Bara masih menemaninya di dalam ruangan karena harus berbincang dengan dokter perihal sakitnya Abbey.
"Jadi bagaimana, Dokter?" kata Bara.
"Sepertinya ini bukan ranah saya lagi untuk menjelaskan, kondisi Bu Abbey sudah stabil. Tapi wajar di trimester pertama itu bawaannya macam-macam. Jadi Bapak harap bersabar."
"Maksudnya trimester pertama?" Bara menahan langkah dokter yang berniat meninggalkan ruangan.
Kerutan kening Dokter Hauzan membuat Bara dan Abbey saling berpandangan.
"Maaf, apa saya belum menyampaikannya?"
"Menyampaikan apa dokter?" kata Abbey.
"Hasil tes darah dari Bu Abbey?" Hauzan memandang Bara dan Abbey bergantian yang kompak menggelengkan kepala.
Senyuman laki-laki bersneli itu terbit kemudian mengulurkan tangan kepada Bara. Memberikan ucapan selamat lalu menatap Abbey yang masih bingung dan berkata, "Setelah ini nanti pemeriksaannya akan dilanjutkan oleh Dokter Risyad karena hasil tes darah Bu Abbey menyatakan bahwa Ibu positif hamil."
Tepat di saat yang bersamaan, atasan Abbey masuk ke ruangan yang terbuka pintunya. Mendengarkan dengan jelas kalimat Hauzan lalu menatap laki-laki yang kini berada di ruangan yang sama. Dalam hatinya bertanya, benarkah berita yang mulai beredar bahwa suami Abbey menggugat cerai karena bawahannya itu kini sedang bermain hati hingga dia hamil saat ini.
"Pak Anton." Sapaan Abbey membuat hening suasana beberapa saat, hingga Hauzan meminta izin keluar dan Bara pun mengikuti langkah dokter untuk kembali ke NICU melihat kondisi Binar.
"Bagaimana kondisinya?" Anton pun merapat ke tempat tidur Abbey.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa masuk kantor hari ini."
"Yang penting sehat dulu, perkara kantor bisa digantikan yang lain untuk sementara waktu. Tapi--" Tampak ragu-ragu Anton mencoba berbicara dengan sangat hati-hati.
"Iya, Pak?" sambut Abbey.
"Maaf, Bu Abbey, jika saya harus membicarakan ini dan mungkin tidak akan pernah tepat waktunya untuk bicara." Kelihatan serius dan belum bisa mempercayainya tetapi Anton harus menyampaikan semuanya kepada Abbey.
"Saya tidak mengerti maksud Bapak, maaf." Abbey mengerutkan kening. Sepertinya atasannya ini membawa kabar kurang baik atas dirinya.
"Hari ini saya menerima surat dari BKD yang menjelaskan bahwa suami Bu Abbey tidak terima dan melaporkan Bu Abbey atas kasus perselingkuhan dengan ipar Bu Abbey sendiri."
Abbey tersentak, ternyata Farhan tidak hanya menggertaknya. Dia benar-benar membuat panjang urusan yang seharusnya tidak perlu dibesarkan. Hati Abbey mulai memanas, rasanya dia memang ada yang keliru jika dia tetap bersikukuh mempertahankan pernikahannya dengan Farhan.
'Untuk apa kamu bertahan, Bey? Sementara pasanganmu tidak lagi mau berjalan beriringan denganmu.'
'Egonya sebesar rasa cemburunya, tetapi cintanya tidak pernah mengerti apa yang sesungguhnya menjadi ingin di hatimu.'
'Perceraian bukanlah hal yang baik, tapi mungkin ini cara terbaik untukmu melangkah tanpa harus menjadi beban siapa pun.'
Rangkaian kalimat penyemangat hatinya untuk kuat tiba-tiba hadir beruntun tanpa bisa dicegah ataupun dikoreksi.
"Bu Abbey--?"
Lamunan Abbey terkoyak ketika namanya kembali dipanggil Anton. Mungkin ada kalimat yang terlewat untuk dia dengar saat melamun beberapa saat yang lalu.
"Saya tidak yakin, tetapi sebagai atasan yang bijaksana, saya harus bertanya terlebih dulu."
"Tidak, Pak. Saya dan Bara, kami masih tetap menjadi ipar yang baik." Abbey mulai meneteskan air matanya kembali.
Kini dia tidak lagi memiliki daya untuk mengelak rasanya percuma saja. Sebanyak apa pun dia berteriak tidak, sebanyak itu pula besaran ketidakpercayaan masyarakat kepadanya. Biarkanlah Allah menjadi pengadilan yang paling adil untuknya kelak.
"Apa dia yang tadi ada di sini bersama dengan dokter yang memeriksa Bu Abbey?"
Abbey mengangguk, dia enggan menjelaskan lebih banyak lagi. Hatinya terlalu sakit untuk bisa mengerti lagi apa mau dari suaminya.
"Maaf, Bu Abbey. Tapi sebelum saya memberikan tanggapan atas surat tersebut, saya memang harus memastikan, karena Pak Farhan memberikan beberapa bukti yang menguatkan tuntutannya."
Abbey tidak habis pikir, sampai dengan atasannya keluar dari ruangannya. Dia masih menahan semua sesak yang ada di dadanya.
Saat Bara kembali ke kamar Abbey lagi, Abbey masih bersimbah air mata. Lagi-lagi Bara menebak, pasti ada sangkut pautnya dengan suami iparnya kini.
"Apa aku perlu ke kantornya Bang Farhan, Kak?"
"Tidak perlu!" Abbey memalingkan wajahnya dari tatapan Bara.
"Sebaiknya kamu keluar, Bar. Aku tidak ingin kamu semakin terseret masalahku terlalu jauh. Terima kasih sudah baik."
"Kak--?" Bukannya menjauh Bara justru memilih mendekat. "Bang Farhan berbuat apa lagi kepada Kak Abbey?"
"Dia melaporkan kita ke kantorku, Bar. Sebaiknya kita memang tidak sering bertemu, maaf. Meski aku tahu, kita tidak seperti yang Mas Farhan tuduhkan. Jangan terlalu menantang badai."
"Kak, kita tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan mengapa harus takut dengan mereka." Bara meletakan satu botol air mineral di nakas dekat tempat tidur Abbey.
"Sudahlah, Bar. Tidak ada untungnya kita menantang Mas Farhan. Tinggalkan aku sendiri, Binar lebih membutuhkanmu."
"Tapi kamu sedang hamil, Kak. Aku merasakan bagaimana Aine hamil dulu, dia butuh banyak bantuan. Sedangkan kamu sudah banyak membantu aku untuk Binar. Sudah sewajarnya aku membalas."
"Aku ikhlas, Bar. Menjauhlah, pikirkan masa depan Binar. Mungkin jika kamu menolongku justru akan menjadi dilema untuk masa depan kalian. Terima kasih untuk kebaikanmu."
Abbey masih meneteskan air mata. Ditambah lagi ketika Bara kembali menatapnya saat dia hendak melangkah keluar kamar. Baginya kini, di saat Allah mengambil semua yang pernah menjadi miliknya, Dia justru memberikan anugerah yang selama ini Abbey tunggu hadirnya ke dunia. Jika Bara masih ada di sekelilingnya, Abbey yakin Farhan akan semakin membencinya sedangkan dia harus memberitahukan kabar bahagia ini kepadanya. Meski mungkin Farhan akan tetap menuntutnya, tapi setidaknya anak dalam rahimnya tahu bahwa dia memiliki seorang papa.
Seperti yang dikatakan Hauzan, Risyad berkunjung ke ruangan Abbey. Melakukan anamnesis lalu meminta perawat untuk membawa Abbey ke ruangannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
"Hari ini kita akan periksa USG lengkap ya Bu Abbey, supaya Ibu bisa melihat calon bayi yang masih mungkin di rahim Ibu."
"Terima kasih, Dokter Risyad." Senyuman Abbey mengakhirkan pertemuan mereka di kamar rawatnya.
Abbey kuat, setidaknya demikianlah kalimat positif yang selalu dia sampaikan untuk calon anak yang kini sedang bertumbuh di rahimnya. Risyad pun sepakat, tidak ada masalah yang berarti dengan kandungan Abbey. Namun, dia harus menjaganya dengan baik. Asupan nutrisi yang cukup dan tidak terlalu capek beraktivitas adalah dua hal yang harus diperhatikan Abbey untuk saat ini.
"Bawaannya akan macam-macam, Bu. Biasanya ibu hamil juga ada yang melewati morning sickness berlanjut meski telah melewati trimester pertama. Jadi, saya resepkan untuk anti mualnya tapi hanya boleh dikonsumsi apabila rasa itu tiba-tiba datang."
Abbey menerima resep, lalu dia kembali ke ruangan. Menunggu sampai cairan infusnya habis, Risyad memperbolehkannya pulang.
Saat Abbey berjuang seorang diri, Bara hanya bisa memperhatikan dari jauh. Satu hal yang selama ini dikagumi dari iparnya, dia selalu memberikan contoh yang baik untuknya juga pada Aine. Tidak salah jika semasa Aine masih hidup dia selalu membanggakan kakaknya. Karena kini Bara merasakannya sendiri, betapa mandirinya Abbey. Dia yang selalu ringan tangan untuk membantu sesamanya. Baik kepada siapa pun tapi justru orang terdekatnya tidak bisa melihat bahwa mereka memiliki mutiara yang harusnya bisa dijaga dengan baik.
"Aku tidak pernah tahu masalah Kak Abbey dengan Bang Farhan sebelum ini, tapi aku masih ingat saat-saat terakhir Aine sebelum dia pergi untuk selamanya. Dia memintaku untuk menjaga Binar sekaligus Kak Abbey. Apa karena Aine sudah tahu bagaimana sikap Bang Farhan dan keluarganya kepada Kakak?" Bara bergumam dalam hatinya.
Dia bisa mengantarkan Abbey pulang, tetapi langkahnya urung dilakukan. Bara sangat menghormati Abbey. Baginya tidak masalah maju selama tidak melakukan salah, tapi benar kata iparnya jika nanti justru akan menjadi bumerang atas sikapnya yang menantang badai. Pada akhirnya, Bara hanya bisa melihat Abbey keluar rumah sakit hanya didorong oleh perawat tanpa keluarga yang menyertainya.
Dalam taksi, bukannya pulang. Abbey justru memilih untuk datang ke Pengadilan Agama walau terlambat. Pasalnya setelah sampai di sana, benar saja sidang mediasi itu sudah tidak ada lagi karena Abbey dianggap tidak datang dan tidak lama lagi jam kerja juga telah usai.
"Nanti silakan datang di sidang lanjutan yang dijadwalkan akan mendatangkan saksi, Bu Abbey. Akan ada panggilan melalui surat dsn juga kami akan mengingatkan melalui pesan singkat."
Abbey mengangguk kemudian berjalan keluar melalui koridor utama. Saat yang tepat, di selasar pengadilan agama kedua matanya justru berserobok pandang dengan mata elang yang selama ini Abbey kagumi karena dia begitu mencintai pemiliknya.
"Mas Farhan--"
Awalnya Farhan berniat untuk menghindar, tetapi Abbey jauh lebih dulu menahan langkahnya.
"Allah lebih tahu dari semua fitnah yang kamu tuduhkan kepadaku."
"Itu bukan fitnah Abbey, itu fakta. Buktinya kamu masih tetap berhubungan, kan, dengan iparmu itu?" Farhan menaikkan sebelah alisnya. "Ipar rasa pacar!" Farhan tersenyum miring.
"Aku tidak pernah melakukannya, Mas." Abbey mencekal lengan Farhan yang hendak pergi meninggalkannya.
"Tapi kamu tetap ke rumah sakit dengan dia, kan? Kedua mataku jadi saksi, Bey. Pura-pura sakit supaya bisa dekat dengan Barakuda? Huh?!"
"Astagfirulah, hatimu terbuat dari apa sih, Mas?" Abbey mencoba menantang tatapan Farhan. "Aku kemarin pingsan, dan Bara membantuku karena kebetulan dia melihatku dibawa ke IGD."
"Alasan!" bentak Farhan.
"Lagian darimana Mas Farhan tahu kalau aku sempat dirawat di rumah sakit?" Abbey mulai mencari celah kebohongan dari tatapan suaminya.
"Tidak perlu kamu tahu aku tahu darimana. Kalau salah ngaku saja salah, jangan memilih lempar batu sembunyi tangan."
Abbey mencari surat ketetangan dokter yang menyarakan kehamilannya di dalam tas. Lalu dia menyerahkan kepada Farhan. Maksud hati supaya suaminya ini tidak selalu overthinking atas semua yang dia lakukan. Namun, sayangnya Abbey tetap salah memprediksi sikap Farhan.
"Oh, jadi kamu hamil?" Farhan tertawa lirih. "Hebat sekali Bara menggaulimu, baru sebentar sudah langsung jadi. Padahal aku yang menikahimu tiga belas tahun yang lalu saja tidak pernah berhasil membuatmu hamil. Atau benar kata Mama, jangan-jangan memang kamu tidak mau mengandung anakku dan memilih mengandung anak orang lain?" Farhan melempar surat yang dia pegang ke muka Abbey.
"Jadi, kamu kemari hanya untuk mengatakan kalau kamu sudah hamil anak Bara? Bagus, semakin cepat kita berpisah karena alasan itu." Farhan meninggalkan Abbey yang masih belum bisa percaya jika suaminya bisa berkata sedemikian hebatnya untuk melecehkan harga dirinya sebagai wanita.
-------------------------------->>
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top