-- 05 --

Apalah artinya sebuah keluarga jika ada masalah di dalamnya selalu ada campur tangan pihak luar, meskipun itu orang tua kita. Abbey duduk menunduk di hadapan kedua mertuanya. Setelah peristiwa di rumah sakit petang itu, Farhan belum sehari pun pulang ke rumah mereka. Setiap kali habis bertengkar dengan Abbey, Farhan memilih pulang ke rumah orang tuanya.

Setelah itu Abbey harus menyiapkan hati untuk menghadapi keduanya tanpa suami yang dulu pernah menjanjikan suka duka akan dilalui bersama.

"Saya menyerah, Ma." Kalimat yang akhirnya diucapkan Abbey bersamaan dengan tetesan air matanya.

Dua hari ini dia berusaha menghubungi Farhan tetapi suaminya selalu menolak panggilan. Abbey tidak mau menyusul ke rumah mertuanya karena dia tahu Farhan akan memulai debat kusir di depan keduanya seperti pengalaman yang telah lalu. Abbey lelah membuka lembaran pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

"Maksud kamu menyerah bagaimana, Bey?" tanya Mama Farhan.

"Abbey menerima semua tuduhan Mas Farhan. Sebanyak apa pun Abbey menjelaskan, semakin pula Mas Farhan tidak mempercayainya. Abbey kalah, Ma, Abbey menyerah. Sekarang, terserah seperti apa inginnya Mas Farhan." Abbey lelah.

Tiga belas tahun bersama nyatanya tidak membuat Farhan berubah. Sebagai perempuan, dia sangat mengerti bagaimana bersikap tanpa harus diberitahu setiap waktu, dia juga bisa membedakan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Abbey memang hanya wanita biasa dia bukan Siti Asiya yang dengan sabar bisa mendampingi Firaun. Dia juga bukan Rahmah binti Afratsim, Abbey Jean Damani hanyalah wanita akhir zaman yang ingin berbakti kepada suami tetapi seolah tidak pernah mendapatkan dukungan hingga terkesan sebagai istri yang tidak mengerti bagaimana aturan yang seharusnya dilakukan.

Masalah Binar ini bukan kali pertama di terima Abbey. Bukan hanya Bara, laki-laki yang pernah dicemburui Farhan. Masih banyak teman kantornya yang lain hingga membuat Abbey tidak nyaman dengan tuduhan suaminya yang tak berdasar. Sampai-sampai dia enggan menanggapi dan berita itu akhirnya mengabur dengan sendirinya karena memang tidak pernah terbukti.

"Dengan kata lain, kamu dan Bara memang ada main di belakang Farhan?" kembali suara mama mertua Abbey terdengar.

Abbey tersenyum kecut. Semakin banyak dia berkata tidak semakin panjang percakapan yang tidak akan pernah ada ujung dan pangkalnya ini.

"Menurut Mama?" Abbey menantang.

"Ya kalau kamu mengiyakan, Mama bisa bilang apa?"

Gelengan kepala Abbey sebagai jawaban atas semua kesimpulan yang pada akhirnya akan selalu menyudutkannya.

"Bey--?" Mama Farhan mendapatkan kepastian.

"Ma, Abbey bukan baru setahun, dua tahun menjadi istri Mas Farhan. Artinya sepanjang itu pula Abbey menjadi menantu Mama. Kalau dari banyak cerita kami yang akhirnya sampai di telinga Papa dan Mama, dan masih butuh konfirmasi setelah berulangkali Mas Farhan tuduhkan sementara ujungnya semua itu hanyalah masalah cemburu yang tanpa dasar, apakah Mama dan Papa masih akan percaya dengan jawaban Abbey?"

"Tinggal jawab iya atau tidak saja mengapa harus muter-muter seperti itu, Bey?"

Abbey memang bukan Farhan. Meskipun laki-laki, suaminya itu memiliki jutaan kata yang bisa disampaikan setiap hari. Mungkin karena Farhan seorang penasihat hukum yang membutuhkan skill dewa untuk bisa perang opini dan fakta di depan pengadilan atau memang karena dari awal Farhan terlahir sebagai orang yang kaya akan kosakata dalam pikirannya.

"Tidak, Ma," jawab Abbey akhirnya.

"Kalau tidak, mengapa Farhan harus bersikap seperti itu? Mama tahu persis bagaimana dia."

Baru saja Abbey membatin, dan kini terbukti dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh mertuanya.

"Abbey tidak menuntut Mama dan Papa percaya atau tidak, karena Abbey tahu langit tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa dia tinggi."

"Bukan begitu, Bey. Kami datang untuk mencari solusi perdamaian kalian berdua. Mamamu hanya memastikan, Papa pun juga sama."

"Maaf, Pa. Tapi jujur saya sudah lelah dengan sikap Mas Farhan yang seperti ini. Sedikit-sedikit ngadu ke Papa dan Mama," kata Abbey.

"Eh, tidak boleh begitu ya," potong mama Farhan. "Perempuan, terutama istri, itu wajib mengingatkan kalau suami keliru, jangan bosan-bosan menjelaskan supaya ada penyelesaian dari persoalan yang kalian hadapi. Ini belum apa-apa sudha bilang lelah!"

"Ma--"protes papa Farhan.

"Mama tidak suka dengan wanita yang menganggap sepele masalah rumah tangganya. Benar Farhan cerita kepada kita, Pa. Karena mingkin dia sudah kehabisan akal untuk mendidik istrinya yang susah diberitahu ini!" Suara mama Farhan mulai meninggi.

Abbey tidak lagi peduli, sudahlah, kalau memang kapal yang mereka tumpangi harus karam dia sudah pasrah dengan jalan takdirnya.

Sepeninggal kedua mertuanya, Abbey tak punya perbendaharaan kata yang pas untuk mengungkapkan seperti apa yang kini dirasakan. Sampai-sanpai dia menghabiskan waktu liburan akhir pekannya hanya dengan rebahan di tempat tidur yang masih lekat dengan aroma Farhan. Karena Abbey sengaja menyemprotkan parfum yang biasa dipakai suaminya di seprei.

"Aku mencintai kamu, Mas Farhan. Mengapa kamu begitu tega menguji kesabaranku dengan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan?"

Abbey beranjak, langkahnya mencoba mendekati lemari kaca tempatnya menyimpan album pernikahannya bersama Farhan tiga belas tahun yang lalu. Senyum Abbey kembali terukir ketika melihat bagaimana dulu Farhan mendekatinya.

Dia yang kala itu masih menjadi mahasiswa kedinasan, kemana-mana menggunakan seragam dan Farhan tidak pernah malu mengajaknya makan keluar atau sekedar berbelanja kebutuhan mereka di pusat perbelanjaan. Lebih daripada itu Abbey terkesan bagaimana lembutnya perlakuan laki-laki itu kepada kedua orang tuanya.

"Sikapmu tidak pernah failed saat bersama orang tuaku, Mas. Aku tahu karena kamu sayang padaku dengan caramu, tetapi kamu tidak pernah mau mendengar hal apa yang aku inginkan dalam hidup ini." Abbey berbicara dengan dirinya sendiri.

Puas dengan album kenangan itu, Abbey mencoba untuk kembali menelepon Farhan tetapi panggilannya masih diabaikan. Ini bukan tentang siapa yang memulai, tapi bagaimana cara mereka untuk menyelesaikan masalah.

Di lain sisi, Farhan benar-benar melakukan ancamannya kepada Bara. Dia melaporkan tindakan Bara atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan tindakan kekerasan. Bukti hasil visum mendukung aduannya, hingga Bara harus bersiap menghadapi tim penyelidik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Senin pagi, kantor tempat kerja Abbey sudah heboh dengan pemanggilan Abbey sebagai saksi atas pemukulan yang dilakukan oleh iparnya. Abbey sendiri juga tidak mengerti darimana mereka semua mengerti. Namun, yang jelas hari itu Abbey harus meminta izin atasannya dan membenarkan semua gosip yang beredar di luar.

"Jadi, cerita tentang kamu dan iparmu itu juga benar?" tanya atasannya.

Abbey tersenyum kaku menanggapi pertanyaan atasannya. Lalu dia menggelengkan kepala. "Pemukulan itu benar, Pak. Tetapi untuk cerita itu, saya bisa menjamin kalau itu hanya karangan."

"Jujur saya kaget sekali mendengarnya. Setahu saya, kamu tidak pernah berperilaku yang aneh-aneh di kantor."

"Mohon doanya yang terbaik, Pak. Saya tidak ingin membela diri. Yang saya tahu satu bahwa Allah tidak pernah tidur untuk menyaksikan apa yang telah saya lakukan."

Abbey kemudian meminta izin keluar dari ruangan atasannya.

Tidak ada yang harus ditakutkan, sejauh ini Abbey merasa tidak melakukan perbuatan keliru. Dia masih menjaga kesucian pernikahannya bersama Farhan. Jika harus disalahkan, Abbey siap dengan semua konsekuensinya.

Di kantor polisi, Abbey dicecar dengan sembilan pertanyaan yang nyaris menghabiskan waktu bekerjanya. Dia tidak habis pikir, apa untungnya bagi Farhan melakukan semua ini. Bukannya yang ada dia justru membuka aib keluarganya sendiri.

"Terima kasih atas kerja samanya, Bu Abbey."

Abbey masih belum berniat melajukan kendaraannya. Lemas yang kini dia rasakan bukan karena sedari pagi belum menelan sesuatu pun, tapi lebih daripada itu karena dia sedang malas melakukan apa pun. Dia ingin berontak, bukan untuk memperoleh kebebasan tetapi Abbey hanya ingin suaminya tidak sewenang-wenang memperlakukannya hanya karena dia istri yang harus menurut kepada suami. Karena saat kata bicara yang harusnya menjadi jembatan justru seringkali dipergunakan Farhan untuk selalu memojokkannya.

Abbey menuliskan pesan kepada Bara, tetapi pada ujungnya dia menghapus dan membiarkannya. Tidak ingin membuat masalah semakin runyam.

"Sudahlah, Bara pasti tahu apa yang harus dilakukan. Aku tidak ingin menambah bebannya."

Akhirnya Abbey melajukan kendaraannya. Bukan kembali ke kantor, Abbey justru menuju ke makam kedua orang tuanya. Seperti biasa, dia langsung berjalan di antara gundukan tanah yang tersebar di depannya. Sampai akhirnya kedua matanya menatap punggung seseorang yang sangat dikenal. Dia berlutut dan menatap makam adikknya begitu dalam. Tanpa berniat mengganggunya, Abbey memilih untuk mendekat ke makan orang tuanya.

Sampai dengan Abbey menyelesaikan doanya, dia baru hendak berdiri ketika suara Bara menyapanya.

"Maaf jika aku membuatmu terjepit dengan situasi yang tidak mengenakan untuk dipilih, Kak."

"Eh, Bara. Kamu sudah selesai?" Abbey tergeragap. Tadi dia sudha berjanji tidak ingin menambah masalah dengan menghubungi Bara. Sekarang justru Allah mempertemukan mereka di pemakaman.

"Hari ini Kak Abbey menerima panggilan sebagai saksi, bukan?" kata Bara.

"Kamu tahu, aku--?"

Abbey menatap Bara yang terlihat santai menanggapi laporan suaminya.

"Kamu tidak bekerja hari ini, Bar?"

"Manajemen menarik izin terbangku sampai masalah dengan Bang Farhan selesai. Karena dia juga melaporkan kepada manajemen dengan tuduhan yang sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya." Bara tertawa sumbang.

Abbey terkejut mendengarnya, tetapi enggan bertanya lebih lanjut. Yang ada di pikirannya sekarang adalah Binar.

"Jika kamu tidak bekerja, bagaimana dengan Binar?"

Bara kembali menyunggingkan senyumnya yang membuat Abbey mengerutkan kening.

"Rezeki Allah yang atur, Kak. Kita tinggal mengusahakannya. Yang penting aku tidak merasa bersalah ketika memukul suamimu, maaf. Aku hanya tidak  menyukai laki-laki yang terlalu banyak bicara tanpa mau mendengarkan orang lain. Padahal istrinya sendiri."

Abbey menghela napas panjang. Melihat sekitarnya yang begitu sepi, dia mulai takut. Bukan karena dia ada di area makam. Tapi lebih karena dia hanya bersama Bara di sana.

"Bar, aku duluan ya."

Abbey memilih meninggalkan Bara. Meskipun bukan artis, dia tidak ingin ada orang lain yang mengambil kesempatan itu untuk memotretnya bersama Bara yang bisa dijadikan bukti Farhan untuk semakin memojokkannya.

-------------------------------->>
to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top