-- 04 --
Helaan napas lega itu bukan karena sang mertua meminta Abbey mengantarkan pulang sebelum dia berangkat kantor, tetapi karena Abbey tidak perlu bersandiwara untuk tersenyum meski hatinya enggan melakukan. Kini dia mulai percaya bahwa melakukan sesuatu tanpa keikhlasan itu justru membutuhkan effort yang jauh lebih banyak. Pikiran cepat lelah, tubuh cepat capek dan dengan kosakata enggan akhirnya pikirannya bersahabat dengan buruk sangka.
Farhan mengirimkan beberapa foto saat dia sedang berada di hadapan majelis sidang untuk membela kliennya. Abbey tahu, suaminya sangat bangga dengan pekerjaan yang kini dia tekuni. Sama sepertinya, Abbey juga bangga menjadi abdi negara lulusan sekolah tinggi yang mencetak praja menjadi pegawai yang bermatabat.
"Selamat pagi, Bu Abbey."
"Pagi. Kamu sudah sarapan atau belum, San?" Abbey memperlihatkan kotak bekal dan mengajak Santi menuju pantri bersama.
"Saya buatkan teh, Bu?" Santi berdiri mengambil teh celup yang ada di laci untuk diseduhnya.
"Tidak perlu, saya minum air putih saja. Terima kasih, Santi."
Abbey menikmati sarapan yang dia buat bersama bawahan yang selalu menemani sarapan meski dia sudah sarapan di rumahnya. Hanya sekedar berbagi cerita sambil menikmati seduhan teh di pagi hari.
"Carita kemarin bagaimana, San?" tanya Abbey.
"Terkadang laki-laki itu perlu diberikan pelajaran, Bu. Jangan mentang-mentang tercipta sebagai makhluk yang kuat, mereka dengan mudah menindas kaum lemah seperti kita."
"Buktikan dong kalau kita bukan kaum lemah." Abbey menimpali sambil mengunyah.
"Bu Abbey kemarin jadi bertanya kepada Pak Farhan tentang kasus yang menimpa Carita?" Santi memajukan tubuhnya ke arah Abbey.
Abbey menyelesaikan makan kemudian meraih botol air mineral. Dia berdiri mencuci tempat makanan kemudian meletakkannya di rak supaya cepat kering.
"Mas Farhan bilang sebaiknya dilaporkan saja dengan bukti visum yang ada."
Abbey mengajak Santi bekerja, ada banyak laporan di mejanya yang harus ditandatangani dan dipertanggungjawabkan kepada atasan mereka. Abbey masih membolak balik laporan ketika gawainya berdering. Nomor PSTN yang belum tersimpan di sana.
Sesaat Abbey menimbang tetapi akhirnya dia menerima juga panggilan tak dikenalnya itu. Suara formal menyapa perungu Abbey setelah dia mengucapkan salam pembuka.
"Mohon maaf dengan Ibu Abbey Jean Damani, keluarga dari pasien anak Ranjana Ivona Binar?"
"Benar, saya tantenya." Abbey mulai paham jika rumah sakit tempat Binar dirawat yang menghubunginya. "Maaf, ada apa dengan keponakan saya, Bu?"
"Kami terpaksa menghubungi Bu Abbey mengingat hanya ada satu nomer telepon darurat ini yang tertulis di form pendaftaran pasien selain milik Pak Bara. Jadi hari ini--" Petugas rumah sakit itu menjelaskan kondisi Binar yang mendadak kritis sementara mereka kesulitan menghubungi Bara karena menurut cerita dari pengasuh Binar, Bara sudah mulai bekerja sejak kemarin.
"Mungkin adik saya sedang flight sehingga tidak bisa dihubungi," kata Abbey.
"Apakah Bu Abbey bisa datang ke rumah sakit segera untuk tanda tangan informed consent untuk tindakan medis yang akan dilakukan pada anak Binar?"
Ada bimbang di hati Abbey untuk melangkah, tapi ketika mengingat bagaimana wajah tak berdosa Binar yang sangat membutuhkan uluran tangannya, rasanya terlalu egois dia jika sampai tidak bisa ke rumah sakit untuk melakukan yang terbaik bagi keponakannya. Pekerjaan di kantor bisa ditunda sementara meski penting untuk dikerjakan.
"Bu Abbey bagaimana? Kami menunggu persetujuan keluarga untuk melakukan tindakan."
Abbey tergeragap sesaat. Dia menghela napas untuk memenuhi udara di rongga dadanya yang masih kosong.
"Saya akan ke sana, sebentar lagi." Abbey menutup panggilan dan berkemas. Dia juga berusaha untuk menghubungi Farhan.
Beberapa kali panggilannya tidak tersambung. Hanya operator seluler yang menjelaskan berada di luar jangkauan. Saat menuju ke parkiran, Abbey baru ingat kalau tadi pagi Farhan bercerita bahwa hari ini dia harus mendampingi kliennya sidang di Pengadilan Negeri. Abbey segera mengetikkan pesan, berharap setelah gawai Farhan menyala dia tidak disalahkan jika harus menemui Binar.
Rumah sakit, ibarat pengadilan untuk mencari kesembuhan setiap pasiennya. Abbey menyusur koridor menuju ke ruang dokter anak yang merawat Binar. Jalan yang tergesa membuat Abbey harus mengatur napas ketika dia sudah duduk berhadapan dengan dokter.
"Maaf, Dokter. Jadi kondisi keponakan saya bagaimana?" tanya Abbey setelah napasnya mulai teratur.
"Meski telah melewati respiratory distress syndrome dan seolah membaik tetapi ternyata Binar tidak cukup kuat untuk bernapas sendiri tanpa memerlukan bantuan alat. Setelah kami observasi dan puncaknya satu jam yang lalu, Binar kembali mengalami henti napas sejenak. Kami akhirnya menyimpulkan bahwa dia sebenarnya juga menderita bronchopulmonary dysplasia."
"Broncho--" Abbey kesulitan mengeja dan meminta dokter menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti olehnya.
"Jadi bronchopulmonary dysplasia itu dikenal dengan sebutan penyakit paru kronis. Penyakit ini merupakan kondisi yang terjadi ketika bayi memiliki sindrom gangguan pernapasan yang tidak kunjung membaik hingga lebih dari satu bulan setelah kelahiran."
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dokter?" Rasa cemas yang menghinggapi Abbey membuatnya terus memberondong dokter untuk menjelaskan secara rinci.
"Dua hari yang lalu kami telah berdiskusi dengan Pak Bara untuk melepas ventilator Binar, tetapi ternyata hari ini kami harus memasangnya dan melakukan beberapa tindakan medis yang membutuhkan tanda tangan dari wali pasien."
"Lakukan yang terbaik untuk keponakan saya, Dokter. Saya akan mengurus semua administrasinya." Abbey mohondiri setelah Dokter menjelaskan kondisi Binar dengan sangat rinci.
Hari ini, kali pertama dia bertemu dengan pengasuh Binar di koridor NICU. Abbey membawakan makanan untuknya dan memperkenalkan diri sebagai budenya Binar.
"Catat nomor saya ya, Mbak. Nanti kalau ada apa-apa dengan Binar, Mbak Nung bisa menghubungi saya kapan saja."
"Iya, Bu. Pak Bara setiap sore pasti sudah kembali ke rumah sakit. Mungkin kalau Bapak sedang terbang saya akan menghubungi Bu Abbey jika dokter ingin bicara hal penting seperti hari ini."
Abbey mengangguk, dia kemudian kembali ke kantor setelah melihat Binar dari balik kaca besar yang memisahkan mereka.
"Kamu sabar di dalam ya, Sayang. Bude ada di sini." Abbey mengusap air matanya. Tidak tega hati dia melihat alat-alat medis yang ada di tubuh mungil bayi yang belum genap berusia satu bulan itu.
Di kantor, meski tumpukan pekerjaan ada di depannya, angan Abbey kembali pada Binar di rumah sakit. Setelah sepuluh hari dia tidak menengoknya dan hari ini tahu bagaimana kondisi Binar, rasanya Abbey tidak ingin dipisahkan kembali dengan keponakannya.
Sampai jam kantor usai, pikiran Abbey masih pada Binar. Dan seolah direstui semesta, gawai Abbey bergetar. Nama Nung terlihat di sana.
"Bey, kita jadi hang out bersama anak-anak yang lain, kan?"
Abbey mengisayaratkan kepada rekan kerjanya untuk menunggu beberapa saat. Dia segera menerima panggilan Nung. Nada cemas, khawatir yang tersampai dari suara Nung membuat Abbey tak lagi fokus pada tujuan utamanya.
Abbey segera meminta maaf kepada semua rekannya. Dia tidak bisa bergabung dengan mereka karena harus ke rumah sakit segera.
"Sori banget, pengasuhnya keponakanku telepon barusan."
Binar, Binar dan Binar. Dalam otak Abbey hanya ada satu kata itu.
Abbey bergegas menuju mobilnya dan melajukannya segera ke rumah sakit. Sementara rekan-rekannya masih menunggu di parkiran saat mobil Farhan memasuki area parkir kantor Abbey.
"Pak Farhan," sapa Santi.
Farhan yang sering menjemput Abbey ke kantor membuat teman-teman Abbey hafal dengan wajahnya.
"Pada kumpul di sini mau ada acara ya?" tanya Farhan.
"Iya, Pak. Rencananya tadi ingin jalan ke mal sebelah sebentar untuk mencarikan tanda mata untuk Pak Tio yang sebentar lagi pensiun. Harusnya Bu Abbey juga ikut, tapi karena harus buru-buru ke rumah sakit jadi--"
Sedikit terkejut mendengar cerita Santi, bukannya tadi Abbey telah mengirimkan pesan untuk menemui dokter di rumah sakit. Mengapa sekarang dia harus kembali lagi ke sana, harusnya Bara sudah pulang dari tempatnya bekerja. Tidak perlu melibatkan Abbey lagi, tapi ini?
Farhan segera berbalik arah. Dia kembali ke mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada rekan kerja istrinya.
Lelah yang kini dirasakan Farhan membuat emosinya cepat tersulut. Seminggu diskusi dengan klien sebelum akhirnya sidang pledoi hari ini yang membuahkan hasil bahwa kliennya juga sebagai korban membuat otak Farhan terasa penuh dengan masalah-masalah yang harus bisa dia urai satu persatu. Kewarasannya mulai menguap ketika kedua matanya melihat Abbey yangmasih berseragam dinas sedang bercengkerama dengan Bara yang juga belum menanggalkan seragam dinasnya.
"Kamu mengapa tidak memberitahu aku, Bar." Wajah cemas Abbey tampak sekali terlihat.
"Mana mungkin aku berani memberitahu Kak Abbey, Kakak tahu sendiri bagaimana sikap Bang Farhan."
Percakapan keduanya cukup terdengar di telinga Farhan di tempatnya berdiri sekarang.
"Aine memang adikku, Bar. Tapi aku mendukung jika kamu bersedia menghadirkan ibu baru untuk Binar. Dia membutuhkan figur itu. Tadi aku sempat melihat kondisinya. Rasanya sebagai wanita aku tidak akan pernah sanggup membayangkan jika Binar nanti besar tanpa pendampingan ibu sementara kondisinya mungkin berbeda dengan anak-anak seusianya."
Masih kurang pantas membicarakan masalah sensitif ini kepada Bara di saat tanah pemakaman istrinya belum kering. Namun, Abbey memiliki pemikiran yang lain. Semua dia lakukan untuk Binar.
Sorot mata Bara tajam menatap Abbey. Tidak terlintas di benaknya untuk menggantikan Aine dalam waktu dekat. Lagipula di mana dia bisa mencari wanita yang bersedia menjadi istri tetapi terlihat hanya untuk merawat anaknya. Bara bisa memastikan tidak ada wanita di dunia ini yang bersedia melakukannya kecuali satu. Namun, secepatnya dia menggelengkan kepala.
"Hanya wanita berhati malaikat yang bersedia menerima kami sekarang, Kak."
"Semoga wanita itu benar-benar ada." Mata Abbey kembali bertemu dengan tatapan Bara yang masih sama tajamnya.
Farhan yang sedari awal mendengar dan melihat tanpa memberikan interupsi mulai mengepalkan tangan. Dia merasa Abbey tak lagi memiliki harga diri dengan statusnya sebagai istri dari Farhan tetapi seolah olah dia menawarkan diri untuk dijadikan istri Bara sebagai pengganti Aine. Farhan tiba-tiba merasa muak dengan mereka berdua. Kakinya mulai melangkah dan berdiri menghadap pada Abbey.
Abbey yang tidak mendengar suara Farhan sebelumnya terlonjak kaget ketika tubuh kekar itu di depannya.
"Kalau kamu tidak melakukan kesalahan harusnya tidak perlu merasa kaget seperti ini saat aku ada di sini!" Mata Farhan sudah berbayang amarah.
"Kemarin aku masih berpikir hanya Bara yang menggodamu, ternyata aku salah. Kalian berdua--!" Farhan mengepalkan tangannya. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kriminal di rumah sakit.
"Ternyata istriku sendiri yang menawarkan diri untuk bisa diperistri adik iparnya dengan alasan sakitnya Binar." Farhan tersenyum kecut.
"Mas Farhan jangan bicara ngawur!" Abbey membela diri.
"Kamu pikir aku tidak mendengar percakapan kalian tadi? Dari sepuluh menit yang lalu aku berdiri di belakang kalian. Mesra sekali obrolannya?" Farhan menatap Abbey dan Bara secara bergantian.
Bara diam bukan berarti takut dengan suami iparnya, tetapi karena dia masih menghormati Farhan sebagai bagian dari keluarga almarhum istrinya.
"Oh, aku baru tahu sekarang mengapa kamu tidak hamil-hamil. Ternyata kamu memang sengaja tidak menginginkannya karena ingin mengandung anak orang lain daripada anak dari suamimu sendiri." Farhan menatap Abbey dengan garang.
"Mas Farhan--!" Air mata Abbey sudah meleleh. Sakit hatinya mendengar suaminya sendiri berkata dengan tujuan melecehkan harga dirinya.
"Lalu apa bedanya kamu dengan pelacur?" Suara Farhan tidak keras. Tapi penekanan di setiap katanya membuat Bara melayangkan tinjunya ke muka Farhan tanpa perlu menunggu lama.
"Jangan sembarangan bicara, Farhan. Tadi aku masih menghormatimu sebagai suami dari iparku. Tapi sekarang jangan pernah berharap lagi!"
Darah segar mengalir dari sudut bibir Farhan bekas tinju yang dilayangkan Bara kepadanya.
"Aku akan membawa masalah ini ke ranah hukum."
"Silakan, aku tidak takut menghadapimu di pengadilan!" tantang Bara.
Farhan meninggalkan keduanya meski pada akhirnya Abbey memilih untuk mengekori langkahnya tanpa pamit kepada Bara. Biar bagaimanapun Farhan tetaplah suaminya dan Abbey sudah berjanji menerima semua keadaannya.
-------------------------------->>
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top