-- 03 --
Abbey sampai di kantor sepuluh menit sebelum jam kerja kantornya dimulai. Artinya dia masih bisa menikmati sarapannya yang sengaja dia bungkus setelah melakukan presensi di mesin absen. Namun, ternyata sua itu mendadak sirna setelah ruangan kerjanya ramai teman kerjanya bergerombol di meja Carita.
Carita duduk di kursinya dengan kaca mata hitam dan beberapa memar di wajahnya. Abbey sempat kaget sesaat sebelum salah satu temannya berbisik yang akhirnya membuat bibir Abbey kembali diam tanpa tanya.
"KDRT," kata Santi.
Abbey memilih menarik diri, dia bahkan mengajak yang lain untuk kembali ke meja kerja masing-masing. Terakhir dia menggenggam tangan Carita pelan.
"Kalau kamu ingin cerita, aku siap menjadi pendengar yang baik, Rit." Abbey tersenyum. Ada getir di hatinya ketika dia menyaksikan tatapan sendu yang bersembunyi dibalik kacamata hitam yang dikenakan Carita.
"Iya, Mbak, terima kasih. Mungkin hari ini aku tidak bisa maksimal bekerja."
Abbey masih tersenyum dan mengangguk.
"Istirahat saja, kalau perlu kamu lakukan visum. Supaya bisa mencari perlindungan hukum," pesan Abbey sebelum menuju ke kursinya.
Tidak ada yang berubah, beberapa pekerjaan harus diselesaikan Abbey tepat waktu. Menjelang akhir tahun seperti ini beberapa proyek pasti sedang dikebut oleh pemenang tender. Beberapa hal membuat Abbey merasa seolah pekerjaan itu ditumpuk di akhir tahun. Karena terkait dengan pengosongan dana akhir tahun berjalan dan pengajuan dipa tahun berikutnya.
Siang ini Abbey berangkat ke proyek plengsengan sungai yang harusnya sudah ada laporan penyelesaian pekerjaan tetapi pihak ketiga yang mengerjakan itu belum juga memberikan laporan, padahal sudah hampir satu bulan tenggat yang dibicarakan sesuai dengan meeting koordinasi terakhir. Abbey diminta follow up pekerjaan mereka oleh atasannya.
Seharian melakukan dinas lapangan. Meski disediakan mobil dinas dari kantor, tetap saja Abbey merasa kakinya lelah. Berjalan di tengah teriknya matahari sementar dia lupa tidak mengenakan pelindung kepala sama sekali kecuali jilbab yang menutup rambutnya.
"Mas Jo, kita langsung balik kantor ya?" Arloji yang melingkar di lengan Abbey sudah menunjukkan telah lewat jam kantornya.
Wajah letih tampak sekali menghias, sebelum akhirnya kedua matanya terpejam selama dalam perjalanan menuju ke kantor.
"Bu Abbey, sudah sampai kantor."
Lampu taman di dekat Jodi memarkirkan mobil telah menyala sempurna. Langit juga telah menghitam, malam mulai membayang dan Abbey masih harus menyelesaikan pekerjaannya sebelum pulang.
"Malam Bu Abbey, mau lembur atau tidak? Saya buatkan teh hangat," tawar Rudi.
"Boleh Rud, jangan manis-manis. Setelah itu kamu pulang saja. Saya hanya sebentar," jawab Abbey.
Abbey pikir hanya menyisipkan foto dan membuat penyesuaian laporan yang telah dia siapkan sebelum berangkat OTS tidak akan memakan waktu yang lama, nyatanya ketika dia mematikan PC yang ada di hadapannya, tidak lagi ada kehidupan di kantor kecuali penjaga malam yang stand by di luar untuk melakukan patroli malam.
Ternyata tidak semua PNS bisa lenggang kangkung, pulang tepat pada waktunya. Sementara yang selama ini terjadi, Abbey justru sering bekerja lembur. Entah itu membuat laporan atau sekedar peninjauan proyek yang jauh dari tempat kerjanya.
Dia segera menuju ke parkiran, kata pulang akhirnya menjadi tujuan. Sementara angannya mulai membayangkan, air hangat dan spring bed kesayangannya telah menunggu di rumah. Sepertinya Abbey lupa jika hari ini Aulia Swasti tinggal di rumahnya. Sesuai dengan pesan suaminya, ibu mertuanya itu kini menemani Abbey selama Farhan dinas ke luar kota.
"Ya Allah, Mama." Abbey segera tancap gas ketika dia mengingatnya.
Sepuluh menit kemudian, dia sampai di depan rumah. Sepertinya ibu mertuanya telah beristirahat karena lampu di ruang tamu terlihat telah mati. Abbey membuka pintu rumah perlahan, ternyata sang ibu mertua masih menikmati tanyangan sinetron fenomenal di TV.
"Seru ya, Ma, sinetronnya?" sapa Abbey.
"Setiap hari pulang jam segini, Bey?" Lia menekan tombol mute di remote control lalu mengiring langkah Abbey ke meja makan.
"Nggak, Ma. Hari ini Abbey memang harus ke lapangan. Biasanya paling malam jam tujuh sudah ada di rumah." Baru saja selesai menjawab pertanyaan Lia, gawai Abbey berbunyi yang membuat Lia menutup kembali bibirnya.
Nama Carita ada di sana.
"Iya, Rit, bagaimana?" Abbey berjalan sedikit menjauh dari ibu mertuanya.
"Kamu sudah pikirkan semuanya dengan baik? Coba nanti aku bicarakan dengan Mas Farhan ya, dia masih di luar kota. Mungkin 5 hari sampai seminggu. Bagimana?" kata Abbey setelah beberapa saat berbicara di telepon.
"Ya sudah, kamu istirahat saja. Besok kalau memang masih belum memungkinkan bekerja, datang ke kantor absen saja nanti aku buatkan dispensasi untuk kamu lepas dinas seharian." Abbey kemudian menutup panggilan setelah menjawab salam dari Carita.
Interaksi kecil itu memantik kekepoan ibu mertuanya mendengar nama anak lelakinya disebut oleh Abbey.
"Teman kantormu kenapa mencari Farhan?" tanya Lia.
"Kemarin KDRT oleh suaminya, Ma. Tadi pagi ke kantor dengan muka lebam dan memar." Abbey meletakkan gawainya di meja makan.
"Ya sudah, kamu mandi dulu, Bey. Mama ingin bicara setelahnya."
Tanpa Abbey sadari, meletakkan gawai di meja makan selama mandi itu ternyata membuatnya di ujung tandung simalakama. Entah desakan darimana yang membuat Lia berani membuka gawai milik menantunya yang tidak terkunci.
Beberapa pesan dari Bara yang belum dihapus kemudian laporan pekerjaan di group kantor, dan ada beberapa pesan penting lainnya yang sengaja Abbey arsipkan sempat dibaca oleh ibu mertuanya.
Lima menit setelahnya Abbey turun dan mendapati ibu mertuanya sedang memainkan gawai miliknya. Merasa tidak nyaman tetapi Abbey segan untuk mengingatkan.
"Mama--"
"Kamu masih sering berhubungan dengan Bara, Bey?" tanya Lia yang membuat Abbey mengerutkan keningnya.
"Bara itu ipar Abbey, Ma. Aine meninggal dan Bara butuh saudara yang bisa diajak bicara tentang perkembangan Binar."
"Farhan pernah cerita kepada Mama kalau dia tidak suka kamu dekat-dekat dengan Bara. Dari tatapan matanya saja Farhan tahu kalau Bara menyukaimu."
Abbey mendesah kecewa, sikap apa yang membuat Farhan mengambil kesimpulan picik seperti itu. Selama ini Bara sangat menghormatinya sebagai ipar. Dia juga mencintai adiknya, bahkan Bara rela melakukan apa saja demi menyelamatkan Aine tetapi Allah memang telah menggariskan mereka berpisah dengan adanya Binar sebagai ikatan cinta Bara dan Aine. Lalu mengapa Farhan sedemikian tidak sukanya dengan iparnya itu?
"Sebenarnya Mas Farhan ada masalah apa dengan Bara, Ma?" Abbey menarik kursi dan duduk di hadapan ibu mertuanya.
"Apa kamu tidak memiliki hati untuk bisa memahami kalau suamimu sedang cemburu?"
"Bukan masalah tidak memiliki hati, tapi tuduhan Mas Farhan itu tidak berdasar sama sekali. Mama sudah membuka gawai Abbey, kan? Apakah ada di sana yang menjelaskan kecurigaan Mas Farhan?"
"Memangnya Bara tidak memiliki saudara yang bisa membantu merawat Binar selama di RS, Bey?"
"Abbey juga saudara Bara, Ma. Abbey adalah budenya Binar, lalu masalahnya di mana? Apa Mama berpendapat sama seperti Mas Farhan yang melarang Abbey untuk membesuk ponakan Abbey sendiri?" Kalimat tanya sederhana dari Lia membuat emosi Abbey naik satu tingkat.
"Bukan begitu, Bey. Tapi menurut kata suami itu keharusan untuk seorang istri."
"Abbey sudah nurut apa kata Mas Farhan, Ma. Bara juga mengerti akhirnya, makanya dia tidak lagi minta bantuan Abbey." Abbey mendesah. Capek fisik karena aktivitas seharian di kantor belum hilang sekarang tambah capek batin karena percakapannya dengan sang mertua.
"Harusnya tanpa Farhan minta, kamu sebagai istri paham akan hal ini. Buar bagaimanapun Bara itu sekarang orang lain, Bey."
"Tapi Binar tetap keponakan Abbey, Ma. Aine yang mengandung dan melahirkan. Adik kandung Abbey, apakah salah jika Abbey berusaha memberikan apa yang belum pernah Aine berikan sementara Binar membutuhkan itu?" Abbey menitikkan air matanya. Hati kecilnya merasa terenyuh dengan apa yang mertuanya ucapkan.
"Benar, Binar tetap keponakanmu. Tapi kalau suamimu tidak rida, salah jika kamu melangkah tanpa izin dari Farhan. Mama hanya menjelaskan kewajiban kita sebagai wanita, sebagai istri yang harus patuh kepada suami."
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Abbey, dia memilih untuk menekan emosinya daripada harus mengeluarkan sumpah serapah yang akan menyakiti hati mertuanya. Terlebih karena Abbey tidak ingin dicap sebagai menantu durhaka olehnya.
"Jangan buat Farhan cemburu dengan memilih lebih dekat dengan Bara." Lia menatap menantunya yang masih bergeming. "Satu lagi Abbey, Farhan menginginkan anak dari benihnya sendiri bukan dari orang lain yang kalian angkat menjadi anak."
"Ma--"
"Mama tahu anak itu rezeki, Bel. Allah yang memberi. Tidak bisa diburu dan tidak bisa ditolak. Tapi kalau kita tidak berusaha, itu yang salah. Ikuti apa kata Farhan, insyaallah, ridallah ada bersama rida Mama di sana." Abbey mengangguk, dia ingin percakapan ini selesai segera.
"Sudah malam, Ma. Sebaiknya Mama istirahat, Abbey juga ingin beristirahat."
"Jika mungkin, keluar dari pekerjaanmu, Bey. Supaya kamu bisa ikut Farhan ke mana saja dia pergi karena pekerjaannya. Tidak perlu berpisah kota seperti ini." Lia mengabaikan kalimat menantunya.
"Kalian bisa program ke dokter, dokter terbaik di Indonesia, jika perlu ke luar negeri," tambahnya.
"Maaf, Ma. Kalau Abbey salah mengartikan maksud Mama. Namun, dulu Papa Andika dan Mama Sintia yang meminta Abbey untuk bisa masuk di sekolah kedinasan karena mereka ingin melihat anaknya menjadi abdi negara yang baik. Abbey tidak ingin mengecewakan mereka, Ma."
"Mereka kan sudah melihat kamu menjadi abdi negara, toh sekarang juga sudah tidak ada di dunia lagi. Masa depanmu bersama Farhan, Bey. Kamu tinggal mendoakan yang terbaik untuk jalan mereka sampai kita semua nanti seperti mereka. Mama yakin mereka sependapat dengan pendapat Mama."
"Tapi, Ma--" Abbey masih merasa berat jika harus melepaskan pekerjaannya saat ini.
Mengingat bagaimana dulu dia berjuang untuk bisa masuk sebagai mahasiswa kedinasan pemerintahan dalam negeri. Kemudian setelah sampai di posisi sekarang tiba-tiba diminta untuk mundur. Bagi Abbey itu sebuah ketidakadilan hanya karena sampai sekarang dia belum hamil setelah jutaan kali berusaha.
"Kenapa?" tanya Lia.
"Bekerja itu sudah seperti napas untuk Abbey, Ma. Abbey akan menjadi orang linglung jika tidak ada rutinitas. Maaf kalau Abbey berat memenuhi permintaan Mama."
Lia menatap menantunya saksama, ada gurat kecewa yang tampak jelas terlihat dari raut wajahnya. Dengan helaan napas besar Lia bertanya penuh intimidasi kepada menantunya.
"Jangan-jangan, karena kamu berat dengan pekerjaanmu sehingga kamu memilih untuk tidak mau mengandung anak dari Farhan?" selidik Lia.
"Astagfirullah, Mama! Tidak pernah terpikir dalam benak Abbey seperti itu."
"Berarti kalau kalian sama-sama menginginkan, usahakan secara bersama-sama. Bicaralah kepada Farhan dengan baik. Mama akan mendukung apa yang akan menjadi keputusan kalian."
"Iya, Ma." Abbey memainkan jemarinya. Dia memilih untuk menyudahi semuanya. Matanya sudah tidak lagi mampu terbuka.
Malam yang akhirnya menggiring mimpi buruk bagi Abbey. Tidak ada yang salah dengan nasihat mertuanya. Tapi sungguh, hati kecilnya menjadi enggan untuk lebih terbuka atas banyak hal kepada sang mama. Padahal Abbey tahu, wanita ini menjadi satu-satunya orang tua yang kini dia miliki di dunia.
-------------------------------->>
to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top