-- 02 --

Air mata Abbey masih meluncur deras subuh ini. Menjelang subuh tadi dia mendapatkan pesan singkat dari Bara yang menjelaskan bahwa jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Dia harus kembali bekerja tetapi masih berat karena harus meninggalkan Binar yang masih berada di inkubator. Meski dokter mengatakan stabil tetapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama Binar masih belum siap untuk beraktivitas tanpa alat-alat medis.

Belum pernah menjadi seorang ibu, bukan berarti membuat Abbey tidak bisa melaksanakan tugas ibu untuk memberikan kenyamanan bagi putra-putrinya. Keponakan itu hanyalah istilah. Baginya, Binar bukan hanya sebagai keponakan tetapi mungkin juga anak yang membuatnya harus ikhlas membantu Bara untuk merawatnya.

"Hari ini aku harus ke luar kota, Bey." Farhan tiba-tiba muncul di belakangnya membuat Abbey terlonjak karena kaget.

"Berapa lama, Mas?" tanya Abbey.

"Belum tahu, tapi klienku yang ini butuh pendampingan ekstra. Dia terancam dipidana panjang karena kasus penipuan MLM yang dijalankannya."

Abbey mendesah, mengapa semakin ke sini hati Abbey menjadi kurang sreg dengan pekerjaan Farhan yang selalu bangga ketika memenangkan kasus padahal sudah jelas membela orang yang bersalah.

"Itu mengapa harus dibela, Mas? Dia kan memang bersalah melakukan penipuan?"

Farhan menatap Abbey tajam. Dia tidak menyukai siapa pun memberikan interupsi terhadap pekerjaannya termasuk istrinya. Jika Abbey menerima nafkahnya tidak ada kepantasan bagi dia untuk melayangkan protes.

"Jadi pekerjaan apa yang menurutmu baik? Pilot?" Farhan tersenyum kecut.

Abbey membelalakkan mata, dia hanya memberikan pendapatnya. Tidak sepantasnya Farhan membandingkan profesinya dengan profesi orang lain.

"Kamu tidak pernah tahu saja, bagaimana kelamnya dunia mereka. Dekat dengan narkoba, perzinaan dengan sejawatnya dan catatan hitam dunia penerbangan lainnya," tambah Farhan.

"Mengapa harus memfitnah orang lain, Mas?" Abbey memutus perdebatan mereka dengan meninggalkan Farhan sendiri. Dia harus menyiapkan sarapan dan bekalnya ke kantor.

Namun, belum sampai Abbey tiba di dapur. Gawai miliknya yang tergeletak di nakas kamar berdering nyaring. Sebuah panggilan dari Bara yang terbaca oleh penglihatan Farhan membuatnya berang. Dia membiarkan tanpa berniat memanggil istrinya yang sudah bermesraan dengan bumbu dapur.

Tidak berhenti, panggilan berikutnya semakin membuat kening Farhan berkerut sempurna. Mau tidak mau, bibirnya kembali terbuka untuk memanggil nama istrinya. Dari awal mengenal Bara, sebenarnya Farhan sangat tidak menyukai iparnya. Meski Bara menikahi Aine tetapi seringkali dia melihat mata Bara memperhatikan istrinya dengan tatapan yang tidak wajar.

"Bey, sebenarnya ada apa sih antara kamu dengan Bara? Sepagi ini dia sudah menghubungimu?" Tangan Farhan memperlihatkan gawai yang masih berbunyi ke hadapan Abbey.

"Lah kenapa tidak Mas Farhan jawab saja supaya tidak penasaran." Abbey menjawabnya dengan enteng. Padahal dalam hatinya dia sangat mengkhawatirkan kondisi Binar. Jika Bara sampai meneleponnya, berarti memang ada hal penting yang harus segera dikabarkan.

"Nih jawab! Aku nggak suka mengambil privasi orang lain." Farhan meletakkan gawai milik Abbey di meja makan.

Setelah mematikan kompor, Abbey memilih menetima panggilan Bara dengan mengload speaker supaya Farhan tidak salah sangka dengan percakapan mereka.

"Iya Bar?" kata Abbey.

"Maaf, Kak. Aku terpaksa telepon Kak Abbey. Tadi aku telepon Bang Farhan tidak ada jawaban--"

Abbey menatap Farhan dengan perasaan kesal.

"Kata dokter, invasif Binar akan dilepas hari ini, Kak. Artinya fungsi organ pernapasannya sudah membaik. Tapi dokter bilang, hari ini Binar harus ditunggu keluarga."

"Kamu sudah menghubungi kantormu untuk perpanjangan cuti atau setidaknya penangguhan jadwal terbangmu supaya tetap bisa berada di dalam kota."

"Sudah, Kak. Bu Indri sebagai kabag personalia akan mengusahakan mengajukan hak cuti istimewa. Namun, aku harus ke kantor hari ini sekaligus menghadap manager human resource dengan membawa salinan rekam medis Binar. Bagaimana ya Kak? Kira-kira Kak Abbey bisa menolong untuk hari ini saja. Atau kalau bisa aku bicara dengan Bang Farhan, Kak," jelas Bara.

Abbey terdiam. Matanya kembali menatap Farhan meminta izin tanpa perlu menjelaskan.

"Bar, bukannya di rumah sakit banyak tenaga medis? Mengapa tidak meminta saja mereka yang pasti sudah tahu bagaimana menangani Binar dengan baik jika kamu harus meninggalkannya." Tanpa Abbey sangka, Farhan seketika langsung mengambil gawai dan berbicara dengan Bara.

"Bukan hanya kamu, Abbey juga harus bekerja," lanjutnya.

"Maaf, Bang. Tapi ini harus ada keluarga yang stand by di rumah sakit. Nggak apa-apa kalau Abang tidak mengizinkan Kak Abbey, aku coba bicarakan dengan tenaga medis di sini."

"Begitu lebih baik, sudah jadi orang tua tidak perlu menyusahkan orang lain. Masa kamu mau enaknya saja nggak enaknya kami yang ikut nanggung!"

"Mas--" Abbey keberatan dengan ucapan Farhan. Ucapannya sama sekali tidak mencerminkan dia adalah seseorang dengan pendidikan tinggi.

"Ya sudah, aku tutup teleponnya." Tanpa mengucapkan salam Farhan mengakhiri panggilan mereka.

Kini Abbey kehilangan mood untuk melanjutkan acara masaknya. Suaminya sudah benar-benar keterlaluan. Dia menginginkan seorang anak hadir di antara mereka tapi tidak mau berempati saat seorang bayi membutuhkan uluran tangan untuk diberikan kasih sayang yang tulus dari orang-orang terdekatnya.

"Awas ya Bey, selama aku di luar kota. Kalau sampai kamu bertindak di luar batas. Aku tidak pernah rida. Biarkan saja Bara melaksanakan tanggung jawabnya sebagai orang tua." Farhan meninggalkan Abbey untuk bersiap.

Selama di kantor, Abbey tidak bisa fokus dengan pekerjaan yang ada di depannya. Beberapa kali atasannya meminta untuk melakukan revisi atas surat yang akan dikirimkan kepada pihak ketiga.

"Ya Allah, mengapa aku harus menjalani semua ini? Suamiku yang mendadak tidak memberikan support untuk bisa dekat dengan keluargaku sendiri." Abbey mencoba berbaik sangka.

Bayangan wajah kedua orang tua dan adiknya serasa bergantian membayang di pelupuk mata. Abbey semakin terenyuh saat mengingat bagaimana nasib Binar hari ini. Harusnya dia bisa mengulurkan tangan sekedar untuk menghangatkan tubuh manusia kecil yang masih membutuhkan pertolongan.

"Ya Rabb, apa karena ini jawaban atas semua doaku. Aku dan Mas Farhan memang belum pantas diberikan amanah karena kami belum bisa menjadi orang tua sepenuhnya bagi malaikat kecil kami nanti?" Abbay melipat mukena yang baru saja dikenakan salat zuhur.

Kembali meraba hatinya, Abbey mencoba mengingat semua yang telah dilalui bersama Farhan. Rasanya tidak ada yang keliru, mereka berdua berusaha bersama, tapi melihat bagaimana sikap Farhan kepada Binar seolah dia menemukan keganjilan atas orang yang mengingunkan hadirnya manusia mini seperti Binar ke dunia.

Abbey tidak lagi sanggup menahan. Waktu istirahatnya dia gunakan untuk berkunjung ke makam kedua orang tua dan adiknya.

"Ma, Pa, maaf kalau Kakak baru bisa datang berkunjung ke rumah kalian." Abbey menatap pusara kedua orang tuanya bergantian.

"Apa kabar kalian di sana? Sudah bertemu dengan Aine?" Abbey tersenyum sekilas sebelum wajah mendung itu kembali mengalihkan dunianya.

"Maafkan Kakak, Ma. Harusnya Kakak bisa menjaga Aine, tapi Kakak justru sibuk dengan urusan Kakak sendiri sampai Aine menyusul Papa dan Mama. Dan sekarang--" Abbey kembali bersedih kala mengingat Binar yang sedang berjuang sendiri di rumah sakit.

"Kakak tidak akan pernah menyalahkan takdir, karena semua itu kuasa Allah yang harus kita jalani. Namun, mungkin jika Mama masih ada, Kakak tidak terlalu berat melalui ini sendiri. Di satu sisi Kakak ingin menjadi seorang istri yang baik seperti yang Mama dan Papa pesan dulu, tapi di sisi lain Kakak juga ingin menjadi Bude yang baik untuk Binar. Ma--" Abbey beristighfar dalam hati.

Dia tidak sanggup lagi bercerita banyak. Rasanya hanya air mata yang tertahan dengan semua sesak yang ada di dalam dada. Terlebih ketika dia memandang pusara adiknya yang masih basah.

"Aine, adikku. Aku janji akan membantu Bara membesarkan Binar sampai mungkin suatu saat nanti Binar bertemu dengan sosok ibu yang akan mengisi kekosongan peranmu sebagai ibu."

Abbey berdoa sebelum dia meninggalkan makam. Selain karena waktu istirahatnya segera berakhir. Angkasa telah memberikan pertanda bahwa sebentar lagi dia akan memuntahkan isinya ke bumi. Kondensasi uap air telah mencapai puncaknya hingga awan hitam itu berarak menaungi bumi dan segera memberikan cerita baru dalam kisah rotasi hari ini.

Abbey sudah berada di dalam mobil ketika rintik hujan mulai turun. Dia melirik sejenak gawai yang sedari tadi teronggok di kabin dekat tuas persneling mobilnya. Beberapa kali berkedip tetapi Abbey memilih untuk mengabaikannya. Nama Farhan yang tertera membuatnya malas untuk melakukan perdebatan yang sesungguhnya tidak perlu ada.

Mengingat suaminya, Abbey tiba-tiba mengingat bagaimana nasib Binar dan Bara. Dia justru lebih tertarik menghubungi Bara setelah panggilan telepon dari Farhan berhenti berkedip.

"Bar, kamu dimana sekarang? Binar bagaimana?" Suara lesu Abbey disambut kata maaf dari bibir Bara.

"Kak, sebaiknya Kak Abbey tidak perlu lagi menghubungi aku. Benar kata Bang Farhan, aku dan Binar telah banyak menganggu waktu Kak Abbey."

"Maaf untuk itu, Bar," kata Abbey semakin lesu.

"Aku masih di rumah sakit, Kak. Tadi sudah bertemu dokter dan alhamdulillah semua baik. Sudah dulu ya, Kak---"

Sambungan telepon terputus, padahal Abbey masih ingin bertanya pekerjaan Bara. Tapi sepertinya Bara sangat menghormati keputusan Farhan melarang Abbey untuk bertemu dengan mereka.

"Apakah kamu juga akan melarangku untuk menemui Binar, Bar? Ketika kamu sudah mengerti seperti apa tanggapan Mas Farhan dengan kondisi kalian?" Abbey hanya bisa bertanya dalam hati.

Dia tidak bisa membayangkan jika Bara melakukan itu. Abbey sudah berjanji pada Aine untuk membantunya merawat Binar. Lalu bagaimana jika suaminya tetap dalam mode tidak bersedia?

Tiba-tiba gawai Abbey berkedip kembali. Kali ini nama mama Farhan yang tertera di sana.

Dia berdeceh malas. Farhan pasti telah bercerita kepada orang tuanya, dan mamanya akan berusaha memberikan nasihat yang membuat Abbey selalu berusaha menahan diri untuk tidak berkata kasar.

"Kamu masih di kantor, Bey?"

"Abbey di mobil, Ma. Perjalanan menuju kantor dari makam Mama, Papa dan Aine," jawab Abbey dengan sopan.

"Memangnya Farhan tidak pernah memberitahumu?" tanya mama Farhan.

"Tentang apa, Ma?"

"Perempuan itu sebaiknya tidak melakukan ziarah di makam. Kamu bisa mendoakan Papa, Mama dan adikmu dari rumah."

Lagi-lagi keliru. Farhan memang pernah bercerita padanyabtentang kalimat yang disampaikan mama mertuanya itu. Namun, Abbey hari ini ingin melihat pusara orang tua dan adiknya sekaligus mendoakannya. Dia tidak melakukan hal syirik di makam.

"Apa kamu sudah meminta izin suamimu? Ingat dosa Bey."

Lamunan Abbey terkoyak mendengar kalimat panjang yang keluar dari bibir mertuanya meski hanya buntut dari paragraf yang tercipta.

"Iya, Ma. Mama ada apa menelepon Abbey tadi?" Abbey mengalihkan topik pembicaraan.

"Farhan cerita kalau dia harus keluar kota, dan meminta Mama untuk menemanimu di rumah. Nanti pulang dari kantor, kamu jemput Mama di rumah ya?"

Farhan tidak pernah mendiskusikan terlebih dulu, selalu, sepertinya kata kepala keluarga membuatnya bisa dengan bebas menentukan keputusan dalam intern rumah tangga mereka. Abbey menggeram frustasi. Tinggal serumah dengan mertua selama Farhan tidak ada? Sepertinya Abbey harus segera belanja dan memborong stok kata sabar di indodesember terdekat.

-------------------------------->>
to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top