-- 01 --

"Kamu tahu apa yang membuat wanita terhalang masuk surga?"

Pertanyaan yang selalu terngiang di kepala Abbey. Dia memang bukan besar di lingkungan pesantren, orang tuanya juga tidak terlalu banyak membekalinya dengan ilmu agama. Namun, Abbey tahu bahwa setelah menikah dia harus menaati perintah suaminya.

Tidak ada yang salah dengan keinginan Farhan, dia hanya mengajak Abbey pulang segera tetapi istrinya justru mengabaikan dan memilih mengikuti langkah Bara ke NICU. Pada akhirnya marah adalah hal yang paling wajar. Farhan menumpahkan semua kekesalannya ketika mereka sampai di rumah.

"Apa kamu tidak punya telinga, Bey? Dokter Erland bilang, ovum kamu siap dibuahi. Sampai aku membatalkan janji ketemu dengan Papa dan Mama karena aku ingin kita bisa menikmati hari ini berdua." Farhan mengempaskan diri di kursi makan setelah menenggak setengah botol air mineral.

Abbey masih tidak mengerti, mengapa Farhan begitu marah hanya karena dia ingin melihat kondisi Binar. Tidak lebih dari sepuluh menit, pastinya tidak akan mengganggu kebersamaan mereka.

"Mas, seingatku, selama menjadi istrimu, aku selalu melaksanakan kewajiban itu dengan baik. Belum sekalipun aku menolak, meski aku sedang berhalangan. Karena aku tahu di dalamnya ada hak kamu yang harus aku penuhi." Abbey mengingat dengan pasti, bagaimana dia menjalankan fungsinya sebagai seorang istri dengan baik.

"Sepuluh menit melihat Binar itu tidak ada bandingannya dengan 24 jam waktu yang bisa kamu minta untuk kebersamaan kita, Mas!" lanjutnya.

"Binar itu masih punya Bara, Bey. Dia bapaknya, sudah barang tentu menjenguk dan merawat Binar adalah tanggung jawabnya," jawab Farhan tak mau kalah.

"Binar itu juga anak Aine. Ibu dari bayi itu adalah adikku satu-satunya, kalau kamu lupa." Abbey mengepalkan kedua tangannya.

"Benar kan? Kalau Binar itu bukan anakmu, bukan anak kita! Dia hanyalah keponakan, lalu mengapa kamu sampai sebegitunya?" Farhan berdiri dari tempat duduknya.

"Kamu gila ya, Mas?" Abbey menatap suaminya. "Belum kering tanah di makam Aine, Mas. Empatimu sebagai seorang manusia kemana, huh?!" Abbey mendesah sebal.

"Aku ingin punya anak sendiri, Bey. Bukan keponakan yang akan kita anggap sebagai anak." Napas Farhan sudah naik turun menahan amarahnya.

"Kamu memang sudah benar-benar gila, Mas Farhan!" Abbey ikut tersulut amarah ketika Farhan justru masuk ke kamar dan menutup pintunya dengan kencang.

Emosi yang akhirnya membuat hari mereka justru berakhir di ranjang petiduran yang berbeda. Abbey memilih memejamkan mata di kamar tamu ketimbang harus menyusul suaminya di kamar mereka.

Pagi hari pun ketika Abbey hendak berangkat bekerja, Farhan sudah tidak tampak di rumah. Kamar mereka juga sudah kosong melompong. Tak berselang lama gawai Abbey berdering. Nama perempuan yang kini menjadi ibu satu-satunya di dunia yang harus menerima baktinya sebagai seorang anak.

"Iya, Ma. Abbey mau berangkat ke kantor. Ada yang bisa Abbey bantu?" Abbey menerima panggilan telepon sembari menyiapkan bekal makan siangnya di tepak.

"Kamu tidak memasak hari ini, Bey? Sampai-sampai Farhan sarapan di rumah Mama?" Pertanyaan to the point itu seketika menghentikan gerakan tangan Abbey.

Selalu seperti ini. Seolah-olah ada camera CCTV di rumah mertua Abbey hingga mereka harus selalu mengkonfirmasi ini dan itu.

"Mama bisa menerima panggilan video, Abbey akan merubahnya." Sesaat kemudian wajah mertua Abbey terlihat di layar, setelahnya barulah Abbey mengarahkan kamera gawainya ke makanan yang tersaji di meja makan pagi ini. Bahkan bekal yang sudah masuk di tepak Abbey pun tidak ketinggalan tersorot.

"Ini bukan masakan yesterday yang Abbey hangatkan pagi ini, Mam." Meski sedikit tersinggung dengan pertanyaan mertuanya, Abbey masih berbicara dengan nada rendah dan sopan.

"Ya sudah, lain kali tanyakan dulu suamimu ingin makan apa. Kalian kan masih berdua, kamu memasak ya untuk suamimu. Biasakan seperti itu, suami itu harus selalu dihargai."

"Iya, Ma."

"Mama tutup dulu teleponnya."

Abbey meletakkan gawainya ke dalam tas. Tidak ada waktu lagi, dia harus segera berangkat dan sampai di kantor sebelum terlambat melakukan fingerprint.

Abdi negara yang melekat di pundak Abbey tidak serta merta membuatnya bisa dengan mudah mengambil jam kerja di kantor untuk bisa memenuhi semua keinginan suaminya. Wanita itu memiliki jam kantor yang pasti, yang jelas seringkali berselisih dengan waktu Farhan yang harus seringkali melakukan perjalanan ke luar kota karena pekerjaannya.

Farhan bekerja sebagai penasehat hukum yang sering menangani beberapa kasus di luar kota. Karena pekerjaan itu pula yang terkadang membuat Abbey malas berdebat dengan suaminya, karena apa yang menurutnya benar, Farhan selalu memiliki kalimat untuk mengalahkan perdebatan itu jika dia tidak setuju dengan pendapat Abbey.

Terkadang Abbey berpikir, sebenarnya rumah tangga seperti apa yang sedang dijalaninya sekarang. Farhan tidak pernah bertindak kasar kepadanya, tapi terkadang ucapannya justru terasa lebih menyakitkan dibandingkan dengan sikapnya.

Abbey baru membuka makan siangnya ketika suara Barra terdengar panik di ujung teleponnya.

"Kak, Binar, Kak--"

Tidak ada penjelasan yang lain karena setelah itu terdengar suara orang lain mengajak Bara bicara dan panggilan mereka terputus.

Seketika Abbey menutup kembali makanannya, dia segera memberitahukan kepada rekan kerja mau ke rumah sakit.

"Tolong kerjaanku ya, nanti aku telepon Pak Ilham untuk meminta izin beliau." Abbey segera meraih tas dan bergegas ke parkiran mengambil motornya.

Sampai di rumah sakit, Abbey tidak menemui Bara. Perawat bilang, adik iparnya ini sedang di ruangan dokter. Mereka sedang membicarakan perkembangan Binar yang sempat henti napas sebelum akhirnya dia harus mendapatkan perawatan yang lebih intensif lagi.

Abbey hanya bisa mondar-mandir menunggu Bara keluar dari ruangan dokter dan menanyakan bagaimana kondisi keponakannya. Hingga sepuluh menit berlalu, mata Abbey melihat sosok lesu Bara dengan mata memerah.

"Bar, apa yang terjadi pada Binar? Perawat bilang tadi sempat henti napas." Abbey memberikan sebotol air mineral dan meminta Bara duduk di sampingnya.

"Rasanya aku nggak kuat menjalani semua ini sendirian, Kak." Bara menunduk lesu.

"Nggak! Kamu harus kuat. Ada aku di sini, ada Bang Farhan juga. Kamu harus kuat Bar, untuk Binar." Abbey mengambilkan tisu dari dalam tasnya.

Abbey tahu, kondisi orang tua Bara yang sudah lanjut usia dan kini berada di kota yang jauh dari mereka tinggal tidak memungkinkan untuk bisa menemani sang putra. Saudara-saudara Bara juga telah memiliki keluarga sendiri-sendiri yang tentunya mereka juga tidak bisa menemani adiknya melewati cerita hidup karena semuanya tinggal di kota yang berbeda-beda.

Hanya Abbey, satu-satunya keluarga terdekat yang bisa diajak bermusyawarah Barra mengenai perkembangan Binar.

"Detak jantung Binar melemah, Kak. Karena dia lahir secara prematur sehingga rentan mengalami Apnea of Prematurity. Kata dokter itu hal yang biasa, tetapi setelah beberapa saat napas Binar tidak juga bisa kembali normal, dokter curiga ada penyebab lain yang menyebabkan henti napas sesaat yang dialami Binar." Bara diam sesaat, matanya sudah kembali memerah dan tak lama kemudian tetesan air matanya meluruh tanpa bisa dikendalikan.

"Aku tidak ingin kehilangan lagi, Kak. Cukup Aine yang membawa pergi separuh napasku. Aku tidak akan pernah sanggup jika harus kehilangan Binar juga."

Bahu Bara bergetar. Meski tanpa suara dalam tangisannya, Abbey tahu dan mengerti seperti apa perasaan Bara saat ini.

"Tenang, Bar. Ada aku, aku nggak akan kemana-mana. Binar butuh kamu sebagai papanya. Kamu harus kuat. Kami semua ada di belakangmu." Abbey menepuk bahu iparnya.

"Dokter menyampaikan, sebaiknya Binar dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar dari rumah sakit ini, Kak. Untuk melakukan beberapa tes yang lebih detail, karena peralatan untuk neonatal di sini masih kurang lengkap."

"Lakukan yang terbaik untuk Binar, Bara," kata Abbey.

Bara menatap iparnya setelah dia menghapus sisa air matanya.

"Kami semua mencintai Binar, Bara. Percayalah dia tidak akan pernah kekurangan kasih sayang seorang ibu. Aku yang akan membantumu mengurus kepindahan perawatan Binar."

"Terima kasih, Kak. Aku nggak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa."

Abbey mengikuti Bara ke ruang administrasi menandatangani seluruh berkas persetujuan pemindahan Binar. Setelah itu Abbey melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang ibu untuk menyelamatkan anaknya.

"Aku titip Binar sebentar, Kak. Nanti aku menyusul kalian setelah semua urusan di sini selesai."

Abbey duduk di samping inkubator Binar di dalam sebuah ambulance. Dia telah mendapatkan izin dari atasannya untuk bisa meninggalkan pekerjaan sampai urusannya dengan Binar selesai.

Tepat setelah azan magrib berkumandang. Bara sampai di rumah sakit yang dua jam sebelumnya Abbey telah tiba terlebih dulu bersama Binar.

"Kak, bagaimana dengan Binar?" Bara masih mengatur napasnya yang tersengal-sengal setelah berjalan cepat dari tempat parkir sampai di NICU yang lumayan untuk sebutan olahraga.

"Dokter sudah memeriksanya. Tadi juga sudah diambil sampel darah untuk diteliti lebih lanjut. Kita tunggu saja hasil seperti apa." Abbey melirik jam yang melingkar di lengan kirinya.

Dia tidak tega jika harus meninggalkan Bara sendiri, tetapi tidak mungkin menginap di rumah sakit karena dia belum meminta izin Farhan. Selain itu, Abbey yakin Farhan pasti tidak akan mengizinkan mengingat perdebatannya kemarin malam.

"Kak Abbey pulang saja sekarang." Bara yang memahami gerak tubuh Abbey segera mengambil keputusan.

Abbey mengangguk. Badannya sudah lengket semua, dia belum mandi dan masih mengenakan seragam dinasnya.

"Aku balik dulu, besok aku usahakan kemari, Bar. Kamu harus kuat. Binar membutuhkan bahu kokoh papanya untuk bersandar." Abbey tersenyum manis membuat tatapan Bara terpaut beberapa saat sampai senyum itu menghilang dari bibir Abbey.

"Sampaikan salam maafku pada Bang Farhan, Kak. Maaf sudah meminta waktu Kakak untuk menemani Binar."

Abbey menggeleng tapi sesaat kemudian dia bersuara untuk menjawab. "Aku akan sampaikan kepada Mas Farhan. Tapi kalian tidak pernah meminta waktuku untuk Binar. Aku mencintai Binar seperti halnya aku mencintai Aine, Bar. Tanpa Aine ada di dekat kita, kalian berdua tetap keluargaku."

"Terima kasih, Kak."

Abbey sampai di rumah tepat lima belas menit setelah jarum jam menyentuh angka 9. Artinya Farhan sudah bisa dipastikan berada di rumah karena Abbey tahu suaminya tidak sedang menangani kasus.

"PNS pulang lebih dari jam 9 malam itu kamu kerja apa? Pekerjaan apa yang membuatmu memilih lembur tanpa memberitahukan suamimu?"

Abbey telah hapal kalimat apa yang akan diucapkan Farhan selanjutnya. Dia memilih mengabaikannya, karena sekali Abbey menjawab sudah pasti debat kusir di antara mereka tidak dapat terelakkan lagi.

"Bey, kamu belum budek, kan, untuk mendengarkanku?"

"Maaf, Mas. Gawaiku kehabisan daya, hari ini aku mengantarkan Binar ke EMZ Hospital, karena dia mengalami kejang dan henti napas di mana di RSD tidak memiliki peralatan yang memadai?" jawab Abbey akhirnya.

"Memangnya Bara kemana? Itu tanggung jawabnya bukan tanggung jawabmu!"

Tepat sesuai dengan perkiraan Abbey, Farhan masih mempertahankan pendapatnya yang terdengar sangat konyol.

"Binar itu keponakanku, Mas. Bara mengurus administrasi dan aku yang mengantarkan Binar karena dia butuh perawatan intensif lebih detail segera." Suara Abbey sudah mulai naik setengah oktaf.

"Ingat ya, Bey. Satu langkah pun kamu keluar rumah tanpa izin dari suamimu. Kamu sudah melakukan dosa besar."

Kepala Abbey berdenyut seketika. Farhan pintar sekali memainkan kata-kata untuk memojokkan Abbey. Benar, pernyataan Farhan itu ada dalam kitab yang mereka yakini kebenarannya. Harusnya tidak ada penyangkalan atas itu, tetapi hati kecil Abbey tetap tidak rela jika suaminya seapatis itu kepada keluarganya. Ini tidak adil untuk Binar.

-------------------------------->>
to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top