CDM 2.
Angelica Simperler, Visual Gista Amora
12 tahun yang lalu...
Manado
Seorang wanita dengan pakaian seksi yang masih terlihat cantik melempar semua perkakas murah dalam rumahnya ke arah seorang pria. "Laki kardus loe pergi loe jangan datang lagi. Kerjaan loe cuma minta uang aja!"
Si pria berbadan besar itu ketakutan. Berlari kencang keluar halaman sampai terseok-seok. Beberapa tetangga menjadi penonton setia. Hingga Gista yang baru menerima pengumuman kelulusan tampak cemas melihat ibunya itu.
"Ibu, ayo masuk... Ga enak dilihat orang." Gista mendekati sang ibu yang terduduk dengan nafas ngos-ngosan setelah mengeluarkan amarah.
"Gak usah! Ibu bisa bangun sendiri. Mending kamu cari kerja sana. Masih untung ibu bayarin kamu sampai lulus SMA." Ibu Gista menepis kasar tangan Gista sambil meraih botol minumannya berjalan sempoyongan.
"Loe harus tahu, kalau bapak loe koit gak meninggalkan uang sepeserpun dan gue nih yang kerja di club malam buat hidupin loe!"
Gadis berseragam putih abu-abu itu tersenyum miris lalu kembali bangkit berdiri. Sekali lagi dia menatap kertas pengumuman kelulusan itu terdapat tanda tangan dari teman-temannya sebagai tiga besar lulusan terbaik.
..................................
Tak menyangka Gista sudah berada di rumah ini dengan pakaian rapi. Rumah yang tak berbeda jauh dari istana. Ibunya yang menyuruh Gista untuk bekerja di rumah milik pengusaha.
Gista menunduk sambil mendesah ditemani satu tas jinjing besar di sebelah tangannya. Harapannya yang ingin kuliah padahal sudah mendapat beasiswa di luar kota harus pupus. Tak sadar jika sudah ada satpam rumah yang menegurnya.
"Dek, pembantu baru kan? Saya sudah diinfokan oleh tuan." Ucap si satpam hingga Gista mengangkat kepalanya mengernyit heran. "Kok bapak langsung tahu."
"Foto adek ada di brosur." Ucap santai si satpam.
.............................
Di sinilah dia sekarang bekerja sebagai pembantu sesuai perintah si tuan berusia tiga puluhan itu. Juga dalam bimbingan Bibi Endah, seorang wanita seusia ibunya.
Selama beberapa hari bekerja, Gista menjadi nyaman saja. Dan tak lupa Bi Endah selalu memperingati dirinya untuk tidak mendekati kamar pribadi Tuan Awang.
Suatu hari di senja yang sejuk adalah awal dia mengenal mereka sesungguhnya. Saat itu Gista sudah selesai membawa selimut-selimut yang sudah selesai dicuci dan digosok. Sayup-sayup gadis berkepang itu mendengar sayup-sayup suara tangisan pemuda di taman yang dipisahkan pintu kaca.
"Tuan Dewa." Gista mengenalnya sebagai pemuda tampan, seusia dengannya dan tertutup sifatnya di rumah ini. Mau mendekat tapi takut sok ikut campur, mau tak acuh tapi tak tega. Setelah menghitung jumlah kancing bajunya. Keputusan dia jawab "Iya."
Perlahan tapi pasti Gista mendekat sambil mengigit bibir menarik nafas dan menyiapkan keberanian. "Ehemm.... Sore tuan Dewa. Kok nangis? Hati-hati loh nanti diambil wewe gombel." Gista mencoba menghibur. Saat si pemuda menoleh dengan mata sembab, hanya memakai kaos tipis tanpa lengan, wajahnya semakin sayu.
Lawakan yang buruk! Rutuk batin Gista. Gadis itu meletakan selimut bersih di lantai yang sudah di pel lalu mengambil salah satu selimut itu untuk menyelimuti punggung si pemuda. "Udaranya memang sejuk, tapi terlalu dingin apalagi tuan memakai baju setipis itu." Gista tanpa rasa canggung lagi duduk di samping pemuda itu di bangku batu taman.
Dewa, tersenyum pada Gista seolah menemukan air di tengah gurun sahara. "Eehh.... Bisa senyum juga," ucap Gista melotot.
Tak lama Dewa kembali meringis. "Awhh."
Gista mengernyit dan pandangannya dengan cepat beralih pada pergelangan tangan Dewa yang memar. "Tangannya kenapa?" tanya Gista dengan raut cemas.
Dewa hanya menggeleng tapi tak bisa menyembunyikan kesakitannya. Gista tersenyum sambil mengulurkan tangan. " Berikan tanganmu. Aku punya obat yang ampuh."
Dewa yang tak banyak bicara memiringkan kepala seolah bingung. Tapi dia menurut saja, padahal sikap santai gadis ini yang seenaknya menghampiri sok akrab seperti tak dia pedulikan lagi. Yang ada hanya rasa nyaman.
Saat tangan putih itu berada dalam genggaman tangan mungil Gista. Dia langsung mengelus lembut lalu tanpa malu mengecup pergelangan tangan Dewa yang memar. "Cup....cup... Sayang nanti sembuh ya..." Gista terus mengecup dan mengelus lembut. Dewa terkejut, tegang, seolah ada aliran listrik menjalar di tubuhnya, tapi... Ada rasa hangat menyelimuti jiwanya.
Pemuda itu tersenyum lembut di balik wajah tampan blasteran nan dingin itu. Gista sontak mengangkat kepala, melepas tangan Dewa. "Mmmaaf... Kebiasaan sama anak tetangga yang masih TK kalau jatuh main sama teman-temannya suka minta elus sama kecup."
Gista jadi serba salah. Baru kepikiran. Masa anak TK tetangga disamain sama Dewa yang seumuran sama dia. Sungguh terlalu!
Namun dewa terkekeh melihat sikap panik Gista. Dia menyentuh pergelangan tangannya sendiri. "Terima kasih ya. Ini sudah sembuh kok. Berkat ciuman kamu."
Gista seolah terhipnotis oleh senyum pemuda itu lalu ikut tertawa. Mereka tertawa bersama hingga suara menggelegar seorang pria mengerikan menghancurkan semuanya. Dewa diseret dan Gista diintimidasi hingga ketakutan.
........................🌿🌿🌿🌿🌿
Bunyi jam weker berbentuk kotak hitam membangunkan seorang wanita dewasa dari tidurnya. Kamar luas itu masih tertutup hordeng tebal. Gista membuka matanya perlahan. "Ya ampuunn... Berisik banget sih itu jam weker. Ini itu hari libuuurrr... Please jangan bangunin akuuuu." Suara Gista masih terdengar malas-malasan dan lemah seperti enggan bangun.
Saat berguling, raut mengantuknya berubah panik dan kaget. "Tunggu... Itu jam weker gue gak segede dan semaskulin itu deh. Daaaaann... " matanya mengedar melihat sekeliling ruangan kamar luas dengan lemari tinggi besar, bernuansa abu-abu, mewah. Mata cantik itu semakin takut dan melebar. "Apar....teeemeen aku juga gak seluas ini juga kaliii.... Iniii....." Suara Gista bergetar dan melihat keadaan dirinya yang hanya mengenakan kaos dalam tank top berbalut kemeja putih besar dan celana dalam."
Bola matanya berputar mengingat kejadian semalam. "Aaaakkkhhhhh!" Gista langsung melompat dari ranjang king size itu lalu menemukan secarik kertas di meja nakas hitam itu.
Maaf ya meninggalkan kamu subuh-subuh... Kalau mau sarapan aku sudah suruh asisten penthouse menyiapkannya. Oh ya, nanti kita lanjutkan lagi ya.
Gista semakin melongo. "Melanjutkankan?" kembali memorinya berputar walau tak terlalu jelas.
Wajahnya langsung memerah. "Brengsek. Cuihhh... Jangan harap... Habis ini aku harus test keperawanan." Gista menggerutu sepanjang membersihkan diri dan ingin cepat-cepat pergi tak mau mengenal pria kurang ajar itu lagi. Semoga saja dia masih perawan. Arrrghh... Rasanya ingin melampiaskan semua kemarahan. Teriak batinnya.
...............................
Hari Senin memang cerah tapi tak sesuai dengan suasana mencekam di ruang duduk luas blitz Magazine. Gista tampil casual dengan sneakers hitam, celana krem, seragam perusahaan juga name tag gantung dan logo jabatan di kantung dadanya. Wanita itu bekerja ulet menyusun rancangan kerja. Lengkap dengan siraman kalbu pada anak buahnya pagi itu.
Setelah itu Gista beranjak pergi setelah dia menyuruh krunya menjalankan kerja sesuai rancangannya. "Hiii... Mbak Gista kalau marah jadi bikin tambah lapar tahu. Jadi pengen spaghetti deh." Ucap Sita, salah satu kru kreatifnya pada pria berkacamata.
"Efek perawan tua mode on." Balas si pemuda berbisik sebal.
Tiba-tiba ada tangan halus memberikan sekotak sandwich. Tanpa menoleh Sita mengambilnya. "Makasi ya Bi.... Eh kok tangan Bi Sukma mulus amat."
Saat mata mereka berdua bertemu pandang pada Gista. Mereka hanya cengengesan tanpa dosa. Dan Gista tersenyum sadis. "Besok... Tambah draft ya buat cadangan."
Mereka berdua hanya meratapi nasib. Semakin menciut
......................
Gista berjalan santai ingin mencari makanan ringan di luar gedung kantor redaksi sambil bersiul. Lalu Irene, sahabatnya menghampiri dengan senyum semringah. "Masih marah sama gue?"
Gista mengedikkan bahu tak peduli. "Capek marah sama orang."
Mereka berhenti berjalan saat mendengar keributan kecil di ruang terbuka taman kantor. "Heboh amat tuh. Samperin yuk!" Ajak Irene.
Namun tak lama dua lengan kekar memeluk Gista dari belakang. "Aahh.... Akhirnya ketemu juga, mylady."
Gista langsung menegang saat mengenali suara lelaki itu. Irene juga terpanah melihat mereka. Semenjak hari itu, Pierre mengikuti kemanapun Gista berada.
Bersambung........
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top