Lima
Aku mengawasi Raisa yang tampak serius menatap layar Imac-nya. Aku masih memikirkan pertemuan kami di Gramedia kemarin. Tidak bisa dibilang pertemuan karena kami tidak bertegur sapa. Aku hanya melihat, dan sekilas mendengar dia ngobrol dengan temannya. Gaya Raisa terlihat aneh. Dia tidak terlihat seperti Raisa yang kukenal sehari-hari.
Aku baru sadar kalau selama ini aku tidak tahu apa-apa tentang anak itu. Tidak seperti Sita dan Sandro yang kadang berbagi cerita tentang teman dan keluarganya, Raisa tidak pernah bicara tentang hal pribadi. Temannya Sani itu baru kukenal saat resepsi pernikahan Sita dan Pak Andra.
Bukan berarti aku ingin tahu sih. Astaga, sama sekali tidak. Aku tidak ingin tahu apa-apa tentang gadis lemot dengan kepercayaan diri selangit itu. Aku sama sekali tidak akan berpikir tentang kehidupan pribadinya kalau aku tidak melihat ekspresi dan menangkap sedikit isi percakapan mereka.
"Lo ngapain liatin gue gitu, Putput?" Sial, Raisa menangkap basah aku yang sedang menatapnya penuh perhitungan. Dia terlihat senormal biasa. "Lo akhirnya sadar kalo gue cantik banget, ya?"
Aku melengos. "Hasil riset produk kemarin lo yang simpan, kan?" Aku mengalihkan percakapan. Aku nista sekali kalau sampai kagum padanya. "Email-nya belum gue print." Aku tidak butuh hasil riset itu sekarang. Itu hanya pengalih perhatian saja.
Raisa langsung mengulurkan lembaran berkas yang kuminta. "Konsumen yang disasar iklan sudah dipetakan kok, Putput. Kita tinggal mikirin konsepnya aja."
"Gue tahu." Aku tidak akan brainstorming berdua Raisa. Siapa yang tahu ide konyol yang akan diajukannya. Aku lebih suka melakukannya dengan Sita dan anggota tim yang lain.
Raisa berdiri. "Udah jam makan siang. Lo nggak mau turun sekarang? Gue lapar."
Aku melirik pergelangan tangan. Memang sudah waktu istirahat. Sita dari tadi di ruangan Pak Andra. Sandro keluar meeting dengan klien. Dia akan kembali setelah makan siang.
"Lo mau makan apa?" Aku mengiringi langkah Raisa menuju lift. Aku tidak punya pilihan, terjebak makan siang bersamanya.
"Gue ikut lo deh, Putput. Gue kan nggak serewel lo soal makanan."
Yeah, seolah dia mengenalku, tetapi itu lebih baik daripada aku yang harus masuk tempat makan pilihannya.
"Gue kemaren lihat lo dan teman lo itu di Central Park." Kami sudah di dalam lift. Aku terus mengawasi Raisa. Aku sengaja tidak spesifik menyebut tempat aku melihatnya. Sebut saja itu feeling, atau apalah, tapi aku yakin Raisa menyembunyikan sesuatu. Entah apa.
"Oh ya?" Raisa terus menunduk menekuri ponsel, sehingga aku tidak bisa menangkap ekspresinya dengan jelas. "Lo kok nggak negur kita?"
Aku mengangkat bahu. "Jauh. Gue cuman lihat sekilas aja."
"Ooh...."
Tumben reaksinya tidak heboh. Biasanya, anak bebal ini membalas satu kalimat pendek dengan sepuluh kalimat panjang. Namun lebih baik begitu, karena kalau Raisa membuka mulut, biasanya hanya akan menyulut emosi. Kami terus diam sampai di restoran. Perhatian Raisa tidak teralihkan dari ponsel. Dia mungkin terlibat percakapan bodoh yang menurutnya mengasyikan dengan temannya.
"Putput, lo mau mau soto atau ayam goreng?" Raisa akhirnya melepas ponsel setelah kami duduk.
" Apa?" dari mana anak ini tahu makanan wajibku untuk mengisi perut di restoran ini?
"Makan siang lo kan ketebak banget kalo di sini. Itu-itu mulu, Kan? Kalo nggak soto, ya ayam goreng. Nggak bosan apa? Lo pasti musuhan sama ayam di kehidupan sebelumnya. Gue yakin tiap lihat ayam hidup lo pasti udah banyangin dia jadi soto."
Menarik, si bebal ini ternyata pengamat yang baik. Biar kupancing. "Sandro juga suka ayam, kan?"
"Tapi pilihan dia kan lebih beragam, Putput. Lagian, dia lebih suka gurame goreng ketimbang ayam kok." Mata Raisa terarah ke atas. "Setidaknya mendingan dari Sita lah. Tipe herbivora. Segala macam model daun dan rumput udah pernah dicobanya kali, ya?" dia tertawa pada kalimatnya sendiri. Khas Raisa.
"Lo sendiri tipe apa?" Aku tidak sungguh-sungguh ingin tahu. Aku menanyakannya untuk mengisi puzzle yang bolong antara Raisa versi normal di depanku sekarang dan Raisa versi lain yang kulihat kemarin.
"Gue omnivora sih, Putput. Asal makanannnya nggak bergerak dan merangkak keluar sendiri dari piring, pasti gue makan."
"Lo suka banget webtoon, ya?" tanyaku lagi mengganti topik. "Lo dan Sita kan dari dulu suka ngobrolin webtoon."
Raisa meraih gelasnya dan minum dalam tegukan besar. "Gue sama Sita baca hentai sih, Putput. Jepang dan Korea gitu. Ngapain lo nanya? Mau gue kirimin link juga? Tapi pasti lo nggak tertarik gituan sih. Isinya nganuan semua. Lo kan pelaku aktif, nggak butuh gambar buat naikin produksi hormon." Raisa kembali tersenyum bodoh. Dia terlihat sangat normal. Sepertinya aku salah melihat dan menilai ekspresinya kemarin.
**
"Guys, kopi." Sita mengulurkan gelas plastik yang dibawanya pada kami. Dia baru pulang meeting dengan klien.
"Untuk gue jangan yang manis, dong," ujar Raisa lebih dulu. "Hari ini gue manis banget, jadi pengen minum yang rada pahitan. Kasihan yang lihat gue, ntar pada diabetes semua."
Aku menggeleng-geleng. Anak itu tahu betul cara membuat orang jengkel. "Lo tahu, Sa, pas masuk neraka nanti, orang-orang narsis punya antrean khusus, lho. Nggak perlu timbang amalan, boleh langsung masuk."
Mata Raisa membelalak. "Lo udah survei sampe neraka ya, Putput? Udah yakin banget bakal ke sana?"
Aku mengibas, malas mengikuti permainannya. Aku memilih menyesap kopi yang baru dibawa Sita.
"Pak Andra mana?" tanyaku sengaja mengalihkan percakapan. Tumben Sita dibiarkan melenggang sendiri. Biasanya dia menempel seperti ekor di belakang istrinya saat keluar kantor.
"Laki gue ada urusan. Ntar dia datang kok kalo udah mau pulang. Eh, Put, webtoon yang mirip kita itu belum update atau gue yang nggak kebagian notif, ya?" tangan Sita bergerak-gerak di layar ponselnya. "Lo bilang di-update dua minggu sekali, kan?"
"Lo beneran yakin bukan lo yang nulis?" tanyaku menegaskan.
"Kalo gue, ngapain gue malah tanya?"
"Ya, kali aja pengalihan isu. Lempar batu sembunyi dosa, gitu."
"Salah, Putput," sala Raisa gemas. "Lempar batu sembunyi tangan. Gue masih ingat peribahasa itu. Zaman SD gue kan juara umum terus."
Aku berdecak mencemooh. "Jadi cedera otak lo itu dapatnya pas lulus SD?"
"Lo kenapa harus jahat gitu ke Raisa sih, Put!" Seperti biasa Sita segera membela Raisa dari seranganku. "Memangnya kerjaan Raisa ada nggak beres selama gue nggak ada? Gue yakin nggak."
"Nggak apa-apa kok, Sit, gue udah biasa digituin Putput. Itu pengaruh dia udah lama nggak ONS. Dia kan udah nggak pernah ngomongin cewek lagi akhir-akhir ini. Kemampuannya menurun drastis. Kita harus ikut prihatin."
Aku menatapnya sebal. Fix, aku yang salah menilai kalau dia terlihat berbeda di luar kantor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top