Dua Belas

Maafkeun aku terlambat update, ya. Biasa, Mak-Mak kadang sibuk dengan dunia nyata. Kemaren ada acara syukuran di rumah dan  kelar setelah malam. Capek banget dan langsung tepar. Nggak ada tenaga buat buka laptop untuk update.

Oh ya, aku memang menetapkan goal vote untuk ceritaku, tetapi nggak memaksa orang untuk vote kalau nggak berkenan. Bukan aku yang memegang kendali jari pembaca untuk vote. Vote atau tidak, itu keputusan pembaca sendiri. Jadi ya, sedih sih saat ada yang bilang aku serakah karena kepengen ceritaku di-vote. Untuk pembaca yang setia di lapakku, pasti tahu kalo aku selalu berusaha menepati janji yang aku buat. Aku menghargai kesetiaan dan kerelaan pembaca menghabiskan paket  data untuk mampir membaca di sini. Oke, sebelum aku semakin lebay, Selamat membaca.

**

Raisa sudah ada ketika aku sampai di kantor.

"Hai, Sa," tegurku manis. "Lo cantik banget pagi ini. Makin diperhatikan, lo makin cantik deh. Aura lo memang butuh waktu untuk keluar, tapi memang nggak bisa disangkal."

Bola mata Raisa mengarah ke atas, terlihat bosan. Namun dia diam saja. Dia pasti sedang memikirkan cara untuk membalasku. Hah, tidak semudah itu, Nona!

Rencananya begini, aku akan mengadakan pendekatan palsu kepada Raisa. Ya, kalian tidak salah, PALSU. Tidak mungkin aku jadian betulan dengan gadis tukang tipu itu, kan?

Kalau Raisa memang pintar, dia pasti bisa membaca sandiwaraku. Dia pasti akan merasa sebal dengan berbagai manuver berlebihan yang akan kulakukan. Akhirnya dia akan gerah dan memintaku menghentikan permainan. Saat itu dia akan mengakui semua kepura-puraan yang sudah dilakoninya. Dan dia akan minta maaf sudah menjadi teman yang buruk untuk kami yang sejak awal tulus menerimanya.

"Kopi lo kebanyakan gula ya, Putput? Hiperaktif pagi hari nggak baik untuk kinerja."

"Kopi gue nggak semanis lo kok, Sa."

Raisa mendelik. "Garing, Putput. Lo nggak mungkin berharap gue percaya lo serius muji gue, kan?"

"Tapi ini pujian tulus dari lubuk hati gue yang paling dalam, Sa. Hanya dengan lihat lo aja, produksi endorphin gue langsung meningkat. Bahagia gue." Merayu tanpa melibatkan perasaan ternyata tidak terlalu sulit. Pengalaman tidak mungkin bohong.

"Nggak mempan, Putput." Raisa memutar bola mata, terlihat makin sebal. "Hentikan deh."

"Lo nyuruh gue berhenti mengejar kebahagiaan gue? Maaf, gue nggak bisa, Sa."

"Putra!" Raisa tampak benar-benar jengkel, karena dia menyebut namaku dengan benar. "Gue bilang hentikan! Gue tahu lo playboy, tapi selektif dong. Gue kan teman lo, masa lo tega sih ngerjain gue. Becandaan lo nggak lucu."

Teman? Aku hampir tertawa. Sejak awal dia tidak pernah sungguh-sungguh ingin berteman dengan kami. Kalau dia menganggap kami cukup berharga untuk dijadikan teman, dia tidak akan membohongi dan menjadikan kami bahan lelucon dalam ceritanya. Raisa benar-benat tipe oportunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

"Jujur, Sa, lo bukan teman yang baik." Aku menatap Raisa dalam-dalam, mengamati perubahan ekspresinya saat mendengar kalimatku. Bermain peran seperti ini menyenangkan juga. "Tapi gue yakin lo bisa pacar yang luar biasa. Gue pasti nggak akan pernah bosan sama sifat lemot manja lo."

Raisa mendengkus, aku benar-benar sudah berhasil merusak awal harinya. "Lo salah sasaran, Put. Gue nggak akan menyediakan diri buat lo gerayangin."

"Siapa yang mau gerayangin lo, Sa?"

"Iisshh, kayak gue nggak tahu lo aja. Kita berteman bukan sehari dua hari. Gue tahu lah kalo buat lo, pacar itu nggak lebih dari pemuas kebutuhan biologis. Gue jelas nggak berniat jadi alat buat bikin lo katarak beberapa detik. Ya ampun, horror banget."

Aku tidak bisa menahan tawa. Siapa juga yang mau bermesraan dengan dia? Ini hanya permainan. "Kayaknya gue udah sering bilang deh, Sa. ML itu keputusan dua orang. Kalo salah satu memaksakan kehendak, itu namanya perkosaan. Gue nggak akan maksa lo melakukan apa yang nggak lo pengen. Tapi gue jelas akan sulit nolak kalo lo yang ngajak."

"Ngajak lo nganuan?" Raisa terlonjak dari kursinya. "Lo halu!" dia mengentakkan kaki dan melangkah pergi.

Gelakku belum hilang saat Sandro mendekat dengan raut khawatir.

"Man, gue lihat apa yang lo lakuin tadi ke Raisa. Lo nggak sayang nyawa? Orang kayak dia itu ditraining untuk melenyapkan nyawa tanpa ninggalin jejak. Bunuh lo sama gampangnya dengan dia bersin."

"Ndro, dia memang tukang tipu, tapi jelas bukan agen rahasia. Lo kenapa sih keukeuh banget dengan teori itu?" Aku menggeleng-geleng. Tidak biasanya Sandro sulit diyakinkan.

"Gue bisa baca rencana lo dengan jelas, Putra. Lo pengen mendesak Raisa supaya dia merasa bersalah sudah bohongin kita selama ini, kan? Gue juga yakin dia sudah curiga kalo kita tahu sesuatu." Sandro menepuk bahuku. "Gue ngerti banget kalo lo sebal, tapi nyalurin kekesalan lo dengan mempertaruhkan nyawa sama sekali nggak layak, Put."

Aku berdecak mencemooh. "Tingkat halusinasi lo sudah jauh di atas ambang batas normal, Ndro. Lo butuh psikiater. Skizofrenia bisa nyerang siapa saja, nggak pandang bulu." Ada-ada saja.

"Gue mengatakan ini karena nggak mau lo tinggal nama, Putra. Siapa yang tahu apa yang dalam pikiran Raisa. Kelar dengan lo, dia bisa mengalihkan sasaran ke gue." Sandro bergidik ngeri.

Astaga, Sandro benar-benar butuh pertolongan ahli jiwa.

**

Aku sedang menekuri piring sotoku ketika Raisa tiba di depanku. Aku hanya makan sendiri karena Sandro punya meeting dengan klien. Raisa akhir-akhir ini lebih suka memisahkan diri. Dia mungkin sebal harus menghadapi seranganku.

"Putput, gue udah berpikir," katanya setelah memesan makanan kepada pelayan. "Hasil penerawangan gue juga udah keluar."

"Soal apa?" Aku meletakkan sendok.

"Soal gue, lo." Raisa menunjuk aku dan dirinya sendiri. "Kita. Ajakan lo buat pacaran itu. Dan gue sudah memutuskan."

Aku menegakkan punggung, waspada. Mengapa aku punya perasaan ini tidak akan sesuai dengan rencanaku, ya? "Dan?" tanyaku lebih lanjut.

"Dan...." Raisa menatapku dengan wajah berseri. "Ayo kita pacaran!"

Aku hampir menyemburkan air yang sedang kuminum. "Apa?"

"Gue masih yakin sih kalo gue terlalu keren untuk jadi pacar lo, tapi nggak ada salahnya dicoba."

"Dicoba?" ulangku bodoh.

"Iya, dicoba, Putput. Kan lo dulu pernah bilang kalo pacaran itu prinsipnya trial and error. Ya sudah, kita coba aja. Kalo berhasil, kita lanjut, kalo gagal, bubar jalan. Simpel, kan?"

Tunggu dulu, rencanaku mengajaknya pacaran itu hanya bagian dari strategi untuk membongkar kebohongannya. Aku tidak pernah ingin benar-benar pacaran dengannya. Astaga, ada begitu banyak pilihan di luar sana. Raisa tidak termasuk salah seorang di antara mereka.

"Lo yakin?" tanyaku hati-hati. "Yang kemaren menolak karena takut gue gerayangin siapa, ya?"

"Kan lo sudah menjamin nggak akan melakukan apa pun yang gue nggak pengen. Gue percaya sama lo."

"Apa yang bikin lo berubah pikiran?" Aku tidak mau terlibat hubungan dengan Raisa. Aku harus mencari jalan keluar dari perangkapku sendiri. Tidak ada Batman yang tidak bisa keluar dari jaring yang dibuatnya sendiri, kecuali dalam versi komedi.

"Gue kasihan banget sama lo sih, Putput. Anggap aja ini amal. Lo kelihatan ngebet gitu sama gue. Gue yakin hidup lo suram banget kalo gue nolak. Rayuan-rayuan lo membuktikan kalo lo nggak bisa hidup tanpa gue."

"Apa?" Daya khayal anak ini hanya beda tipis dengan Sandro.

"Kalo lo bunuh diri karena konsisten gue tolak, gue juga bakal merasa bersalah. Hantu lo bisa nguber-nguber gue."

"Tapi...."

"Gue tahu lo masih takjub dan terharu karena orang sekeren gue akhirnya mau jadi pacar lo." Raisa menepuk-nepuk punggung tanganku di atas meja. "Ya, Putput, lo nggak mimpi. Aku, kamu, jadi kita sekarang. Secara resmi, kita pacaran sekarang. Yeaayyy!"

Aku menatapnya syok.

Raisa menggandengku paksa setelah kami keluar dari lift, setengah menyeret setelah kami masuk ke dalam kantor.

"Guys!" serunya kencang. "We are –gue dan Putput—officialy dating."

Sita menatap kami dengan mulut terbuka. Sandro yang kupandang membuat tanda menggorok di leher dan menggerakkan bibir tanpa suara. You-are-a-dead-meat.

"Ini beneran?" Sita menggeleng ragu. "April sudah lewat kan, ya?"

"Gue juga ragu kita bakalan cocok sih, Sit." Raisa tersenyum dan mempererat cekalan di lenganku. "Tapi kasihan Putput kalo terkena sindrom kasih tak sampai. Seperti kata lo, gue bisa belajar mencintai Putput."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ini benar-benar di luar rencanaku. "Sa, gue...."

"Jangan gue-lo dong, Putput. Kita kan couple sekarang. Aku-kamu aja. Co cuiiittt...." Dia terkekeh sendiri.

Aku kembali menatap Sandro putus asa. Dia hanya meringis dan kembali menggerakan bibir. Game over.

Aku mendengkus. Enak saja, ini jelas belum berakhir. Aku tidak mungkin kalah sama Raisa.

Aku akhirnya berhasil mengumpulkan konsentrasi dan menyelesaikan pekerjaanku. Saat mengangkat kepala, aku melihat kubikel Raisa kosong. Syukurlah. Aku segera menyeret langkah menuju pantri.

Di depan pintu pantri yang tidak tertutup rapat, aku mendengar suara Raisa. Aku membatalkan niat berbalik saat mendengar suara tawanya yang berbeda.

"... ala, lo kayak nggak kenal gue aja, San." Sepertinya Raisa bercakap-cakap melalui telepon dengan temannya. "Gue jelas satu langkah di depan Putra. Gue tahu dia curiga sama gue. Gue emang nggak tahu seberapa banyak yang dia tahu, tapi tetap aja nyebelin. Gue pake strategi ini supaya dia berhenti mengganggu gue." Raisa diam sesaat, seperti mendengarkan. Tawanya lantas terdengar lagi. "Lo harusnya liat tampang si Putra saat gue bilang setuju jadian dengan dia. Syok beneran dia. Gue sampe kasihan lihatnya... Apa? Astaga, lo nggak perlu khawatir. Semua di bawah kendali gue. Gue akan menjadi pacar paling menyebalkan yang pernah ada di muka bumi. Gue yakin, nggak sampe dua minggu dia bakal mutusin gue. Paling sial, kalo dia benar-benar ingin bertahan dalam permainan ini, sebulan. Percaya deh."

Aku menggeleng. Kepercayaan dirinya besar sekali. Kita lihat saja nanti, yang jelas, bukan aku yang akan kalah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top