Dua

Masih tes chemistry. Kalo nggak berhasil sampai tiga part mendatang, akan kuhapuss dari peredaran dan mulai dengan yang baru. Typo masih betebaran, harap maklum.

**

"Kita makan di mana?" Sandro menepuk pundakku. Aku melirik pergelangan tangan, memang sudah jam makan siang. Beberapa hari ini pekerjaan menumpuk karena Sita, istri bos sedang bulan madu dengan si bos sendiri. Mereka terlalu bahagia untuk memikirkan timbunan pekerjaan yang mereka tinggalkan untuk kami.

"Gue ikutan dong!" Raisa ikut berdiri.

"Emang kerjaan lo udah kelar?" Sita tidak ada, jadi aku yang harus bertanggung jawab pada pekerjaan Raisa. Aku tidak tahu bagaimana Sita bisa bersabar menghadapi anak bebal tetapi punya stok percaya diri selangit ini.

"Isshh, Putput, udah kelar kok. Orang pinter kayak gue, apa sih yang nggak bisa?"

Aku mendengkus. Pintar dari Hongkong! "Coba lihat!"

"Ya, Imac-nya udah gue matiin." Raisa meringis menatapku, seolah tampang bodohnya bisa melunakkan hatiku.

"Buka aja lagi. Emang nyalain Imac sesulit bungee jumping?"

Raisa langsung cemberut. "Isshh, Putput, gitu banget deh. Sita aja nggak pernah protes sama kerjaan gue."

"Gue kan bukan Sita!" Aku tahu kalau aku memang sedikit keras padanya, tapi Raisa harus dikerasi biar fokus. Ngobrol saja sering tidak nyambung, bisa sebagus apa dia mengerjakan tugasnya? Aku yakin Sita lah yang selama ini diam-diam melakukan melakukan revisi untuknya.

"Diperiksanya bentar aja, Putput, kelar kita makan," Raisa menawar.

"Iya, bentar aja, Put," Sandro ikut menyela. "Butuh waktu juga, kan? Gue udah lapar banget."

Aku menghela napas. Betul juga. Sok rajin dan mengorbankan waktu makan siang juga tidak akan memberi bonus lebih kalau hasil pekerjaan jelek. Dan pekerjaan yang bagus, tidak bisa dihasilkan dari perut yang lapar.

"Kita makan di bawah aja, ya. Gue males keluar gedung." Aku tidak suka membawa pekerjaan di rumah. Aku lebih suka lembur di kantor daripada memelototi pekerjaan di kamarku. Rumah itu tempat untuk bersenang-senang. Main game, makan, dan terutama, tidur.

Kami kemudian terdampar di salah satu restoran di gedung perkantoran kami.

"Gue kangen Sita," celutuk Raisa tiba-tiba di sela-sela suapan.

Aku menatapnya sinis. Dia tentu saja kangen Sita yang selalu harus membereskan pekerjaannya. Sekarang dia berada di bawah pengawasanku. Dan aku tidak ingin berbaik hati padanya. Aku bertekad membuatnya mengerti bahwa ini perusahaan besar dan ternama. Tidak ada tempat untuk orang yang kepalanya berisi angin saja.

"Sayangnya Sita nggak ada waktu buat mikirin lo, Sa," jawabku ketus. "Mereka pasti sibuk ngurusin sperma dan sel telur mereka yang kejar-kejaran."

"Bisa nggak usah bahas Sita dan Pak Andra terus, kan?" sambut Sandro masam. "Bikin selera makan gue hilang aja."

Aku tertawa. "Move on, Ndro. Ada jutaan perempuan cantik di luar sana. Kalo lo berani godain Sita, bisa kena bacok Pak Andra. Seandainya Sita bisa dikantongin, gue yakin dia akan ngantongin Sita ke mana-mana."Aku menggeleng-geleng. "Laki-laki malang. Dia bisa pilih perempuan mana pun di Indonesia, eh, jatuhnya malah sama mulut comberan."

"Sita cantik, tahu!" tanggap Sandro sengit.

"Iya, Sita cantik," aku membenarkan. "Tapi tetap saja nggak secantik mantan-mantan Pak Andra."

"Sita juga baik banget." Gantian Raisa yang cemberut padaku. "Hanya dia yang rajin ngirim gue link...."

"Otong donlotan," potongku sebal. Anak ini butuh ditarik dari dunia khayal ke dunia nyata yang kejam. "Sa, ML itu nggak seperti film otong. Trik kamera dan hasil editan yang bikin adegannya terlihat sempurna. Satu sesi flm yang lo tonton itu butuh waktu panjang untuk diambil."

Raisa berdecak. "Lo bilang gitu karena otong lo kecil, Putput, jadi nggak akan bisa praktek gaya yang kayak di donlotan." Dia menepuk tanganku simpati. "Sabar ya, Putput. Mak Erot bisa nawarin jalan keluar buat lo kok." Dia lantas cekikikan sendiri. "Pacar-pacar lo minta putus karena ukuran otong lo nggak sesuai ekspektasi mereka setelah liat tampang keren lo, ya?"

Beneran minta disetrum nih anak! Kenapa juga aku harus melayaninya tadi, ya? Sandro tergelak keras.

"Ukuran gue jumbo, Sa," balasku jengkel. "Sayangnya gue nggak minat nunjukin sama lo. Nggak level."

Raisa mengangguk. "Gue ngerti, Putput. Syukurlah kalo lo tahu diri kalo nggak level sama gue. Lo kan cowok murahan. Sama siapa aja mau nurunin celana. Jelas nggak pantes lah sama gue yang cantik dan imut ini. Gue juga milih-milih lah kalo mau cari pacar." Dia mengarahkan bola matanya ke atas. "Isshh, pliss deh."

Aku menatap Raisa geram. Dasar anak kurang ajar! Sandro sampai menyemburkan air yang sedang diminumnya.

**

Aku melihat storyboard yang dibuat Raisa, berusaha mencari kelemahan untuk dijadikan alasan melampiaskan kekesalan. Tidak ada. Dia membuatnya persis seperti yang kami sepakati dalam meeting. Aku tidak tahu harus senang atau sebal.

Seharusnya aku senang, karena tidak perlu ada revisi yang sudah kukhawatirkan sejak awal. Sudah kubilang kalau dia itu bencana, kan?

Pekerjaan Raisa beres, tetapi aku tidak bisa sesenang yang kuharap. Entahlah, sesuatu di alam bawah sadarku mengharapkan dia gagal. Dia memang seharusnya gagal. Volume otaknya nol. Otaknya, saking ringannya, kalau bisa dikeluarkan, pasti akan diterbangkan angin sampai ke Bali.

"Bener gitu kan, Putput?" Raisa berkacak pinggang di dekatku. "Gue kan udah bilang nggak mungkin salah. Lo aja yang curigaan. Kayak nggak kenal gue aja. Kecerdasan gue kan di atas rata-rata. Lo itu ya, udah galak, parnoan juga. Tambah ukuran otong lo yang ala kadarnya, lo beneran nggak tertolong lagi." Dia menepuk-nepuk punggungku. "Hanya doa dari orang-orang yang beriman yang bisa nolong lo. Jangan kuatir, gue akan berdoa buat lo. Kurang beruntung apalagi coba lo bisa punya teman kayak gue."

Aku melengos, segera menjauh menuju pantri. Aku butuh kopi. Tampang masam Pak Andra jauh lebih menyenangkan daripada meladeni Raisa. Tiba-tiba aku jadi melankolis dan ikut merindukan pasangan aneh itu. Kalau Sita ada, aku tidak harus melayani Raisa yang percaya diri maksimal dengan otak yang ukurannya minimal itu.

Kesialanku hari ini belum berakhir. Raisa mengejarku di tempat parkir.

"Putput!" serunya sambil menarik tanganku. "Lo dipanggil-panggil nggak dengar."

Aku dengar, tetapi sengaja tidak menoleh. "Ada apa?" bentakku galak.

"Gue numpang lo, ya. Gue nggak bawa mobil." Raisa seperti tidak melihat wajah galakku.

"Apa?" aku nyaris berteriak.

"Gue numpang!" Raisa ikut berteriak. "Lo budek ya? Ke dokter THT aja, Putput. Bahaya lho kalo telinga lo tersumbat kotoran. Akhir-akhir ini lo sering nggak dengar kalo gue panggil."

"Gue nggak butuh dokter THT!"

"Jangan dianggap remeh, Putput. Tetangga gue, ada yang telinganya kemasukkan cotton bud. Karena dibiarin lama, telinganya meradang, gendang telinganya infeksi. Tahu nggak, dia kemudian kejang-kejang dan meninggal." Mata Raisa membesar, berusaha meyakinkan, seolah aku sebodoh itu untuk percaya.

"Nggak ada orang yang meninggal karena infeksi telinga, Sa." Aku berusaha tidak terpancing.

"Dia beneran meninggal, Putput. Dia meninggal karena tertabrak motor saat ke rumah sakit."

Ini anak beneran minta ditabok. "Nah, itu dia kecelakaan."

"Tapi kalo dia nggak infeksi telinga, dia nggak akan ke rumah sakit, kan? Dokter nggak akan nyuruh dia bolak-balik buat ngeluarin serumen di telinganya."

Itu lelucon paling garing yang pernah kudengar seumur hidup. Namun apa yang bisa diharapkan dari Raisa? Otaknya kejauhan untuk lelucon yang butuh kecerdasan. Aku malas melanjutkan. "Lo mau numpang sampai mana?"

"Turunin gue di GI aja."

"Apa?" suaraku naik lagi. Aku tidak mengarah ke GI. "Sori, gue nggak bisa ngasih tumpangan, Sa. Rumah gue berlawanan arah."

"Nggak apa, Put. Lo bisa nganterin gue ke GI dulu sebelum pulang."

"Nganterin dan numpang itu beda, Sa!" aku tidak tahan, dan akhirnya membentak. "Sori, gue nggak bisa. Buru-buru. Lo naik taksi aja deh." Aku segera meninggalkan gadis itu. Aku bisa menua dini kalau terus berada di dekatnya.

Jahat sih, tapi aku juga tidak mau wajahku penuh kerutan karena menghadapi dia. Tampang kerenku bisa ternoda. Kesempatanku menarik perhatian calon istri kelak bisa hilang. Amit-amit.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top