Delapan

Aku nggak bilang akan slow update, karena akan kuusahakan tetap update kalau kulihat antusias pembaca bagus dari voment yang masuk. Sekarang aku sedang merapikan salah satu naskah di lapak ini yang baru saja dilamar penerbit. Hehehe... sebelum salah sangka, naskah itu bukan Miss Mesum. Nanti aja kukasih tahu, ya. Selamat membaca. Abaikan typo, ya, belum disunting mendalam.

**

Semakin kupikirkan, teori Sandro tentang Raisa yang anggota BIN itu terasa semakin mustahil. Berlebihan. Jadi kira-kira apa yang membuat Raisa membodohi kami? Seharusnya ada penjelasan masuk akal. Sayangnya aku tidak bisa memikirkan alasannya.

Aku mencoba mengingat-ingat awal Raisa masuk. Kelemotan dan narsisnya tidak separah sekarang, tetapi itu wajar karena interaksi kami dulu tidak terlalu intens. Beberapa bulan terakhir tingkat lemot dan PD-nya meningkat drastis. Bertemu Sita yang mulutnya bebas hambatan, Raisa sukses menjelma menjadi orang paling menyebalkan yang hidup di planet bumi.

"Gue benar-benar yakin dia agen rahasia!" Sandro berkeras saat aku mengungkapkan ketidakpercayaanku. Kami kasak-kusuk berdua sambil menunggu Raisa yang sedang ke toilet, sebelum turun untuk makan siang.

"Lo kebanyakan nonton film, Ndro. Ini dunia nyata, bukan layar lebar."

"Gue yakin." Sandro bergerak menuju kubikel Raisa. "Just watch me."

"Eh, lo mau ngapain?" tanyaku waswas saat melihat Sandro sudah bergerilya di tas Raisa.

"Emang kelihatannya gue ngapain?" cemooh Sandro. "Ya, gue mau cari bukti lah. Gue nggak mau mati penasaran."

Aku menggeleng tidak setuju. "Man, itu pelanggaran privasi."

"Lo cukup ngawasin Raisa supaya nggak nangkap kita." Sandro terlihat sangat bertekad. Laranganku pasti sia-sia saja.

"Ndro...." Aku terus mengawasi pintu masuk. Sandro sialan, dia berhasil menjadikan aku kaki-tangannya. "Kita nggak berhak melakukan ini."

"Setelah gue pikir-pikir, Put, mati ditembak masih lebih keren daripada mati penasaran. Hantu gue bisa lebih ganas daripada gadis yang mati perawan."

"Tapi tetap saja...."

"Gue bilang apa!" nada Sandro naik drastis. "Cepetan sini, Putra!" Suara Sandro berubah menjadi desisan tertahan.

"Ada apa?" dia pasti menemukan sesuatu di dalam tas Raisa. Sesuatu yang luar biasa sehingga dia melongo dengan ekspresi menakutkan. "Lo nemu pembalut bekas? Raisa sejorok itu?"

"Cepetan, Putra!" Sandro tidak menanggapi gurauanku. "Sebelum si Raisa balik!"

Aku berjalan memutar menuju kubikel Raisa. "Apaan sih?"

"Lihat sendiri!" Sandro membuka lebar-lebar tas Raisa. "Lo pake acara nggak percaya segala sih. Penilaian gue jarang salah."

Aku tidak ingin membantah Sandro sekarang, meskipun tahu pasti dia bukan pengamat yang baik. Aku melotot melihat isi tas Raisa. Astaga! Ya, Tuhan!

"Itu pistol beneran?" tanyaku bodoh.

"Yang jelas ini bukan pistol air, Putra. Minggu lalu gue beli pistol air buat ponakan gue, dan mereka masih menjual pistol air yang warna-warni dan terbuat dari plastik." Sandro meraih beberapa lembar tisu dari kubikel Sita yang sudah kosong ditinggal pemiliknya.

"Eits... lo mau ngapain lagi?" tanyaku panik.

Sandro menatapku sejenak. "Gue mau coba pegang, tapi nggak boleh meninggalkan sidik jari, kan?"

"Lupakan!" Aku setengah membentak. "Bentar lagi Raisa pasti balik. Sekarang saja sidik jari lo sudah ada di mana-mana di tas itu!"

"Astaga!" Sandro buru-buru melepas tas Raisa.

Kami segera meninggalkan kubikel Raisa dan memilih menyingkir ke kubikel Sandro yang terpisah dari kubikelku dan Raisa.

"Gue masih belum yakin," kataku dengan suara rendah. "Dia nggak mungkin agen rahasia. Itu berlebihan banget."

"Lo mau nunggu sampe kepala lo dibikin bolong baru percaya? Telat, Putra. Kalo udah jadi mayat, lo nggak akan sempat nyesal karena nggak percaya."

"Maksud gue, Ndro, apa yang harus diintainya di agensi iklan? Kalo dia benar-benar agen, bukannya lebih masuk akal ditanam di daerah konflik? Atau di manalah, yang penting bukan di kantor kita."

"Kali dia butuh identitas dalam penyamarannya, Putra. Siapa yang tahu, kan? Memangnya ada yang tahu standar operasional agen rahasia menjalani hidup untuk menutup identitasnya?"

Argumen Sandro terdengar meyakinkan, tetapi entahlah, aku belum sepenuhnya percaya. Pistol itu memang terlihat nyata, hanya saja, setelah terbiasa dengan ekspresi bodoh Raisa –meskipun hanya kamuflase—tetap saja terasa berlebihan. Pasti ada alasan lain dia memutuskan berpura-pura. Alasan yang tidak sekonyol menjadi agen rahasia.

Aku tidak membantah Sandro setelah melihat raisa muncul. Dia bergegas menuju kubikelnya.

"Guys, shall we?" ajaknya dengan tampang sebodoh biasa.

Aku dan Sandro saling melirik.

"Ayo!" Sandro lebih dulu menjawab. "Lo mau makan apa, Sa?" tanyanya manis.

Aku menggeleng, menarik napas panjang. Ya Tuhan!

"Gue ikut aja. Putput, lo mau soto ayam lagi?"

Sejujurnya, aku tidak terlalu lapar sekarang. "Gue ikut lo deh, Sa." Aku merasa sama menyedihkannya dengan Sandro.

Raisa berbalik menghadap padaku sambil menunggu lift. "Lo sehat, Putput?" tangannya bergerak menuju dahiku. "Biasanya kan lo yang ngotot harus makan di restoran yang lo mau."

Aku buru-buru menghindar. "Gue nggak apa-apa," sambutku masam.

"Iisshh... lo kok lemes banget. Ayam peliharaan Om gue minggu lalu mati karena kebanyakan bengong, lho."

Aku memutar bola mata. "Ayamnya mati tertabrak karena menyeberang jalan sendiri saat dibawa ke dokter hewan?" Aku mengabaikan gelengan Sandro yang memberi isyarat menutup mulut.

"Mati karena flu burung atau tetelo, Sa?" Sandro memperbaiki kalimat sarkasku, masih dengan nada lunak.

"Belum diperiksa sih, Ndro. Udah keburu ditembak."

"Ditembak?" Sandro nyaris berteriak.

Raisa mengangguk. "Iya, ditembak saja untuk mengakhiri penderitaan ayamnya. Kasian kan kalo sakit lama-lama. Gimana kalo beneran tertular flu burung?" Mata Raisa membelalak. Kalau itu benar akting, aku harus mengakui dia mahir melakukannya. "Bisa menulari orang, kan?"

"Siapa yang nembak?" tanya Sandro lagi.

Sekarang Raisa yang memutar bola mata. "Menurut lo?"

"Lo yang nembak?" Sandro sekarang terlihat seperti nenek-nenek panik.

Raisa terkekeh. "Iiisshh, Sandro, nggak mungkin lah gue yang nembak. Gue yang manis imut gini mana pantas berurusan dengan pistol. Pliss deh."

Aku dan Sandro kembali saling berpandangan. Oh ya, lalu kenapa dia membawa-bawa pistol di tasnya kalau tidak pantas berurusan dengan senjata api?

"Jadi siapa yang nembak?"

"Ya, Om gue dong, Ndro. Dia kan yang punya ayam. Dia yang berhak mengakhiri nyawa ayamnya."

"Kenapa harus ditembak?" tanya Sandro bandel. "Kenapa nggak disembelih saja?"

"Biar nggak menderita, Ndro. Sekali di-dor kan langsung koit. Disembelih malah nggak berperikebinatangan. Ayamnya harus kelenjotan meregang nyawa dulu, kan? Isshh, kalian gimana sih, bego banget! Gitu aja nggak tahu."

"Kalo disembelih kan masih bisa dimakan, Sa," Sandro ngeles.

"Ya, ayam itu kesayangan Om gue, Ndro. Dipelihara sejak dia masih dalam telur. Nggak mungkin dimakan, dong." Raisa cengengesan menatapku. "Harusnya gue ambil buat lo ya, Putput. Bisa lo jadiin soto ayam, kan?"

Aku melotot. Dasar perempuan gila! Siapa juga yang mau makan soto dari bangkai ayam?

**

Aku tidak berkonsentrasi kerja setelah kembali dari makan siang. Kurasa Sandro juga sama. Pandangan kami beberapa kali bertemu saat tak sengaja saling menatap. Sebut saja paranoid, atau apalah, tapi menyadari bekerja dengan seseorang yang membawa-bawa pistol di dalam tasnya sama sekali tidak menyenangkan.

Raisa? Dia terlihat seriang dan sebodoh biasa. Berbalas kalimat konyol dan norak dengan Sita.

"Gue belum sempat kursus masak sih," kata Sita pada Raisa. Aku tidak bermaksud menguping, tapi fokusku yang tercecer membuatku tidak bisa melanjutkan pekerjaan. "Jadi selain mi instan, laki gue sih yang masak. Dia lumayan jago. Ada gunanya juga dia kuliah di luar. Hitung-hitung latihan jadi koki buat istri."

"Jadi Pak Andra lebih hebat di dapur atau di ranjang?" tanya Raisa semangat.

Aku menggeleng-geleng. Jadi perempuan juga membicarakan hal seperti itu?

"Laki gue tipe yang too good to be true, Sa," kata Sita sombong. "Mulut atas dan mulut bawah gue sama-sama terpuaskan."

Aku tidak tahu Pak Andra beruntung atau malah sial mendapatkan istri seperti Sita. Keluarganya juga pasti sangat toleran, karena ibuku bisa terkena serangan jantung kalau kubawakan perempuan seperti Sita di rumah.

"Asyik dong, big O-nya double terus. Atas bawah."

"Nggak usah ditanya, Sa. Makanya, buruan cari pacar. Nikah beneran enak."

"Gimana nggak enak, otong dan berliannya gede. Ntar deh, gue akan nikah kalo sudah nemu yang punya otong dan berlian gede."

"Emang lo berani ngecek otong laki-laki yang ntar jadi calon pacar lo kalo udah ketemu?" Aku tidak tahan, dan akhirnya menyela.

"Isshh, berani dong, Putput, nurunin celana nggak mungkin sulit, kan? Gue yakin, siapa pun dia, pasti nggak akan keberatan nurunin celana sendiri saat gue mau inspeksi." Raisa tertawa diikuti Sita.

Aku yang bodoh ikut dalam obrolan mereka. Aku menoleh pada Sandro yang berdeham keras. Dia menggeleng kuat-kuat sambil membuat gerakan menembak di kepala. Aku memutuskan diam. Meskipun masih ragu dengan identitas Raisa, bayangan pistol itu bikin nyali ciut juga.

"Guys, tungguin, dong!" teriak Raisa saat aku dan Sandro sudah berada di dalam lift. Sandro menahan lift untuknya. Jam kantor sudah selesai, kami hendak turun ke tempat parkir. "Kok nggak nungguin gue sih?"

"Kita kira lo sudah duluan, Sa," jawab Sandro. Itu bohong. Kami tahu Raisa ke toilet dan memang sengaja meninggalkannya.

"Oohh.... Kunci gue mana, ya? " Raisa menunduk dan mengaduk tasnya. Aku dan Sandro berpandangan panik saat Raisa sudah mengeluarkan pistol dan menggenggamnya erat. "Lihat, deh!" Dia menodongkan pistol itu pada Sandro.

Sandro serentak mengangkat tangan tinggi-tinggi, wajahnya memucat. "Wo...wo...wo... sabar, Sa," bujuknya ketakutan. "Gimanapun, gue kan teman lo juga. Kalo lo pikir-pikir lagi, gue jauh lebih mendingan daripada Putra yang selalu nyolot sama lo. Jadi kalo lo iseng pengin bunuh orang, lo mendingan cabut nyawa Putra duluan deh."

"Apa?" Aku nyaris berteriak. Sandro keterlaluan sekali hendak menukar nyawanya denganku. Teman macam apa dia?

"Sa, lo nggak bisa bunuh gue di sini. Ini dalam lift, ada CCTV-nya," lanjut Sandro lagi.

Raisa tertawa keras. "Ya ampun, lo beneran takut ya, Ndro? Harusnya lo lihat muka lo di cermin, deh. Pistolnya beneran kayak asli, ya?" Dia mengulurkan pistol itu padaku. "Gue beli online. Baru datang kemarin. Bagus untuk nakut-nakutin orang yang bermaksud jahat, kan? Gue sekarang bawa ini dan semprotan merica dalam tas. Buat jaga-jaga."

Aku meraih pistol itu. "Ini palsu?" Sial, tungkaiku tadi sudah lemas saja.

"Iisshh, Putput, tentu saja palsu. Nggak mungkin dong gue bawa-bawa pistol asli. Emangnya gue agen rahasia, apa? Mikir dong!"

Raisa benar-benar beruntung jadi perempuan, karena kalau dia laki-laki, aku akan mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya dengan senang hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top