Bab 2 | Lando
Kedekatan kita memang seperti tangan yang saling menggenggam, tetapi kala menyangkut perasaanmu, kita seperti tangan yang tak pernah saling menyentuh.
~ Diana ~
Hanya satu kalimat sederhana dan itu mampu membuat Diana menangis tersedu. Apa jadinya ia tanpa Lando? Lelaki itu segalanya baginya. Lando merupakan sahabat sekaligus orang yang sangat ia cintai.
Senyum hangat tergambar jelas kala pintu besar berwarna putih itu terbuka dengan perlahan. Rumah ini adalah satu dari sekian banyak hal yang Lando rindukan. Pemuda dengan rambut sedikit keriting itu melangkah masuk kemudian mengedarkan pandangan dengan jantung yang sedikit berdebar.
Rumah dengan langit-langit putih itu saat ini terlihat begitu luas dan sepi. Ruang makan dengan meja panjang yang dulu merupakan tempat berbagi cerita, kini berubah menjadi ruang hampa. Lando berjalan dengan perlahan kemudian menghela napas kala melihat ruang keluarga. Ini adalah salah satu tempat favoritnya. Dulu, pemuda itu sering bermain game di sini bersama ayahnya. Sedangkan sang ibu, menyemangati sambil terus bersorak.
"Papah udah pulang, Bi?"
"Belum, Den."
Lando menghela napas. Ia melirik jam dinding tak jauh dari tempatnya berdiri. Pukul 10 malam. Pemuda itu tersenyum miris, menyadari kebodohannya.
"Apa, sih, yang gue harepin?"
Pemuda itu menyisir rambutnya ke belakang lalu berjalan ke arah kamarnya di lantai dua.
"Den, makan malam dulu, ya? Biar bibi siapin."
Teriakan dari wanita berusia sekitar 50 tahunan itu terdengar dengan jelas hingga kamarnya, mengingatkan Lando pada sang ibu. Dulu, ibunya selalu memarahi pemuda itu jika ia terlambat pulang ke rumah. Sekarang yang tersisa hanyalah butiran kenangan yang berceceran.
"Enggak usah, Bi. Aku enggak lama, kok!"
Lando segera membersihkan diri dan mengganti baju dengan kaus berwarna merah polos. Ia mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke tas untuk tiga hari ke depan. Pemuda itu malas jika harus berada di rumah ini lebih lama. Lagipula, saat ini ada orang yang membutuhkannya lebih dari siapa pun.
Pemuda itu menarik kedua sudut bibir lalu mencangklongkan tasnya. Ia segera melangkah keluar kamar dengan wajah semringah. Baru dua jam yang lalu ia bertemu dengan gadis itu, tetapi Lando sudah merindukannya. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku jaket.
"Lando! Mau ke mana lagi kamu?"
Tubuh Lando seketika menegang. Suara itu .... Ia bahkan lupa, kapan terakhir kali ia mendengar suara baritone itu. Pemuda itu menoleh. Ia meremas ponsel digenggaman kala Lando melihat wajah sang ayah yang terasa jauh lebih tua dari sebelumnya.
"Aku rasa itu bukan urusan Papah."
Dengan langkah berat, sang pemuda kembali berjalan melewati ayahnya.
"Di mana rasa hormat kamu?"
Burhan menghela napas kasar kemudian duduk di sudut sofa. Ia melonggarkan dasi yang sejak tadi masih terikat.
"Kalau kamu kaya gini terus, mau jadi apa kamu nanti?"
Lando menyeringai pelan, pandangannya lurus ke arah pintu. "Sejak kapan Papah peduli sama aku?"
Burhan segera berdiri dengan rahang mengeras kemudian membalikkan tubuhnya ke arah Lando.
"Orang tua mana yang enggak peduli sama anaknya?" Burhan menghela napas. "Kamu liat anaknya Om Danu. Dia kuliah buat nerusin bisnis ayahnya. Sedangkan kamu? Papah cape kalau kamu kaya gini terus. Tolong, sedikit aja bersikap dewasa."
Lando menoleh, menatap Burhan dengan pandangan datar. Kernyih tergambar jelas di wajah pemuda itu.
"Kenapa enggak adopsi aja anaknya Om Danu buat bantuin Papah di kantor? Pengen banget, kan, punya anak kaya gitu?"
Rahang pemuda itu mengeras seiring dengan remasan tangannya yang semakin menguat.
"Enggak perlu Papah ngajarin aku gimana caranya bersikap dewasa. Selama ini aku berjuang sendirian, tanpa kehadiran Papah di samping aku. Kalau Papah enggak ada pun, aku enggak peduli."
Burhan mengangkat tangan kanannya. Darah lelaki itu terasa mendidih kala mendengar perkataan anaknya yang begitu menyakitkan hati. Namun, wajah sang istri tiba-tiba terlintas dalam memori membuatnya segera menyesali bisikan iblis yang baru saja merasuki. Burhan menghela napas lalu menurunkan tangannya dengan perlahan.
"Jaga ucapan kamu! Makin hari kamu makin enggak sopan sama papah. Semua ini gara-gara Diana dan temen-temen kamu itu. Sejak pertama kali papah ketemu Diana, papah udah enggak suka sama dia. Dia itu cuma bawa pengaruh buruk buat kamu!"
Lando menatap tajam ke arah Burhan dengan pandangan menusuk. Udara di sekitarnya terasa semakin berkurang. Jantungnya bergemuruh dengan dada yang naik turun.
"Enggak usah bawa-bawa Diana, Pah! Dia enggak salah apa-apa. Dan asal Papah tahu, Diana dan temen-temen aku itulah yang selalu ada buat aku, bahkan di saat mamah meninggal!"
Hati Lando terasa teriris kala ia harus kembali mengingat kenangan pahit itu. Pandangan matanya perlahan mulai mengabur.
"Papah ke mana? Papah bahkan enggak ada saat mamah dikuburkan!"
Rahang Lando semakin mengeras saat ia menangkap kesedihan dari wajah Burhan. Pemuda itu berjalan dengan langkah tergopoh ke arah pintu, meninggalkan ayahnya yang hanya bisa terdiam kaku.
*****
Pemuda itu menarik napas lalu mengembuskannya pelan. Ia membuka pintu, menghadirkan senyum di wajahnya kemudian melangkah masuk. Netra hitam Lando menangkap sosok seorang gadis sedang duduk menyilangkan kaki sambil meletakkan sebuah toples di atas pahanya. Suasana di basecamp malam ini cukup sepi, hanya terdengar suara dari TV yang menyala di ruang tengah.
"De, coba tebak gue bawa apa?"
Lando berbisik tepat di telinga Diana hingga gadis itu terlonjak ke samping.
"Ih, kampret! Ngagetin gue aja. Apaan, sih?" Sang gadis langsung menatap Lando dengan tajam kala camilan yang berada di atas pahanya berhamburan keluar, mengotori baju dan celananya.
Senyum Lando kembali terbit. Tangan pemuda itu mengacak rambut Diana lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa, tepat di samping sang sahabat.
"Enggak usah marah-marah. Makin jelek ntar. Nih, gue bawa makanan buat lo."
Diana menoleh ke arah Lando dengan mata yang berbinar. Ia menyambar bungkusan yang sejak tadi dipegang oleh pemuda itu dan langsung mengintip apa yang ada di dalamnya.
"Anjir! Kalau makanan aja gercep banget. Dasar perut karet!"
"Berisik!" Diana langsung meluncur ke arah dapur lalu kembali dengan membawa satu buah piring.
"Nasi goreng pojokan emang the best! Lo tahu banget kesukaan gue. Makasih, ya," ucap Diana dengan mulut yang sedikit penuh.
Lando menarik kedua sudut bibirnya dan menatap Diana dengan pandangan hangat. Selama ada gadis itu di sampingnya, semua akan baik-baik saja.
"Kalau makan nasi goreng ini, gue jadi keinget nasi goreng nyokap lo. Jadi kangen."
Lando tertegun melihat seulas senyum dari sahabatnya. Ucapan Diana barusan seakan menghantam tubuh pemuda itu hingga ke tanah. Ia sedang berusaha melupakan semuanya, melepaskan beban di hati. Namun, akhirnya Lando menyadari satu hal. Sampai kapan pun ia memang tak akan pernah bisa menghindari itu semua.
Diana terlonjak kala ia menyadari perubahan wajah pemuda di sampingnya. "Eh, gue enggak maksud buat—"
"It's oke." Lando menatap Diana hangat lalu kembali menatap lantai yang dingin. "Gue juga kangen banget sama nyokap. Baru setahun dia ninggalin gue, tapi rasanya kaya udah lama banget."
Lando menyatukan jemarinya, mencoba mengontrol perasaan kalut yang tiba-tiba ingin dikeluarkan. "Kalau dia masih ada di sini, semua pasti bakal kerasa lebih mudah."
Diana terdiam sesaat. Ia bisa merasakan kesedihan sahabatnya dengan jelas. Gadis itu mengulurkan tangan, menyentuh jemari Lando lantas meremasnya pelan.
"Lo tahu, apa rintangan terbesar saat kita ingin meraih cita-cita?" Lando menoleh sesaat lalu tersenyum tipis saat Diana menggeleng pelan. "Keluarga."
Diana tersenyum miris tatkala ia menangkap satu bulir bening yang sempat jatuh dari sudut mata sang sahabat. Gadis itu mengulurkan tangan dengan perlahan, menarik Lando ke dalam dekapan. Ia mengelus pelan punggung lebar milik pemuda itu.
"Kita harus bisa buktiin, dengan profesi ini, kita juga bisa berdiri dengan kaki kita sendiri." Diana melepaskan pelukannya sesaat kemudian menatap Lando dengan pandangan merendahkan. "Ga usah nangis! Masa cowok nangis? Lebay lo!"
Lando mendengkus mendengar cibiran yang tiba-tiba saja keluar dari mulut gadis itu. "Cowok juga bisa melow kali."
Diana terkekeh mendengar ucapan sang sahabat. Kedekatan mereka seperti tangan yang saling menggenggam, tetapi kala menyangkut perasaan sang sahabat, mereka seperti tangan yang tak pernah saling menyentuh.
"Nih, loe juga makan! Liat badan loe makin kerempeng, udah kaya tiang listrik." Diana menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut Lando dengan cepat.
Lando langsung menutup mulutnya dan mendelik ke arah Diana. "Anjir, itu sendoknya kena gigi. Sakit, gila!"
Gelak Diana terdengar mengalahkan suara iklan TV pria bertubuh kekar dengan penuh keringat. "Sorry, babe. Enggak sengaja."
"Jijik, De!" Tubuh Lando bergidik saat Diana memanggilnya dengan sebutan Babe.
Diana kembali tergelak hingga sofa tempatnya duduk sedikit bersuara. Ia memeluk tubuh Lando dari samping karena gemas. "Jangan gitu dong, Babe. Kalau kamu kaya gini, kan, aku makin cinta."
"Anjir, De! Loe lagi kerasukan hantu, ya? Gue mau ke kamar aja." Lando melepaskan pelukan Diana dengan cepat lalu melangkah ke kamarnya.
Tawa Diana belum juga berhenti hingga matanya tak lagi melihat bayangan Lando. Ia tersenyum tipis, kembali memakan nasi gorengnya sambil melihat acara TV. "Kalau loe tahu gimana perasaan gue yang sebenernya, apa loe bakal ngejauhin gue juga, El?"
Finally, akhirnya update lagi cerita ini. 😭
Terakhir update tgl 07 april dan baru up lagi sekarang. Ya ampun, maafkan aku Diana dan Lando. Aku mengabaikan kalian. 😢
Semoga bisa terus menceritakan perjuangan kalian hingga selesai. Luv you 😘
Terima kasih yang selalu menunggu cerita ini berlanjut. Salam hangat dariku, Rifa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top