Bab 1 | Diana
~ Aku yakin kamu adalah patch yang dikirim Tuhan untuk menyempurnakan bug sepertiku. ~
"SAVAGE!" (Membunuh lima hero sekaligus)
Semua orang di ruangan tersebut bersorak dengan kencang. Para pendukung kedua tim langsung bertepuk tangan dengan bangga karena mereka bisa menyaksikan pertandingan final yang begitu mengagumkan.
"Itulah savage kedua di pertandingan kali ini sekaligus menjadi penutup yang indah dari tim Leon. Tim Hirarki sama sekali tidak bisa berkutik dengan cara bermain Leon yang begitu agresif. Selamat untuk tim Leon! Kalian juara MLBB tahun ini!" (Mobile Legend Bang Bang)
Gadis itu melepaskan headphone yang sejak tadi digunakan. Ia tersenyum lalu memberikan tos ke semua rekan satu timnya.
"Kampret! Dua kali savage, De." Lando menghampiri Diana, lalu melingkarkan tangannya ke leher cewek itu. Ia mengacak rambut Diana hingga gadis itu menatap horor ke arah Lando.
"Sakit, El!" Diana langsung merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan. "Tadi keren, ya?" Diana menarik kedua sudut bibirnya, ada kebanggaan yang tergambar jelas di wajah gadis asal Jakarta itu.
"Kapan ya, gue bisa ngalahin lo? Masa udah lima tahun kita bareng-bareng, enggak pernah sekali pun gue menang lawan lo." Lando menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Masa gue jadi tank lo terus, sih? Kesel gue!"
Diana terkekeh-kekeh. "Lah, gue enggak pernah nyuruh lo jagain gue di setiap pertandingan, El. Lo aja yang terus ngintilin gue ke mana-mana. Sekali-kali coba pakai assasin atau marksman. Jangan tank mulu yang dipake!" Diana menyenggol lengan Lando lalu menyeringai sinis.
"Lah, gue bisanya itu. Gimana, dong?" Lando mengangkat kedua bahunya, tak peduli dengan Diana yang terus saja mengoloknya.
Diana berdengus. "Udahlah ... kita bisa menang juga itu karena kerja sama semuanya. Kalian semua keren!" Diana mengacungkan kedua jempolnya lalu tersenyum. Namun, seketika senyumnya hilang saat ia mengingat bahwa di hatinya masih ada sesuatu yang mengganjal.
"Lo, kenapa? Ada sesuatu yang dipikirin?" Lando menyentuh lengan Diana. Gadis itu menoleh, menatapnya sendu.
"Kalau gue cerita ke bokap soal berhenti kuliah, menurut lo gimana?"
Lando terdiam. Suasana di sini cukup ramai, banyak orang yang menyalami mereka dan mengucapkan selamat atas kemenangan tim ini. "Ikut gue." Lando menarik tangan Diana dan melangkah keluar dari ruangan tersebut. Setelah memastikan keadaan cukup hening, lelaki itu membalikkan badan. "Lo yakin mau berhenti kuliah?"
Diana mengangguk penuh dengan keyakinan. Meski ada sebersit kesedihan di hatinya, gadis itu langsung menepisnya jauh-jauh.
Lando menghela napas. Ia tersenyum hangat lalu mengusap rambut Diana dengan lembut. "Gue dukung apa pun yang lo pilih, De. Gue cuma pengen ngeliat lo bahagia."
"Thanks." Diana tersenyum lembut. Ia beruntung memiliki seseorang seperti Lando dalam hidupnya.
****
"Diana Elvaretta!" Suara bass itu menggelegar hingga ke seluruh ruangan. Satu tamparan mendarat tepat di pipi kanan Diana. Rahang lelaki itu mengeras, matanya menatap dengan penuh amarah. Meski begitu, ada rasa bersalah yang muncul di hatinya kala ia tidak sengaja menampar wajah Diana.
Diana menyentuh pipinya perlahan. Rasa panas dari wajah menjalar melalui mata hingga ke jantungnya. Air mata langsung menggenang di sudut netra. Hati gadis itu terasa begitu sakit. Ini kali pertama, Galih-ayah kandungnya-menampar dirinya. Begitu burukkah ia di mata ayahnya?
"Berani sekali kamu mengatakan itu! Berhenti kuliah? Jangan bercanda, Diana!" Galih mengembuskan napas kasar. "Hobi yang kamu lakukan itu sampah!"
Teriakan itu kembali terdengar begitu menyayat hati Diana. Hampir lima tahun ia mencoba membuktikan kepada Galih bahwa ini bukan hanya sekadar hobi semata, tetapi ini adalah hidupnya. Namun, tidak pernah sekali pun Galih mau mengerti. "Sampah yang Papah bilang itu, udah buat aku menjadi Diana yang sekarang, Pah." Diana tersenyum lirih. Ia mengeratkan tangan kirinya, mencoba untuk tegar. Ia tidak boleh lemah atau pun menangis di depan ayahnya.
"Menjadi dokter itu impian Papah ... bukan aku." Diana menggigit bibir bawahnya. Rasa yang begitu menyesakkan dada ini terasa semakin jelas. "Selama tiga tahun ini aku bertahan kuliah demi Papah, demi membahagiakan Papah, tapi kekuatanku hanya sebatas ini, Pah.
"Lima tahun aku bareng tim Leon. Susah senang kita lewati bersama sampe sekarang. Kalau Papah bilang itu sampah, silakan. Tapi keputusan aku udah bulat. Aku mau berhenti kuliah. Aku ingin menjadi pemain game professional." Diana tersenyum tipis. Ia mencoba mencari sedikit saja belas kasih dari mata Galih, tetapi yang ia dapatkan hanyalah kekecewaan.
"Kamu bikin papah malu! Kamu enggak mikir, berapa banyak uang yang udah papah keluarkan demi menguliahkan kamu? Sekarang balesan kamu kaya gini ke papah. Hebat sekali kamu!" Galih menyeringai sinis. Ia menghela napas dalam, ingin sekali ia melampiaskan rasa yang bergejolak di dalam dadanya.
"Kalau itu soal uang, aku akan ganti, Pah." Diana membalikkan badan. Dengan kekuatan yang masih tersisa, ia mencoba melangkah dari kubangan lumpur yang terus membuatnya tenggelam dalam kesedihan.
"Diana! Kalau kamu masih gabung dengan tim sampah itu, lebih baik kamu angkat kaki dari rumah ini!"
"Papah!" Akhirnya Kirana mengeluarkan suaranya. Ia menyentuh lengan Galih, mencoba untuk meredakan suasana panas yang terjadi saat ini.
Langkah Diana terhenti. Kakinya seakan terpaku di lantai, tidak bisa bergerak sama sekali. Bulir air mata berhasil lolos dari sudut netranya. Satu ultimatum kembali Galih keluarkan untuk dirinya. Sudah berapa banyak ultimatum yang ia dengar dari ayahnya? Ia bahkan lupa untuk menghitungnya karena begitu banyak peringatan yang diberikan oleh Galih. "Kalau begitu, sebaiknya aku keluar dari rumah ini." Diana kembali melangkah ke kamarnya.
"Papah belum selesai ngomong, Diana! Liat, Kirana! Ini semua karena kamu yang terlalu memanjakan dia!"
Itulah ucapan terakhir yang Diana dengar sebelum gadis itu menutup pintu kamar dengan rapat. Ia menghapus kasar air matanya lalu melangkah menuju lemari baju. Ia memasukkan satu per satu pakaiannya ke dalam koper berukuran sedang. Rasanya begitu berat harus meninggalkan rumah yang telah menemaninya selama 21 tahun ini.
Diana menarik napas dalam. "Ya Tuhan ... kenapa rasanya begitu sakit?" Diana menutup mata. Rasa sesak yang menghimpit dadanya membuat gadis itu kesulitan untuk bernapas. Ia menempelkan punggung tangannya ke mulut. Gadis itu menangis tersedu. Hanya keheningan yang menjadi saksi bisu bahwa ada gadis yang begitu terluka karena perlakuan dari ayahnya.
Hampir satu jam Diana membereskan pakaian. Ia menarik kedua sudut bibir setipis mungkin. Gadis itu mengedarkan pandangan ke kamar kesayangannya. Jemari tangan Diana menyusuri jejak-jejak kenangan yang terlintas di memori. Ia menyentuh PC yang selalu setia dijadikan korban ketika ia merasa jenuh atau pun marah, sudut kamar tempat ia membaca, dan tempat tidur yang selalu menemaninya setiap malam. Ah, ia akan merindukan suasana kamar ini.
Air mata Diana kembali menggenang. Ia menggeleng kasar kemudian menarik napas dalam. "Semangat!" Diana mengepalkan tangan lalu perlahan mulai menarik kopernya ke luar kamar.
"De, mau ke mana? Seriusan lo mau pergi?" Reno mencoba menahan tangan adiknya sesaat setelah Diana menutup pintu kamarnya. Ia tidak ingin keluarga ini terpecah. Sebagai anak tertua, ia harus bisa menyelesaikan permasalahan ini.
"Seriuslah! Gue enggak pernah bercanda kalau tentang Leon." Diana menyentuh bahu Reno, kakak sekaligus manajer dari tim Leon. "Lo tahu ke mana harus cari gue. Jagain papah sama mamah ya, Kak?" Diana kembali menarik kopernya. Ia melangkah menuruni tangga, melewati ruang keluarga yang sempat menjadi saksi pertengkarannya dengan sang ayah.
"Diana!"
Diana menoleh. Ia tersenyum tipis kala melihat Kirana yang berdiri tidak jauh darinya dengan mata yang memerah.
"Jangan pergi, Sayang. Papah kamu pasti cuma bercanda." Kirana berlari ke arah Diana kemudian memeluk anak gadisnya dengan erat. "Kamu enggak perlu denger omongan papah, ya?"
Suara Kirana terdengar begitu lirih dan menyakitkan. "Aku kenal papah, Mah." Diana melepaskan pelukan Kirana lalu mengusap wajah ibunya dengan lembut. "Mamah baik-baik ya, di sini. Mamah juga pasti tahu aku tinggal di mana. Aku sayang Mamah." Diana memeluk Kirana erat sebelum gadis itu benar-benar melangkah ke luar.
"Diana! Jangan pergi!"
"Biarkan dia, Kirana! Biar anak tidak tahu diri itu tahu, bagaimana seharusnya bersikap."
Itulah ucapan terakhir yang Diana dengar dari ayahnya. Tidak ada kata perpisahan atau air mata dari Galih. Sepertinya, keputusan untuk berhenti kuliah dan keluar dari rumah orang tuanya ini adalah keputusan yang tepat.
Diana masuk ke mobil lalu perlahan mulai menjalankannya. Satu-satunya tempat yang bisa ia tuju hanyalah rumah itu, tempat Leon berkumpul. Rumah yang cukup besar dan hangat untuk ia tempati saat ini. Tak butuh waktu lama hingga ia sampai di rumah yang memiliki dua lantai.
Gadis itu membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati dengan tinggi kurang lebih dua meter. Ia menarik kopernya kemudian mengedarkan pandangan. Pukul dua siang memang rumah ini selalu sepi. Teman-temannya yang lain biasanya sedang bekerja atau pun kuliah. Tidak seperti dirinya yang pengangguran.
Baru saja Diana ingin melangkah ke arah tangga, suara seseorang yang tersedak terdengar begitu jelas dari arah dapur. Gadis itu memutar badannya. Ia melihat Lando sedang menepuk-nepuk dadanya dengan keras. "Kenapa lo?"
Lando berdeham pelan lalu segera meneguk air putih. Ia menghela napas. "Gue kaget ngeliat lo bawa-bawa koper. Kenapa? Diusir sama bokap, ya?" Lando terkekeh-kekeh. Namun, tawanya seketika terhenti kala ia menyadari ekspresi Diana yang berubah. Lelaki itu melangkah mendekati Diana.
"Maaf, gue enggak-"
Diana menggeleng pelan. "Enggak apa. Gue ke atas dulu, ya?" Baru saja ia ingin kembali berbalik, tangannya sudah terlebih dulu ditarik oleh Lando. Gadis itu tertegun karena yang ia bisa rasakan saat ini adalah pelukan hangat dari sahabatnya.
"Apa pun yang terjadi, gue akan selalu ada di samping lo, De."
Air mata Diana kembali menggenang. Lando merupakan lelaki yang sangat peka. Tanpa ia bicara pun, sahabatnya itu selalu menyadari jika ada sesuatu yang salah dengannya.
"Jangan sedih, ya? Gue enggak bisa ngeliat lo sedih kaya gini."
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, rasa sesak yang tadi sempat menghimpit kini terasa kembali. Diana meremas kaus Lando, mencoba mencari kekuatan dari sahabatnya.
Hanya satu kalimat sederhana dan itu mampu membuat Diana menangis tersedu. Apa jadinya ia tanpa Lando? Lelaki itu segalanya baginya. Lando merupakan sahabat sekaligus orang yang sangat ia cintai.
Akhirnyaa, setelah sekian lama aku kembali menulis. Bagaimana part pertama ini? Semoga suka, ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top