9. Sate Maranggi pak Jono
°°°
Sahabat bukan hanya sekedar mengetahui kebiasaan satu sama lain. Melainkan juga saling memahami.
°°°
Hari sudah semakin sore, mentari kembali pulang untuk mengistirahatkan sinarnya. Burung-burung terbang sambil berkicau di atas sana. Udara semakin terasa dingin.
Ara tidak menggunakan jaket, hanya kemeja putih dan rok abu-abu yang melekat di tubuhnya, yang teras menggigil. Kota Hujan memang selalu menghadirkan udara dingin di tiap sorenya.
"Pakai Hoodie punyaku, Ra, ambil di tas!" pinta Allen.
Allen tahu bahwa Ara kedinginan, tapi pelukannya pada Allen semestinya sudah cukup untuk mengurangi rasa dingin yang melekat di tubuhnya. Ia hanya menggeleng, Allen memperhatikannya melalui kaca spionnya.
"Laper gak?" tanya Allen tiba-tiba.
"Enggak terlalu sih," ucap Ara berbohong, sebetulnya perutnya dari tadi sudah berbunyi. Cacing-cacing di dalamnya demo minta diberi makan.
Tak lama kemudian Allen menepikan motornya di pinggir jalan. Kami tiba di sebuah kedai pinggir jalan, penjual sate Maranggi, tepatnya warung pak Jono.
Sate Maranggi buatan pak Jono sudah sangat terkenal di daerahnya ini, tempatnya selalu ramai dan banyak didatangi penjajah kuliner, termasuk Ara dan Allen, khususnya di malam hari, kedai sate pak Jono benar-benar akan padat pembeli.
Ara melihat sekeliling, mencari tempat duduk yang masih kosong, suasana sudah cukup ramai padahal baru saja habis Maghrib. Allen memesan sate dua porsi, lalu kami berjalan menuju bangku yang masih kosong, tanpa pengunjung.
Beberapa menit kemudian, sate pesanan kami datang. Aromanya sudah menggelitik hidung sejak tadi, membuat cacing dalam perutnya semakin bersorak kegirangan, seperti sedang meminta untuk segera memakannya.
"Selamat makan, Al," ucapnya tersenyum, dilanjut dengan melahap satu tusuk sate buatan pak Jono. Rasanya benar-benar enak banget.
"Kamu mau nambah, Ra?" tanya Allen.
Hampir saja Ara tersedak mendengar perkataan Allen. Ara memang senang makan, semenjak mengonsumsi obat nafsu makan, ia jadi lebih sering makan. Allen memang tahu apa yang sahabatnya mau.
"Enggak usah, Al," jawabnya memperlihatkan deretan gigi putih yang mungkin sudah tertutup oleh bumbu sate.
Selesai makan mereka beranjak menghampiri pak Jono, Allen memesan sate tiga porsi dibungkus. Pak Jono langsung membuatkan pesanan Allen.
Ara hanya menunggu di dekat motor karena tak kuat dengan asap dari bakaran sate itu. Udara semakin terasa menusuk, sesekali Ara menggosokkan kedua telapak tangan agak terasa sedikit lebih hangat.
Lengannya sudah seperti daging yang baru keluar dari lemari es, sangat dingin. Allen kembali dengan kantung plastik berisi sate dan sebelah tangannya memegang hoodie.
"Yuk langsung pulang. Barusan Tante Nova telepon aku, ponsel kamu gak aktif kenapa?"
"Lowbet Al, tadi pagi gak sempet cash sebelum berangkat."
"Yasudah, yuk pulang!" ajak Allen.
Ara mengangguk sambil menunggu Allen untuk naik ke atas motor.
"Nih pakai, dingin!" ujar Allen memberikan hoodie berwarna hitam polos, hanya ada sedikit tulisan di bagian kantong depan.
Ara menerima pemberian Allen dan langsung memakainya. Berhubung udara dingin sudah sangat menusuk tulangnya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa saat mereka tiba di depan sebuah bangunan yang sudah tak asing lagi, rumah Ara.
"Nih sate untuk Tante, satunya buat kamu kalau masih kurang," ujar Allen memberikan dua bungkus sate Maranggi yang tadi dipesannya.
"Hehe makasih Al," ucapnya.
"Yasudah, aku pulang ya," pamit Allen.
Ara hanya mengangguk sambil memperhatikan lelaki yang mulai pergi ke arah seberang sana.
Ara langsung masuk ke dalam rumah, "Ma, satenya di atas meja makan ya," ia berteriak sedikit, berharap mamanya mendengar suara dari dalam kamarnya.
"Iya, Nak."
Ara melangkah menyusuri anak tangga untuk sampai ke kamar, merebahkan tubuhnya langsung di atas kasur empuk berwarna pink kesayangannya.
Setelah ganti baju Ara kembali turun dan mendapati mamanya sedang makan sate di meja makan.
"Ra, satu porsinya untuk siapa? Papa kan lagi di luar kota."
"Untuk aku lah, Ma," cetusnya.
"Loh kata Al, kamu udah makan di tempat pak Jono."
"Hehe kurang," sahutnya seraya duduk di hadapan mamanya.
Mamanya hanya menggeleng-geleng kecil, mengetahui kelakuan anak perempuannya yang benar-benar mungkin bisa membuat sakit kepala.
Selesai makan sate, Ara menuju teras samping untuk bisa sampai di rumah pohon.
"Mau kemana?" tanya mamanya menghentikan langkah Ara.
"Mau ke rumah pohon," jawabnya tanpa menoleh.
"Anak perempuan kok malam-malam mau di atas pohon, lama-lama kamu mirip kunti, Ra."
Ara tak menjawab, langsung saja pergi menuju rumah pohon. Sesampainya di rumah pohon, ternyata Allen sudah ada di dalam sana, sedang berbaring sambil menonton televisi, film Upin Ipin favoritnya.
"Sudah disini?"
Allen menoleh lalu tersenyum padanya.
"Aku bawa cookies, kamu kan suka," ujarnya tersenyum menunjukkan sekotak biskuit cookies yang tadi sore ia beli di sekolah.
Allen merubah posisinya menjadi duduk di sebelahnya, lalu merampas kotak di pangkuan Ara.
"Kapan kamu membelinya?"
"Tadi waktu kamu kumpulan tim basket."
Allen sudah membuka biskuit dan melahapnya, sedangkan Ara masih menonton televisi, menyaksikan dua anak kembar botak yang belum juga lulus dari taman kanak-kanak, padahal sudah bertahun-tahun.
Allen memang sangat menyukai anak kembar tanpa rambut itu, persis seperti dirinya sewaktu kecil. Ara masih memperhatikan Allen yang dengan lahapnya memakan biskuit cookies yang dibelikan Ara.
°°°
Ara dan Allen menyusuri koridor seperti biasanya, jalan berdua. Kini semua mata menatap mereka, apalagi kini di sebelahnya sudah berdiri kapten tim basket, tentu saja mereka menatap lelaki di sebelahnya.
"Selamat pagi, Ara!" ucap seseorang di depan pintu, saat mereka lewat depan kelas itu.
Ara menoleh dan mendapati lelaki, yang kemarin bertemu dengannya di pinggir lapangan. Lelaki itu tersenyum padanya, lalu ia pun ikut tersenyum.
"Eh, p-pagi," jawabnya terbata.
Tangan Allen langsung merangkulnya, lalu mereka kembali berjalan lagi. Lelaki yang Ara ketahui bernama Dimas, itu tersenyum melihat kepergiannya bersama Allen.
Sesampainya di kelas, Yura sudah tiba lebih dulu darinya, sahabat perempuan Ara yang satu ini memang sangat rajin. Yura menunjukkan selembaran kertas pada sahabatnya, informasi tentang komunitas pencinta alam. Yura mengajak Ara untuk ikut organisasi tersebut.
"Kamu minat gak?" tanya Yura.
"Boleh, kelihatannya seru deh," ucapnya mengangguk.
Setelah berbunyi bel pulang, Ara dan Yura mulai menyusuri koridor menuju ruang komunitas tersebut. Ruangan yang terlihat sunyi, depan ruangan ini terdapat sebuah Mading besar, beberapa informasi terpampang disini. Mereka mulai mengetuk pintu dan seseorang keluar dari dalam sana.
"Hai, ada yang bisa dibantu?" tanya seorang lelaki yang baru saja membuka pintu.
"Kami mau daftar keanggotaan komunitas pencinta alam sekolah, Kak," ucap Ara mendongakkan kepala.
"Ara," ucap lelaki di depannya mengejutkan.
Mata Ara terbelalak, lelaki yang keluar dari ruangan itu ternyata, Dimas. Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di beberapa kursi yang melingkari meja bundar itu. Ruangan ini sudah sangat sepi, hanya ada Dimas dan Kak Andin, pengurus komunitas ini. Setelah beberapa menit menunggu, mereka diberikan sebuah formulir pendaftaran dan disuruh untuk mengisinya. Setelah mengisi formulir itu mereka diperbolehkan untuk pulang. Dua hari lagi akan diumumkan apakah mereka diterima atau tidak menjadi keanggotaan.
"Kamu kenal sama orang itu?" bisik Yura.
Ara hanya mengangguk. Lalu melangkah pergi mendahului Yura.
"Siapa? Kok cakep sih, kenalin dong sama aku."
"Nanti juga kenal, kan udah satu komunitas."
Ara tak mendengarkan lagi ucapan Yura, ia langsung menuju lapangan basket untuk menghampiri Allen masih latihan. Sepertinya akhir-akhir ini Allen akan sibuk deh, Ara menatap Allen dari pinggir lapangan. Sekarang mereka jarang sekali duduk bareng. Ara lebih sering menjadi penonton Allen dari kejauhan.
"Lagi nunggu pacarnya ya?" tanya seseorang yang kini duduk di sebelah Ara.
Yura sudah pulang beberapa menit yang lalu. Karena supirnya sudah menjemput. Ara tersadar dari lamunan, lalu menoleh dan mendapati Dimas sedang duduk, pandangannya kosong menatap lapangan.
"Enggak," sahutnya memalingkan pandangan menatap Allen yang masih sibuk mengejar bola kesana kemari.
"Itu bukannya pacar kamu?" tanya Dimas, jarinya mengarah pada Allen yang baru saja berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
"Bukan, itu sahabatku," ucapnya menegaskan.
Lelaki disebelahnya itu hanya mengangguk pelan. "Kalau gitu aku duluan ya," ucap Dimas berpamitan sambil melambaikan tangan.
Ara ikut tersenyum tipis lalu menatap kepergiannya menuju parkiran sekolah. Dimas sepertinya sosok yang baik, baru kali ini Ara berbicara banyak pada lelaki, selain Allen. Beberapa saat Allen sudah selesai lalu menghampirinya, mengajak pulang. Mereka pun beranjak pulang.
"Maaf sudah membuatmu nunggu lama, Ra."
"Gak apa-apa."
Jalan Cimanggis sore ini lumayan ramai, beberapa titik terlihat padat oleh kendaraan yang melintas. Mentari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Udara sore itu tak begitu dingin seperti biasanya. Butuh waktu agak lama sampai akhirnya mereka tiba di rumah.
Sesampainya di rumah Ara langsung turun dari motor dan masuk ke dalam rumah. Hanya berpamitan sekedarnya pada Allen. Allen juga langsung pergi menuju rumahnya.
_____
Jangan lupa vote dan komen yah 🤗🙏👇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top