5. Janji detak Jantung
°°°
Ucapan seorang anak kecil tak pernah berbohong.
°°°
"Siapa yang membuat rumah pohon ini?" tanya Ara ketika sudah berada di atas rumah pohon.
Ara memperhatikan tiap sudut ruangan persegi yang tak begitu luas, beberapa fotonya dan Allen terpampang di dalam sana. Saat tubuh Allen masih terlihat seperti tuyul, semakin bertambahnya usia Allen, tubuhnya juga semakin mengurus dan terlihat lebih tinggi. Boneka kesayangannya, Angela sudah tergantung di salah satu dinding kayu ruangan itu. Beberapa deretan kaset juga tersedia, televisi kecil yang sederhana tergeletak tenang di atas sebuah meja kecil.
"Aku rasa, aku akan betah di sini Al," ucapnya pada Allen.
"Ya, aku juga," sahut Allen seraya duduk di atas sebuah karpet kecil.
Ara ikut duduk disebelahnya, "siapa yang bikin?" tanya Ara menatap Allen.
Allen menoleh, menunjukkan tampang seriusnya, "aku," ucapnya dengan bangga.
Ara tergelak mendengar pengakuan Allen.
Anak sekecil dia bisa membuat rumah setinggi ini, aku rasa Al sedang tidak waras. Batin Ara.
Perutnya hampir sakit menertawakan Allen. Dengan tampang wajahnya yang datar, membuat Ara tambah cekikikan.
"Ini buatan papa kamu, tapi aku ikut membantu loh." Allen menatapnya serius.
Tawanya terhenti saat menatap wajah Allen yang lebih serius dari sebelumnya.
"Kamu enggak mau kasih aku hadiah?" gerutu Ara pada Allen.
"Untuk apa? Memangnya aku harus selalu memberimu hadiah setiap tahun?" tanya Allen mengernyitkan alisnya.
"Biasanya kamu kasih aku hadiah," Ara merajuk pada Allen.
"Mau nonton film gak?" tanya Allen mengalihkan pembicaraan kami.
Ara hanya mengangguk tak menjawab. Sebenarnya ia masih agak kesal pada Allen. Bisa-bisanya lelaki yang selalu memberinya hadiah, justru kini tak melakukannya.
"Mau film apa?" tanya Allen.
"Terserah kamu saja!" jawab Ara ketus. Sedikit kecewa karena Al tak memberinya hadiah.
"Bagaimana kalau nonton film Perahu Kertas saja?" tanya Allen menunjukkan sebuah kaset di genggaman tangannya.
"Setuju," jawab Ara datar.
Film Perahu Kertas yang diperankan oleh Maudy Ayunda dan Adipati Dolken sudah terputar beberapa saat. Ara menontonnya dalam keadaan tenang, meski begitu banyak pertanyaan dalam kepalanya.
"Apa dewa Neptunus itu beneran ada?" tanya Ara saat film Perahu Kertas sudah selesai.
"Entahlah," jawab Allen mengangkat kedua bahunya.
"Kalau menurut kamu cinta itu apa, Al?" tanya Ara datar.
Allen menoleh dan menatapnya, "cinta itu kekuatan, ikatan batin seperti Kugy dan Keenan dan akhirnya selalu dipertemukan kembali." Allen menjelaskan. Penjelasan anak SMP yang sebetulnya belum benar-benar mengerti apa yang ia katakan.
Ara mengangguk, mencoba mengerti apa maksud dari perkataan Allen.
"Kenapa Keenan enggak bilang cinta pada Kugy?"
"Mungkin belum sempat, tapi filmnya sudah selesai."
Jawaban Allen masih harus menimbulkan pertanyaan lagi di kepala Ara, tapi ia tak ingin bertanya lagi. Alih-alih dijawab, ia justru takut Allen akan kesal dengannya, karena terlalu banyak bertanya.
"Selamat ulangtahun, Aquella." Allen mengeluarkan kotak kecil seukuran jari orang dewasa.
Ara sangat terkejut, lalu meraih hadiah di tangan Allen.
"Katanya kamu enggak akan kasih aku hadiah," Ara pura-pura menggerutu.
"Mana mungkin. Ini kan ulangtahun sahabatku, aku akan memberikan hadiah paling istimewa," ucap Allen tersenyum. "Buka saja!" pintanya.
Ara mengangguk lalu mulai menarik pita pengikat kotak itu, dan mulai merobek kertas penutupnya. Matanya terbelalak melihat sebuah alat perekam suara dalam kotak ini.
"Allen?" tanya Ara seakan tak percaya. Bagaimana mungkin Allen memberikan sebuah alat perekam suara yang sebelumnya ia dapatkan dari kemenangannya lomba balap sepeda.
"Iya, aku tahu kamu sangat menginginkannya kan. Makanya aku berikan alat itu untukmu."
"Terimakasih, Al." Ara memeluk Allen dengan erat beberapa saat. Hanya sebatas pelukan anak SMP pada sahabatnya.
"Al ...." Ara melepaskan pelukan.
Allen menoleh dan menatapnya serius. Kini pandangan mereka sangat serius.
"Kalau nanti kita sudah dewasa, lalu berpisah seperti Kugy dan Keenan. Mungkin enggak kita akan bertemu lagi?"
"Mungkin saja," jawab Allen datar.
"Apa karena ada ikatan cinta yang kelak mempertemukan kita?"
Allen hanya tersenyum.
"Berarti kamu mencintaiku Al?"
Wajahnya kini berubah, Allen memelototi Ara, seakan terkejut dengan apa yang baru saja Ara ucapkan. Lalu ia membuang napas gusarnya dan kembali tersenyum.
"Iya, aku menyayangimu, Aquella." Allen mengacak-acak rambut panjang milik Ara.
"Allen!" pekik Ara sambil merapihkan kembali rambut yang baru saja diacak-acak Allen.
Ucapan sepasang anak manusia, yang mungkin belum sepenuhnya mengerti apa yang sudah diucapkan. Mereka hanya sepasang anak SMP yang saling menyayangi satu sama lain sebagai sahabat. Hanya sebatas sahabat.
"Ara!"
Allen melepaskan pelukannya.
"Kita akan selalu bersama kan?" tanya Allen sedikit khawatir.
Ara menatap Allen tajam. "Tentu saja. Memang ada apa?"
"Ah, tidak. Aku hanya takut kamu akan melupakanku, seperti kamu melupakan tugas-tugasmu.
"Tidak seperti itu Al. Tugas-tugas itu menyebalkan jadi kalau aku melupakannya wajar saja. Kalau kamu sahabatku, tidak mungkin aku lupa.
"Janji?" Allen menaruh telapak tangannya di depan dadanya.
"Kenapa berjanji seperti itu?"
"Kalau pakai jari kelingking, sudah norak. Aku mau kamu berjanji menggunakan detak jantung. Aku menamainya dengan Janji detak Jantung."
"Oh oke baiklah, aku berjanji," ucapnya sambil meniru gaya Allen, seraya memejamkan matanya. Ia bisa merasakan detak jantungnya.
Mereka kembali membuka matanya.
"Kalau janji seperti ini, aku yakin kita tidak akan terpisah selama jantung kita masih berdetak."
"Itu artinya-"
"Ya, selama kita masih hidup. Kita akan selalu bersama. Sampai detak jantung salah satu diantara kita berhenti."
"Baiklah."
Ara hanya mengangguk, mencoba untuk mengerti ucapan Allen.
Janji hanyalah sebuah ucapan. Karena seseorang tidak akan tahu apa yang akan terjadi di kehidupan selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top