4. Rumah Pohon untuk Ara

°°°


Tempat pulang ku bukan lagi pada sebuah rumah. Melainkan kepada dirimu, tempat pulang yang selalu aku rindukan. Mungkin.

°°°


Ara mendapat kabar baik, bahwa hari ini ia sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Selang infus yang menempel di punggung tangannya pun sudah dilepas sejak beberapa jam yang lalu. Kini hanya ada sedikit hansaplas yang menutupi luka bekas jarum suntik di tangan.

Meskipun hanya empat hari di rumah sakit, tapi rasanya Ara rindu sekali dengan suasana rumah. Mamanya sibuk membereskan pakaian dan semua peralatan lainnya. Sedangkan papanya, ia pergi ke bagian administrasi untuk membayar semua biaya pengobatan.

"Akhirnya kamu sudah boleh pulang, Nak," ucap mamanya meletakkan tas jinjing di atas kasur, tepatnya di tempat Ara masih duduk.

Ara hanya mengangguk sembari menyeruput susu yang sebelumnya dibuatkan mamanya.

"Sudah siap belum?" tanya lelaki berbaju biru tua yang baru saja muncul dari balik pintu.

Ara hanya mengangguk, "gak sabar mau pulang, kangen sama rumah," ucapnya kegirangan.

"Kangen sama rumah atau sama Allen?" ledek papanya mengelus puncak kepala Ara.

"

Ih papa," gerutu Ara.

Ara memang rindu rumah, juga Allen. Suasana yang tak bisa didapatkan sejak ia dirawat di rumah sakit.

"Ma ...." ucap Ara menggantung.

"Ada apa?" tanya mamanya.

"Kok Al gak jemput aku di rumah sakit sih."

"Al masih banyak tugas kayaknya, Ra."

Ara mengangguk cepat, kini mereka sudah berada di lorong rumah sakit. Menyusuri lorong satu sampai ke lorong lainnya.

"Papa mau menebus obat di apotek, kalian duluan ke mobil!" ujar papanya yang terdengar lebih seperti perintah.

Kedua perempuan itu mengangguk lalu melanjutkan langkah menuju parkiran mobil. Setelah menemukan mobil yang mereka cari, Ara masuk dan duduk di bangku belakang, sedangkan mamanya duduk di bangku sebelah kemudi.

Beberapa saat lelaki berbaju biru tua itu kembali membawa kantung plastik yang berisi obat-obatan. Ara ingin sekali mengabari Allen, memberitahukan bahwa hari ini ia pulang dari rumah sakit, tapi kata mamanya, Ara belum boleh punya telepon genggam, sebelum ia masuk SMA. Akhirnya Ara mencoba untuk pinjam telepon milik mamanya.

"Ma, aku boleh pinjam ponselnya enggak?"

Perempuan itu menoleh dan menatap Ara penuh pertanyaan, "untuk apa?"

"Kamu belum pulih, gak boleh banyak main game Ara!" seru papanya mengambil alih suara.

"Bukan main game, tapi mau ngabarin Allen," sahutnya dengan wajah cemberut.

"Oh gitu, yaudah boleh," jawab mamanya memberikan ponsel kepada Ara

Ara meraih ponsel dari tangan mamanya, lalu mulai mengetik nomor telepon rumah Allen, karena hanya nomor itu yang bisa ia hafal.

Telepon hanya berdering, tak ada jawaban dari siapa pun di seberang sana. Ara kembali merajuk, sedikit kesal. Padahal ia ingin memberitahukan Allen akan kepulangan Ara, tapi anak lelaki itu justru tak menjawab telepon dari Ara.

"Kemana perginya Allen?" gerutu Ara memanyunkan bibir.

Papanya melirik dari kaca yang ada di atas kepalanya, "mungkin Allen lagi sibuk, Ra. Sabar dong bentar lagi juga ketemu," ucapnya menenangkan.

Ara hanya diam, tak mengindahkan perkataan papanya.

Butuh waktu setengah jam sampai akhirnya mereka tiba di rumah. Papanya menepikan mobil di halaman depan, Ara langsung loncat keluar dari mobil menuju bangunan yang berdiri tegak di seberang rumahnya.

Orang tua Ara hanya memperhatikan anaknya dari depan rumah.

"Assalamualaikum, Allen," teriak Ara di depan pintu.

Bangunan itu terasa sepi sekali, seperti tak berpenghuni. Ara memanggil Allen beberapa saat, tapi tetap saja tak ada yang menyahut. Akhirnya Ara kembali ke rumah dengan perasaan kecewa, karena Allen tak ada di rumahnya.

Kemana perginya Allen? Hatinya masih bertanya-tanya.

Dorrr ...

Terdengar suara letusan saat Ara mulai membuka pintu rumah.

"Selamat ulangtahun Ara!" ujar seorang anak SMP yang kini sudah menjadi teman baiknya.

Ara terkejut mendapati kejutan di dalam rumah, bahkan mbok Ela -asisten rumah tangga Allen- hadir disini, begitu juga dengan orang tua Allen. Ara melirik seluruh sudut ruang tamu yang sudah dihiasi dengan balon dan pernak pernik lainnya, di tengah ruangan terdapat meja kecil dengan kue tar menjulang tinggi di atasnya. Perasaannya berubah menjadi senang saat itu.

"Selamat ulangtahun, sayang!" ucap Tia, memberikan sebuah kotak -berlapis kertas berkarakter kupu-kupu dengan pita berwarna merah yang menambah cantik kotak tersebut- lalu mencium kening Ara.

Tak hanya itu saja, Reno juga memberi hadiah untuk Ara. Mamanya memberikan hadiah sepeda berwarna pink untuknya. Sayangnya Ara masih belum bisa mengendarai sepeda, tak seperti Allen yang pandai bermain-main dengan benda beroda dua seperti itu.

"Neng Ara, selamat ulangtahun. Mbok hanya bisa membelikan hadiah kecil ini, mohon di terima, ya!" ucap mbok Ela memberikan bingkisan berwarna cokelat muda.

Ara mengangguk sambil menerima pemberian mbok Ela, "terimakasih, Mbok."

Lalu Allen memberikan apa? Belum. Allen tak lagi terlihat sejak Ara sibuk menerima pemberian orang-orang tersayang. Mamanya sudah sibuk berbincang dengan mamanya Allen dan mbok Ela, sambil menyiapkan makanan dan minuman di meja makan.

"Ara, ikut papa yuk!" pinta papanya menarik tangan Ara.

Ara meletakkan semua hadiah pemberian mereka, lalu mengikuti kemana langkah kaki papanya berjalan. Mereka melewati pintu samping menuju halaman tempat Ara bermain bersama Allen. Baru saja akan membuka pintu, papanya menghentikan langkah.

"Kamu harus tutup mata dulu!" ucap papanya, kemudian menutup mata Ara dengan kain berwarna hitam.

Ara hanya menurut, lalu kembali berjalan sambil menggenggam tangan papanya. Sampai akhirnya langkah kaki papanya kembali berhenti.

"Kamu siap?" tanya papanya bersemangat.

Ara mengangguk cepat. Kemudian papanya melepas penutup mata sambil menghitung satu sampai tiga.

"Kejutan!" ujar papanya memperlihatkan sebuah bangunan kayu di atas pohon.

"Rumah pohon?" tanya Ara seperti tak percaya.

Papanya mengangguk ke arah Ara. Lalu ia memeluk erat lelaki dewasa berbaju biru itu.

"Makasih, Pa," ucap Ara lirih seakan terharu dengan pemberian papanya.

"Ara!" terdengar suara anak lelaki dari atas sana.

Ara melepas pelukan dan langsung menoleh, benar saja Allen sudah berdiri di teras rumah pohon itu, dengan tampangnya yang membuat Ara terkadang ingin memukul wajahnya.

"Sini dong naik!" seru Allen.

Ara menoleh ke arah papanya seolah meminta izin untuk naik ke atas sana, papanya langsung mengangguk, menyetujui permohonan anaknya tanpa kata.

Ara mulai menaiki tangga yang tergantung, sedikit sulit dengan tubuh sekecil Ara.

"Hati-hati, Ra!" Allen memperingati.

Ara mendongak ke atas, sedikit lagi sampai. Hanya perlu melewati beberapa anak tangga, Ara sampai di rumah pohon.

"Ayo," ucap Allen mengulurkan tangannya yang terlihat sedikit lebih besar dari tangan Ara.

Ara meraih tangan Allen dan akhirnya ia tiba di atas rumah pohon itu.

"Papa masuk dulu, ya," ujar papanya yang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Lelaki berbaju biru itu langsung beranjak pergi.




_____

Jangan lupa vote dan komen yah🤗🙏👇












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top