1. Pertemuan pertama kita

°°°


Kamu memang bukan siapa-siapa. Hanya sekedar teman baikku, tapi entah kenapa rasanya aku takut sekali kehilanganmu.

°°°


Ara sedang duduk di sebuah kursi panjang dibawah pohon bersama kedua boneka kesayangannya, Boneka beruang berwarna cokelat dan si Angle, boneka kelinci berwarna pink. Seperti biasa ia senang sekali duduk di bawah pohon rindang itu. Umurnya kini baru delapan tahun, Ara duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

Saat sedang asyik bermain bersama bonekanya, tiba-tiba sebuah mobil terparkir tepat di bangunan yang berada di seberang rumah orang tua Ara. Beberapa minggu ini rumah itu memang sudah ditinggal pemiliknya. Setahu Ara, pemilik lama pindah ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan. Papa Ara, Aldy, yang menceritakannya.

Sepasang perempuan dan lelaki dewasa itu turun dari mobil, sepertinya sebaya dengan orang tua Ara. Mereka membuka bagasi mobil dan menurunkan beberapa koper berukuran besar dan sejumlah tas jinjing lainnya. Tak lama ada seorang anak kecil, seumuran dengan Ara dan perempuan yang sudah cukup berumur, turun bersama dari kursi belakang. Ara menghentikan aktivitasnya dan terus memperhatikan mereka dari kejauhan.

Sepertinya mereka pemilik baru rumah itu. Batin Ara.

"Aquella, makan siang dulu sayang!" ujar Nova, keluar rumah dengan membawa nampan yang berisi cokelat panas dan sepiring nasi lengkap dengan ayam bakar dan tumis capcay bakso, makanan kesukaan Ara, selain mie ayam.

Pandangan Ara beralih menuju Nova yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Kemudian perempuan berbaju biru muda itu duduk tepat di sebelah Ara.

"Hai Tedi," sapa mamanya pada boneka beruang milik Ara, lalu menyingkirkannya agar ia bisa duduk.

Ara mengambil boneka beruang itu dan meletakkannya di pangkuan. Kemudian membuka mulut saat Nova mulai mengarahkan sesendok makan ke mulutnya.

"Wah sepertinya kita punya tetangga baru, Ra," ucap Nova sambil memperhatikan rumah di depan sana.

Ara masih mengunyah dan kini sambil memainkan si Tedi.

"Eh ada anak kecilnya tuh, kayaknya seumuran deh sama kamu," ungkap mamanya seraya menyuapkan sesendok makan lagi, sambil mengangkat dagu seakan sedang menunjukkan anak kecil di seberang sana

Ara menoleh ke arah anak kecil itu, "iya, Ma," ucap Ara sebelum akhirnya sibuk mengunyah.

Makan pun habis tak tersisa, setelah itu Nova memberikan segelas cokelat yang sudah agak dingin kepada anaknya. Ia meletakkan nampan dengan piring kotor ke atas meja kecil yang ada di hadapan mereka. Lalu ia mulai berdiri.

"Mama, mau kemana?" tanya anak perempuan yang masih duduk penasaran.

"Mau menemui tetangga baru kita, Nak. Kamu mau ikut?" tanyanya.

Ara menggeleng cepat. Ara tipe orang yang sangat malas jika harus berkenalan dengan orang baru, apalagi jika nanti orang baru itu jutek atau ketus kepadanya. Ara tak akan bisa menerima hal itu terjadi, ia paling tidak suka diabaikan.

Nova kemudian berjalan menuju rumah yang ada di seberang sana. Sementara Ara masih sibuk memainkan kedua bonekanya.

"Hai, namanya siapa?" tanya Nova kepada anak lelaki yang baru saja turun dari mobil membawa mainan robot miliknya.

Ara hanya memperhatikan mamanya. Anak lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Nova, memperkenalkan namanya. Sayangnya Ara hanya bisa mendengar suara anak itu samar-samar.

"Aku Allen, Tan," ucap anak itu.

"Oh Allen, nama Tante Nova. Kamu bisa memanggil saya Tante Nova," sahut perempuan berbadan ramping itu memperkenalkan dirinya dengan senyum.

"Al, sedang bicara dengan siapa?" tanya seorang perempuan dewasa menghampiri Allen dan Nova yang sedang berbicara di teras rumah itu.

"Eh Bu, saya Shintia, pemilik baru rumah ini," ucapnya mengulurkan tangan.

"Nova."

"Tante tante, itu anaknya ya?" tanya Allen menarik-narik lengan Nova.

Ara hanya memperhatikan percakapan mereka, lalu menatap Allen keheranan. Tatapannya tidak biasa, seperti orang baru yang tak ingin saling mengenal.

"Iya, Nak. Sana gih kamu main bareng!" seru mama Ara, meminta Allen untuk menghampiri putri kecilnya.

Anak lelaki yang diketahui bernama Allen itu mulai mendekati Ara. Ia masih memperhatikan langkah anak itu dengan tatapan tajam. Sebelum akhirnya Ara kembali fokus bermain boneka lagi. Ia tak mempedulikan anak lelaki yang kini tinggal di depan rumahnya.

"Hai ...," sapa anak lelaki yang kini sudah berada di hadapan Ara.

Ara tak menggubris perkataannya apalagi menjawab sapaannya. Ia masih terus bermain boneka. Sejujurnya Ara senang jika punya teman baru, tapi juga Ara tak suka jika harus berkenalan dengan orang baru.

"Aku Allen," ucapnya mengulurkan tangan.

Ara meliriknya sekilas, mungkin tak ada salahnya jika mereka hanya sekedar berkenalan, "Aquella," jawab Ara sembari membalas uluran tangan anak itu dengan sedikit keraguan.

"Panggilannya?" tanyanya seperti sedang berpikir keras. "Bagaimana jika aku panggilnya Ela?" ucapnya menahan gelak tawa.

"Hah?" Ara terkejut bukan main setelah mendengar perkataan anak lelaki di depannya.

"Ela, kok mirip nama si Mbok ya, haha," tawanya pecah begitu saja.

"Maksud kamu apa?" tanya Ara sedikit keras, wajahnya memerah, matanya sedikit melotot, tak mengerti kenapa anak lelaki di depannya ini tertawa sampai terbahak-bahak seperti itu.

"Itu loh asisten rumah tanggaku yang namanya mbok Ela." Allen mencoba menghentikan tawanya, kemudian kembali tertawa lagi.

"Kamu kok kurang ajar banget sih, ngatain aku mirip asisten rumah tangga. Kamu gak sadar diri kamu tuh, kayak tuyul," ucap Ara sedikit kesal.

Allen memang terlihat seperti tuyul, badannya yang agak gemuk dan pipinya yang chubby, semakin membuatnya terlihat sangat lucu. Ditambah kepala yang tak ditumbuhi rambut sama sekali, membuatnya terlihat seperti Upin.

"Sayang, lagi apa?" tanya papanya yang sudah berada di belakang Ara.

"Ini, Pa, lagi main bareng Tedi dan Angel," jawab Ara menunjukkan dua boneka kesayangannya.

"Wah ini siapa? Teman baru kamu ya?" tanya lelaki berkemeja putih itu.

"Kenalin Om, aku Allen Abrahams, anak dari pak Reno Abrahams dan Bu Shintia," ucap anak lelaki di hadapan mereka dengan gayanya yang sok cool seraya mengulurkan tangannya.

"Saya Papa Aquella," lelaki berkemeja putih itu membalas uluran tangan Allen.

"Aku tinggal di situ, Om, kapan-kapan boleh kan aku main lagi ke sini?" tanyanya memperlihatkan deretan giginya yang tak tertata begitu rapih.

"Tentu saja, boleh dong."

Aldy hanya tersenyum kepada anak lelaki itu. Lalu anak itu pamit untuk kembali ke rumah barunya, untuk membantu merapihkan kamarnya. Ara senang bisa mengenal anak aneh itu, tidak! Maksudnya anak lelaki yang lucu itu. Nova baru saja keluar dari rumah Allen setelah anak itu menghilang di ambang pintu rumahnya beberapa saat yang lalu.

"Tetangga baru, Ma?" tanya sang suami setelah istrinya ikut duduk bersama mereka.

"Iya Pa, nanti malam kita diundang untuk ikut makan malah bersama di rumahnya. Sekalian acara syukuran katanya," tutur sang istri yang terlihat sangat antusias.

"Wah boleh tuh, nanti malam kita sekeluarga datang ya," sang suami juga ikut bersemangat.

"Pa, aku tidak ingin ke rumah anak itu!" Ara merajuk, tapi rasanya percuma saja. Karena mereka tetap akan datang ke rumah Allen untuk makan malam bersama.

"Kenapa, Nak? Apa anak itu sudah jahat padamu?" tanya mamanya.

"Gak mungkin Ma, anak itu kelihatannya lucu. Gak apa-apa, Nak, nanti lama-lama juga kamu bisa beradaptasi dengan anak lelaki itu ya." Papa Ara menasehati lalu mencium puncak kepalanya

Ara hanya mengangguk.

"Yasudah yuk masuk rumah, udah sore. Nanti masuk angin," ajak papanya sembari beranjak berdiri.

Nova hanya mengangguk.

"Papa gendong," papanya menawarkan sembari membentangkan tangan ke arah putri kecilnya.

Ara tersenyum bahagia, lalu melompat ke dalam pelukan papanya. mamanya membawa boneka dan nampan berisi piring kosong, bekas menyuapi Ara makan tadi.

Semilir angin di kota hujan ini menyapu wajah perempuan kecil, rasa dinginnya menusuk hingga ke dalam daging, lalu menelusuk sampai ke tulang-tulang miliknya.

____

Jangan lupa vote dan komen yah🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top