Bab9 | Pacaran itu ...
Syifa melihat jam dinding yang berada di kamarnya, masih pukul 5 pagi. Dia sendiri heran, kenapa hari ini dia bisa bangun lebih pagi, padahal semalaman ia begadang karena menghafal surat Al-Jumu'ah lewat rekaman suara Azam.
"Ini suhunya emang segini, apa emang gue yang jarang bangun subuh ya. Dingin amat." Syifa memeluk dirinya, mengusap lengannya yang kedinginan. Kemudian ia beranjak dari kasur dan keluar dari kamarnya.
Saat Syifa melewati kamar Ayahnya, dia melihat dua insan sedang bersujud. Itu sangat terlihat jelas, karena pintu kamar Ayahnya terbuka setengah. Syifa mematung, melihat sepasang suami istri itu. Saat mereka bangun dari sujudnya, tahiyat akhir, hingga salam. Nisa mencium tangan Arif dengan khidmat. Ada rasa iri di hati Syifa melihat itu. Hingga, menggenanglah air di pelupuk matanya.
Syifa sendiri sempat heran, sejak kapan Ayahnya itu mulai melaksanakan sholat lagi, setelah sekiat tahun tak pernah menjalankan kewajibannya itu. Semenjak Neneknya Syifa meninggal, Arif, sang Ayah tak pernah menjalankan sholat lagi. mungkin, Arif merasa bebas, karena tak ada yang menyuruhnya untuk sholat lagi. Namun, tentu ia merasa sedih, ketika Ibunda yang sangat ia cintai pergi meninggalkan untuk selamanya.
Setelah Neneknya Syifa meninggal pula, Syifa merasa tak terurus. Bagaimana tidak, orang tuanya selalu sibuk pada pekerjaannya di kantor. Ibarat, pekerjaan itu lebih penting daripada keluarga. Hingga malam itu, terjadilah perdebatan hebat antara Ayah dan Bundanya Syifa. mereka berdebat, melemparkan barang ke sembarang arah, mengeluarkan kata-kata kasar. Mereka melakukan itu tepat dihadapan kedua anaknya, Ilham dan Syifa.
Mereka berduapun akhirnya berpisah alias cerai. Bundanya Syifa pergi entah kemana, meninggalkan dua anak yang baru memasuki masa remajanya itu tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Tak heran, jika saat ini Ilham dan Syifa memiliki sifat dan sikap yang tidak menyenangkan. Semua karena orang tuanya, begitulah pikir Syifa dan Ilham.
***
Syifa terkikik geli saat melihat sang sahabat fokus pada Al-Quran kecil yang berada di tangannya. Kedua alis Alya sampai ia tautkan hingga tak ada jarak di antara keduanya karena saking seriusnya.
"Serius amat, Al?" sapa Syifa sambil menyimpan tas nya di bangku samping Alya.
Alya menarik lengan Syifa hingga Syifa terduduk di bangkunya. "Lo pasti belum hafal surat Al-Jumu'ah kan? Nah, terus gimana dong, kalo nanti nilai agama kita dikosongin Pa Yusuf?" Alya panik.
Syifa terkekeh pelan. "Nilai agama kita? Sorry ya, nilai lo aja kali, gue enggak."
"Ah, masa iya lo hafal."
"Karena gue emang udah hafal."
"Gak mungkin. Lo itu kalo bercanda suka berlebihan, Fa."
"Liat aja nanti."
Alya masih bersikap tenang, karena dipikirannya, Syifa pasti belum hafal. Bagi Alya, Syifa tidak mungkin hafal surat itu, karena ia tau, bahwa membaca Iqra saja Syifa tidak lancar, apalagi menghafal Al-Quran. Alya sendiri tau, bahwa dulu, Syifa pernah bisa membaca Al-Quran. Tapi itu dulu, saat Syifa duduk di kelas 4 SD. Karena dulu, Syifa sempat belajar mengaji di madrasah, itupun karena ajakan neneknya.
Bel masuk berbunyi, semua murid kelas 10 IPA2 masuk ke kelasnya. Sebagian murid, ada yang langsung sibuk membuka Al-Quran, ada juga yang malah bermain game, seperti Revan and the geng. Sedangkan Syifa, dia daritadi hanya tersenyum, seperti ada arti lain dari senyumannya itu, namun tak dapat dijelaskan oleh kata-kata.
Pa Yusuf memasuki ruang kelas mereka sambil mengucapkan salam. Setelah semua murid menjawab salamnya, Pa Yusuf duduk di bangku khusus untuk guru. Dia kemudian membuka sebuah buku berisi nama dan daftar nilai kelas 10 IPA2.
"Syifa," panggil Pa Yusuf.
Syifa yang sedang melamun sambil tersenyum itu, langsung terperanjat kaget. "Hah? Iya Pa? kenapa? Syifa udah hafal surat Al-Jumu'ah kok."
Pa Yusuf menautkan alisnya bingung. Karena awalnya, Pa Yusuf akan menyuruh Syifa mengambil tas nya yang tertinggal di ruang guru. "Ah iya, hampir saja bapak lupa, akan mengetes kelas ini membaca surat itu."
Semua murid yang berada di kelas itu menyoraki Syifa karena telah mengingatkan Pa Yusuf. "Yaaaahh... Padahal tadi lo gausah ngomong udah hafal surat itu. Ihh, kesel," keluh Alya sambil mengerucutkan bibirnya.
Syifa tersenyum. "Yeeh, ya sayang lah sama hafalan gue."
Pa Yusuf melirik ke arah Syifa kemudian berkata, "Syifa! Coba, Bapa mau denger hafalan kamu. katanya kamu udah hafal."
Syifa bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Pa Yusuf yang sedang duduk. Syifa berdiri di samping Pa Yusuf. Dia memulai dengan mengucapkan bismillah, kemudian membaca ayat demi ayat surat Al-Jumuah hingga ayat yang ke-5. Meski masih sedikit terbata-bata, meski sempat berhenti di tengah-tengah akibat lupa, meski panjang pendeknya ada yang kurang tepat, Syifa tetap sudah hafal. Mungkin, dia hanya perlu muraja'ah hafalan untuk melancarkannya.
Syifa telah selesai membacakan surat Al-Jumu'ah. Namun, ada yang membuat Syifa keheranan. Seperti Pa Yusuf, yang melongo melihat Syifa tak percaya, sedangkan teman-teman sekelasnya ada yang melakukan hal yang sama dengan Pa Yusuf, ada juga yang saling berbisik.
"Kok, semuanya pada diem? Pa Yusuf juga cuma nyuruh baca 5 ayat pertama, kan?" tanya Syifa memecah keneningan yang tercipta di kelas itu.
Pa Yusuf mengerjapkan matanya. "Hah? Oh, iya. Kamu kok hebat banget bisa ngafalin surat itu? Padahal kan, biasanya kamu selalu ngeles karena gak hafal."
Syifa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ehehe, ini semua berkat si ustadz muda, Pak."
Pa Yusuf menautkan alisnya. "Ustadz muda siapa?" tanyanya.
"Ih! Bapa kepo amat deh."
Pa Yusuf seperti tengah menulis sesuatu di daftar nilai Syifa, mungkin menuliskan sebuah nilai bagi Syifa. syifa berusaha mengintip, dia juga penasaran. Berapa ya, nilai hafalan gue? Batin Syifa.
"Kamu gak perlu ngintip gitu," ucap Pa Yusuf yang masih sibuk pada daftar nilai di hadapannya. "Bapa yakin, nilai kamu pasti lebih tinggi dari temen sekelas kamu."
Mendengar itu, Syifa tersenyum puas. Setelah taka da lagi urusan, Syifa kemudian dipersilahkan duduk oleh Pa Yusuf. Murid yang lain menatap Syifa dengan tatapan tidak percaya, bagaimana bisa seorang Syifa bisa menghafal surat Al-Quran? Sikapnya saja sudah sangat jauh dari kata baik.
"Kalo cewe gak baik kaya gue aja bisa ngafalin itu surat, lo juga pasti bisa, Al," ucap Syifa santai saat baru saja ia duduk di bangkunya.
Alya menggelengkan kepalanya pelan. "Lo ternyata gak bohong, Fa. Lo beneran hafal, hebat lo."
Pa Yusuf bisa menduga, bahwa semua murid di kelas 10 IPA2 pasti tidak ada yang sudah hafal surat Al-Jumu'ah. Ada satu orang yang hafal seperti Syifa pun, ia sudah sangat bersyukur, walah sedikit tidak percaya.
***
Suasana kantin hari ini sangat ramai, seperti biasanya. Untuk mendapatkan kursi pun siapa cepat dia dapat. Untungnya, Syifa bisa istirahat lebih cepat dari teman-teman yang lainnya, karena dia diberi bonus waktu beberapa menit untuk istirahat oleh Pa Yusuf.
Saat ini, Syifa tengah menyantap makanan yang ia pesan tadi. Jujur saja ia kelaparan, karena tidak sempat sarapan. Bukan karena Nisa yang tidak menyiapkan, tapi karena kebiasaan Syifa tidak pernah sarapan di rumah. Jika pelajaran pertama diisi oleh Fisika, Syifa pasti bilang, "Ntar juga kenyang ko, dengerin Bu Rina ngomel." Begitulah Asyifa.
Saat Syifa akan mengarahkan sendok ke mulutnya, tiba-tiba tangannya ditahan oleh seseorang. Syifa menatap sang empunya tangan itu. Dan ternyata itu adalah tangan Ilham, kakaknya.
"Ngapain lo kesini? Ganggu aja." Syifa menaruh kembali sendok yang berisi bakso itu ke mangkuk.
Tanpa berkata apapun, Ilham menarik pergelangan tangan Syifa agar Syifa mengikutinya. Sedangkan yang tangannya ditarik berusaha melepaskan cengkraman Ilham. "Lepasin gue ah! Lo mau nyulik gue ya?"
"Ih! Kalo gue mau nyulik cewe, mana mungkin cewe kaya lo yang gue culik. Udah, lo ikut aja!" ucap Ilham tanpa mempedulikan tepukan keras di lengannya.
Syifa terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju entah kemana yang Ilham inginkan. Hingga, mereka sampai di taman sekolah. Taman itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa murid yang berlalu lalang di sana.
Ilham melepaskan cengkramannya. "Lain kali, kalo diajak orang itu nurut. Gak usah banyak nanya, kan gue ga perlu narik-narik tangan lo."
Syifa memutar bola matanya malas. "Berisik lo! Ada apa sih, ngajak gue kesini? Mau nembak gua?"
"Amit-amit dah, nembak cewe kaya lo. Lagian lo itu adik gue, mana mungkin gue nembak lo, ntar kalo lo mati gimana? Bisa masuk penjara deh gue."
Syifa menyilangkan tangannya di depan dada. "Ada apa sih, kakakku yang paling ngeselin di dunia?"
"Lo jangan kabur dulu!" perintah Ilham. Tidak lama setelah itu, seorang lelaki datang dari belakang mereka.
"Ekhem..." Mendengar dehaman itu, Syifa dan Ilham menoleh ke sumber suara secara bersamaan.
"Udah gue bilang, LO JANGAN KABUR!!!" ucap Ilham sambil menahan tangan Syifa. "Dengerin dulu dia ngomong!"
Syifa menghempas tangan Ilham dengan kasar. "Oke! Gue dengerin! Tapi ini terakhir kalinya gue mau denger suara dia lagi!"
"Selesain masalah kalian baik-baik," ucap Ilham sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bagas dan Syifa berdua.
Setelah Ilham pergi, Bagas mulai membuka suaranya, "Asyifa..." ucapnya lirih.
"Jadi, apa alasan lo putsin gue? Karena lo masih cinta sama si Fiany? Gue udah tau, kalo emang itu alasannya!" ucap Syifa tanpa menoleh sedikitpun pada Bagas.
"Tapi sayang, lo salah dalam menebak."
Syifa hanya diam, tak menaggapi Bagas. Anggap saja, itu kode, bahwa Syifa tengah memberi waktu untuk Bagas menjelaskan.
"Alasannya karena kakak sayang sama lo..."
Syifa tertawa pahit. "Alasan yang gak masuk akal! Kalo lo sayang, mana mungkin lo putusin gue!"
"Justru karena gue sayang, makannya gue putus-."
"Dimana-mana yang-," ucap Syifa terhenti karena Bagas balas memotong pembicaraannya.
"PACARAN ITU HARAM!"
Mendengar itu suara Bagas yang meningkat satu oktaf, Syifa terdiam.
"Karena kakak, gamau kita terus dapet dosa gara-gara sering jalan berduaan, bahkan sering pegangan tangan."
Syifa masih bergeming.
"Pacaran dilarang dalam islam."
"Pacaran itu dosa!"
"Pacaran itu bukan hanya mendekati zina, tapi zina. Karena, zinanya mata dengan memandang, zinanya tangan dengan memegang, zinanya kaki dengan melangkah, dan zina yang lainnya. Bukannya, selama kita pacaran, kita melakukan zina itu?"
Syifa hanya menunduk. Kali ini Bagas berkata dengan sangat tegas, dan itu membuat Syifa merinding. Syifa memang lebih takut pada Bagas, dibandingkan pada Ayahnya sendiri, karena rasa cintanya pada Bagas itu membuat ia takut.
"Apa lo mau, jika nanti, kepala gue ditikam jarum besi gara-gara gue megang tangan lo yang bukan mahram gue?"
Air mata Syifa menggenang, dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Gue harap lo paham! Sekarang, terserah lo, mau marah atau benci sama gue. Toh, gue udah jelasin kan semuanya. Gue putusin lo karena gue sayang sama lo!"
Syifa menangis sesenggukan. "Tapi, lo gak bohong kan? Lo masih sayang kan, sama gue?"
Bagas seperti tengah berpikir sejenak, kemudian mengangguk lemah. "Mungkin, kalo sahabat masa SMP gue ga ngasih tau, saat ini gue masih bisa pegang tangan lo, peluk lo, jalan bareng lo, dan yang lainnya. Tapi gue beruntung, bisa ketemu lagi sama temen SMP gue. Dia udah berhasil nyadarin gue dari dosanya pacaran. Semoga lo paham, Fafa cantik," ucap Bagas sebelum akhirnya pergi meninggalkan Syifa yang sedang menangis di taman sendirian.
Syifa terisak pelan, mendengar alasan Bagas yang sangat masuk akal itu. Jujur saja, dia belum rela putus dari Bagas. Tapi mau tidak mau ia mesti paham, bahwa Bagas putusin dia demi kebaikan keduanya. "Terus, kalo lo masih sayang sama gue, kenapa lo tinggalin gue?" lirihnya.
***
Ketika bel masuk berbunyi, semua murid kelas 10 IPA2 memasuki ruang kelas. Mereka pikir, Bu Rina akan masuk, ternyata dugaan mereka salah. Dan itu tentu saja membuat mereka bahagia. Bagaimana mereka tidak bahagia, saat guru killer tidak masuk karena ada urusan. Tentu adanya berita itu membuat semua murid bebas melakukan apapun. Seperti bermain PS di kelas, bermain game, ngerumpi, selfie, kejar-kejaran, yang merokok di pojok kelas pun ada.
Sedangkan gadis bernama Asyifa, dia dari tadi hanya diam, begitupun saat mendengar bahwa Bu Rina tidak akan masuk. Biasanya, Syifa lah yang paling heboh saat guru kesayangannya tidak masuk ke kelas.
"Lo kenapa, Fa?" tanya Alya sambil menepuk pelan pundak Syifa.
Syifa menatap Alya dengan tatapan sendu. "Pacaran itu haram, Al. Itu alasan Ka Bagas putusin gue," ucap Syifa lesu.
Sedangkan Alya memutar bola matanya malas. "Kan udah gue bilang, kalo Ka Bagas itu pasti punya alasan. Dan alasannya gak mungkin karena dia masih sayang sama Ka Fiany."
Syifa menatap sedih gelang pemberian Bagas, yang melingkar indah di pergelangan tangannya. "Dia tadi bilang, kalo dia masih sayang sama gue. Tapi kenapa dia ninggalin gue di taman sendirian?"
"Dia mungkin takut, takut rasa sayangnya semakin menjadi. Sedangkan dia sedang berusaha ngeikhlasin lo. Lo itu beruntung, Fa, disayangin sama cowo baik kaya Ka Bagas. Lah gue? Yang nembak aja cowo-cowo brandalan."
Alya memang cantik dan menarik, banyak lelaki yang ingin menjadi pacarnya, namun ia selalu dan pasti menolak. Alasannya cukup bagus, yaitu tak ingin jika suatu saat nanti hatinya tersakiti. Sudah ada beberapa puluh lelaki yang ditolaknya, karena tak ada satupun lelaki yang masuk kriterianya.
"Kalo kek gini, gue jadi males ngapa-ngapain. Mana sekarang mesti belajar ngaji sama ustadz muda itu lagi." Syifa memutar bola matanya malas.
"Oh iya! Ceritain dong, si ustadz muda itu," pinta Alya.
"Lo penasaran amat sama dia."
"Lo gak tau ya, tipe cowo yang gue idamin itu kaya gimana?" tanya Alya.
Syifa menggelengkan kepalanya cepat. "Gue gak tau! Yang gue tau cuma, lo yang gak pernah nerima cinta dari dari siapapun."
"Karena gue pengen, cowo yang nembak gue itu sholeh." Alya tersenyum puas.
Mata Syifa terbelalak. "WHAT? Sholeh, lo bilang? Emangnya lo sholehah apa?"
Tiba-tiba senyuman Alya pudar. "Nah, maka dari itu. Gue bingung, gimana caranya biar bisa jadi sholehah."
"Ya elo jangan nanya sama cewe kaya gue lah. Sholehah aja enggak gue mah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top