Bab37 | Tolakan, kah?

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakaatuh, Readers.

Happy Reading:)

________________________________________________

Hati-hati zina mata. Zina itu haram. Dan cara mengatasinya adalah... halalin!!!


Para Ustadz dan Ustadzah duduk rapi di ruangan khusus rapat untuk mendengarkan pengumuman yang akan disampaikan oleh Ustadz Faqih sebagai pendiri Pesantren Al-Ikhlas.

Di dalam rapat itu, ada yang tidak dapat fokus. Padahal yang menyampaikan pengumumannya adalah ayahnya sendiri. Dia terlihat canggung karena sosok Syifa terlihat oleh matanya. Syifa duduk di barisan depan, di sebelah kanan. Berusaha mengalihkan pandangan, tapi melirik lagi ke arah Syifa yang saat itu mengenakan kerudung hitam.

Akhirnya dia memejamkan mata dan terlihat bibirnya beristigfar. Ustadz lain yang berada di sampingnya terkekeh melihat wajah lucu Azam.

"Kenapa, Zam?" tanya Ustadz bernama Ardhan yang tak lain adalah sepupunya.

"Astagfirullahal'adziim. Ane gak bisa fokus, Dhan," ucap Azam.

"Ane tau Ente kenapa Zam. Ane liat kok, Ente merhatiin terus Ustadzah yang pake kerudung item itu," ucap Ardhan sambil menunjuk ke arah Syifa.

Azam kembali beristigfar lirih. Dan kemudian Ardhan berbisik pelan, "Hati-hati zina mata. Zina itu haram. Dan cara mengatasinya adalah... halalin!!!"

Azam seketika terpaku dan menelan ludah.

Tak lama kemudian, rapat pun selesai dan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Azam. Yang membuat Ustadz Faqih heran adalah, mengapa Azam terlihat gugup saat memimpin doa di depan para ustadz ustadzah? Seperti tengah demam panggung, padahal itu sudah biasa Azam lakukan.

___________________________________________________

Azam segera melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah, namun langkahnya itu segera terhenti oleh salam seseorang.

"Assalamualaikum."

Azam membalikkan badannya dan melihat siapa gerangan tamu yang membuatnya berhenti melangkah masuk.

"Waalaikumussalam," jawab Azam.

Ternyata itu adalah Nurul. Tak lama setelah itu, Zahra pun datang dari dalam rumah untuk melihat ada siapa di luar sana.

"Eh Nurul. Ayo masuk! Yuk, duduk dulu. Bentar aku ambilin minum ya." Zahra mempersilahkan Nurul masuk.

"Eh, Ka Zahra, gak usah. Nurul cuma sebentar mau bicara sama Azam." Tahan Nurul.

Zahra membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf 'O'.

Saat itu mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ada hal penting yang harus Nurul bicarakan. Ini tentang kesalahannya. Kesalahan besar yang membuat dua orang saling mengharapkan tertahan kerinduannya.

"Aku mau minta maaf sama kamu, Zam. Aku udah ngelakuin sebuah kesalahan besar," ucap Nurul yang sama sekali tidak berani menatap Azam. Dia menunduk.

"Maaf untuk apa, Nur? Justru selama ini kamu udah banyak bantu aku. Kalo bukan karena kamu, mungkin sampai sekarang aku masih berharap sama Fatimah masa kecil aku."

Nurul memejamkan matanya. "Azam..." Nurul berusaha merangkai kata-kata yang tepat untuk jujur. "Surat yang dulu aku kasih, itu bukan dari Fatimah. Dan yang dulu datang ke kamu bukan Fatimah. Fatimah belum menikah. Dan Syifa itulah Fatimah yang selama ini kamu cari."

Azam terpaku mendengar perkataan Nurul. Dia terlihat berfikir. Ternyata apa yang Syifa katakan itu benar, bahwa dialah Fatimah. Fatimah itu masih ada. Namun, entah sekecewa apa Azam pada Nurul setelah mendengar pengakuan itu.

"Sejahat itu kah, kamu?" Satu kalimat saja, namun berhasil masuk dan menampar hati Nurul.

"Maafin aku, Zam. Aku suka sama kamu. Tapi aku udah sadar, bahwa ketika kita bisa mengikhlaskan seseorang dengan siapa yang menjadi takdirnya, maka Allah akan mengganti dengan takdir pilihanNya. Maafin aku, Azam."

Zahra yang saat itu ada di antara mereka hanya bisa menyimak dan menggelengkan kepala. Tak percaya bahwa Nurul akan melakukan hal ini.

"Aku kecewa, Nur," ucap Azam dingin.

"Sudah, Azam. Biar bagaimana pun Nurul sudah mengakui kesalahannya. Ikhlaskan saja yang sudah terjadi, karena kamu takan bisa kembali pada hari kemarin sekalipun. Syifa itu ada di sini. Lakukanlah apa yang hatimu inginkan, Zam!" Kali ini Zahra menasehati.

Dengan satu tarikan nafas, Azam menjawab, "Kak, Azam minta tolong panggilkan Syifa ke sini. Azam akan memanggil Umi dan Abi."

"Kamu mau ngapain?" tanya Zahra.

"Azam sudah melakukan kesalahan pada Syifa. Azam ingin meminta maaf."

"Terus, Umi sama Abi juga harus tau?"

"Kak, Azam ingin menyempurnakan sebagian iman!"

Zahra mengerti apa yang akan adiknya lakukan. Ia pun segera pergi untuk mencari Syifa.

Terasa sesak memang, ketika mendengar secara langsung kata-kata itu dari mulut Azam. Nurul masih menyukai Azam, namun dengan mengikhlaskannya, itulah yang terbaik. Sebenarnya, ia tak kuasa mendengar kata itu dari Azam. Tapi, bagaimanapun juga, ia harus merasakan dan pasti akan ia rasakan. Ia menganggap, ini adalah balasan, karena dulu dia pernah membuat Syifa sakit hati, walaupun Syifa sendiri tak tau, bahwa Nurul telah bersalah padanya.

Zahra segera pergi untuk memanggil Syifa. Di ruang tamu, hanya tersisa Nurul karena Azam masuk ke dalam. Mungkin memanggil Umi dan Abinya.

Tak lama setelah itu, datanglah Ustadzah Aisyah, Ustadz Faqih dan Azam. Nurul mencium tangan Ustadzah Aisyah dan tersenyum pada Ustadz Faqih. Nurul merasa benar-benar bersalah besar. Selama ini, dia di didik baik oleh orang tuanya. Bahkan selalu diajarkan mengenai adab oleh Ustadzah Aisyah langsung. Namun masalah hati, terkadang apa saja bisa dilakukan.

Karena ketika seorang Akhwat jatuh cinta dan tidak bisa menjaga hatinya, dia akan nekat!

__________________________________________________

Syifa dan Zahra datang. Syifa masih mengenakan kerudung hitam bekas rapat tadi. Baru saja ia akan menerima setoran santri, tiba-tiba Zahra datang memanggilnya. Lantas ia pun menjeda setoran santri dan segera memenuhi ajakan Zahra. Seperti ada yang penting, pikir Syifa.

Syifa merasa bingung, saat masuk ke ruang tamu, ada banyak orang yang sedang duduk di sana. Ada Azam, Ustadzah Aisyah, Ustadz Faqih, dan juga Nurul. Ada apa ini sebenarnya?

"Maaf, Syifa, kita ganggu waktu istirahatnya. Tadi, Azam sudah menjelaskan pada Ustadz mengenai apa yang terjadi pada kalian." Ustadz Faqih memulai pembicaran. Namun tetap saja Syifa masih tidak mengerti.

"Saya mau minta maaf pada Ukhty Syifa. Dan saya baru tau sekarang, bahwa Ukhty ini Fatimah teman masa kecil Saya." Azam menunduk, tak berani menatap ke arah Syifa.

Dengan senang hati Syifa menjawab, "Tidak apa-apa, Ustadz. Karena dari sana Syifa juga belajar banyak hal. Terutama dalam mengikhlaskan. Tak usah dipikirkan lagi, itu udah berlalu, Ustadz. Syifa tidak apa-apa, kok."

Azam melirik ke arah orang tuanya. Mereka serempak menganggukan kepala pada Azam.

"Eum..." Azam terlihat gelagapan. "Ukhty, izinkan saya untuk menepati janji kita dulu." Dengan sekuat tenaga Azam mengatakan hal itu.

Syifa mengernyitkan dahinya bingung. Masalahnya, Syifa sudah tak mau lagi mengingat masa lalu. Seindah apapun masa lalu, ada saatnya terasa sakit saat mengingatnya, karena ia takan pernah kembali lagi.

"Janji dulu?" tanya Syifa tak paham.

"Janji Saya..." Azam berusaha menetralkan perasaannya. "Intinya, Ali mau menghalalkan Fatimah."

Syifa terpaku. Bibirnya bungkam tak dapat berkata. Bagaimana bisa ini terjadi setelah hatinya tidak berharap pada Azam lagi?

Cukup lama Syifa terdiam dan berfikir keras. Jikalau perihal perasaan, itu bukan masalah bagi Syifa. Karena rasa itu akan mudah hadir kembali seiring berjalannya waktu. Yang menjadi masalah di sini, dia tidak bisa menerima Azam. Tidak akan pernah bisa!

"Bagaimana, Syifa?" Ustadzah Aisyah membuyarkan pikiran Syifa hingga ia terperanjat kaget.

"Eum... Maaf, Ustadz. Tapi, masih banyak kok, yang lebih baik daripada Syifa. Syifa mah cuma gadis yang baru hijrah. Belum terlalu baik dan tidak pantas jika harus bersama Ustadz Azam." Syifa berusaha sekali merangkai kata sebaik mungkin.

"Tidak apa-apa. Karena nanti pun kita akan saling menyempurnakan dan memperbaiki bersama."

"Tapi, Ustadz."

"Kenapa?"

"Maaf."

"Memangnya, kenapa?"

"Syifa..."

"Kenapa?"

Saat itu, Aisyah, Faqih, Nurul dan Zahra hanya menyimak serius percakapan di antara mereka berdua yang terlihat sama-sama canggung untuk saling menatap.

"Apa ini tanda Ukhty menolak?"














































"........" Tak ada jawaban dari Syifa. Dia ragu untuk menjawab, padahal saat itu juga dia tau apa yang seharusnya ia jawab.

__________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top