Bab33 | Rencana...
Vote dan Comment dulu yu!💕
Setelah sekian lama tak jumpa.
Bagaimana kabar hatimu?
Sudahkah merasa lebih baik dari sebelumnya?
______________________________________
Syifa kembali mengurung diri di kamarnya. Sedari pagi tadi dia tak keluar dari kamar. Nisa paham mengenai kekecewaan Ilham dan Syifa pada Ibu kandungnya itu. Namun, ia harus berusaha memahamkan 2 anak tirinya, mengenai niat baik Shilla.
Saat itu, Nisa memanggil Ilham dan Syifa dengan menghampiri satu per satu kamar mereka agar berkumpul di ruang keluarga.
Setelah mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga. Saat itu Nisa memulai perbincangan,"Kalian masih ingat mengenai hijrah, kan?"
Ilham dan Syifa menatap Sang Ibu Tiri dan lantas mengangguk bersamaan.
"Tanpa kalian sadari, kalian sudah berada di titik saat ini. Di mana kalian sudah lebih baik dari masa lalu. Nah, sekarang, apa yang kalian rasakan dari perubahan itu?" tanya Nisa.
"Syifa cape. Saat ada orang yang gak ngedukung, seakan mereka gak ngehargain Syifa. Tapi Syifa bersyukur, kok, sama Allah," jawab Syifa.
Nisa tersenyum dan lantas menjawabnya dengan lembut, "Sebagai muslimah yang baik, kamu pun harus menghargai proses seseorang. Meskipun orang itu baru berniat ingin berubah."
Syifa mengangguk pelan. "Meskipun dulu Syifa gak dihargain, Mi?"
"Kamu harus tetep baik, walaupun orang lain berbuat jahat sama kamu. Ingatlah, bahwa kesabaranmu akan Allah balas," ucap Nisa. "Nah, kalo Ilham gimana?"
"Mi, perjalanan hijrah Ilham udah lumayan jauh. Tapi, Ilham belum merasa cukup. Ilham masih perlu perbaikan," jawab Ilham.
"Itu wajar, Ilham. Karena sesuatu pun memang harus selalu diupgrade. Seperti misalnya keistiqomahan, jika tidak diperbarui, ya nanti kita akan futur."
Ilham dan Syifa mengangguk paham.
"Nah, sekarang Umi mau tanya. Ilham, kamu mau lanjut ke mana?" tanya Nisa.
"Kayaknya, Ilham masih mau di Pesantren Al-Ikhlas deh, Mi. Kemaren sih, Ustadz Faqih nawarin Ilham ngajar pelajaran IPS, soalnya guru IPSnya berhenti di sana. Sekalian, Ilham juga suka ikut-ikut pengajar lain belajar khusus para pengajar. Yaah, dari sana alhamdulillah Ilham bisa dapet banyak ilmu syari'ah, Mi," jelas Ilham mengenai rencana kehidupannya panjang lebar.
Ilham memang tidak terlalu pintar di sekolah. Nilai-nilai akademiknya pun pas-pasan. Tapi, untuk pelajaran IPS, selain ia menyukainya, ia juga paham pada pelajaran itu. Hanya pelajaran IPS. Karena bagi Ilham, dia akan benar-benar paham jika dia fokus pada satu hal. Tidak bisa jika belajarnya dicampur adukan dengan pelajaran lain, seperti matematika atau IPA. Ah, pusing. Begitulah Ilham beranggapan.
Nisa tersenyum lega. "Alhamdulillah. Umi selalu berharap, kamu bisa bermanfaat bagi sesama. Tapi, kamu gak mau lanjut kuliah, Ham?"
"Ilham mau belajar agama aja sama ngafal Quran di pesantren. Sekalian ngajar IPS juga. Buat kuliah, setelah Ilham paham Ilmu agama, nanti Ilham fikirin lagi."
Entahlah, ada angin apa yang berhembus pada diri Ilham. Bagi Ilham, Allah pasti akan selalu memudahkan hambanya yang menginginkan ilmu agama. Seperti sabda Nabi. SAW,
"Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan baginya, niscaya Allah akan menjadikannya paham dalam agama."
"Umi akan selalu dukung Ilham, selama itu kebaikan. Kalau Syifa, mau lanjut ke mana setelah ini?"
Syifa menunduk, terlihat seperti tengah berfikir keras. "Eum, Syifa gak tau, Mi. Syifa ragu. Tapi setelah Syifa hijrah ini, Syifa merasa nyaman dengan Al-Quran. Boleh kan, Syifa ngafal Quran dulu?" Syifa ragu.
"Tentu boleh, Syifa. Tapi, kalian berdua tau tidak, sumber kesuksesan kalian itu ada di mana?" tanya Nisa yang berhasil membuat mereka berfikir cukup keras.
Waktu terus berdetik. Nisa memang sengaja meminta untuk menyita waktu mereka. Ini hanya sebagai pancingan keduanya, agar bisa menerima ibu kandungnya kembali.
Akhirnya, mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala, pertanda bahwa mereka tak tau.
"Jawabannya adalah..." Ucapan Nisa menggantung dan dibalas dengan tatapan mata mereka yang penuh harap. "Orang tua kalian."
Mereka terdiam sejenak dan lantas Ilham menjawab,"Umi orang tua kita, setelah ayah. Gak peduli, meskipun Ibu tiri."
"Iya, Umi tau. Tapi Umi bukan wanita yang melahirkan kalian."
"Maksud Umi apa? Umi mau kita balik lagi ke Bunda yang gak pernah nganggap kita?" Kali ini Syifa angkat bicara.
"Ilham, Syifa," Nisa berkata dengan sangat lembut. "Biar bagaimanapun dia tetap ibu kandung kalian. Bahkan, ridho Allah itu adalah saat orang tua kita ridho. Kalo Bunda kalian gak ridho, nanti Allah pun gak ridho. Percayalah, Bunda kalian sudah menyesali semua. Berharap dia tidak mengulangi kembali. Bunda menyayangi kalian, Ilham, Syifa."
Ilham menghembuskan nafasnya. Mereka terlihat diam menanggapi kata-kata Nisa yang terakhir itu.
______________________________________
Sudah lama sekali mobil sedan berwarna silver itu terparkir di depan Masjid At-Taqwa. Sang pemilik mobil itu terlihat sangat khusyu' melaksanakan sholat yang ia lanjutkan dengan doa. Wanita itu menangis sesenggukan di akhir doanya. Entah sampai kapan ia akan menangis dan berada di masjid itu.
Waktu sudah semakin sore. Mentari yang bersinar di siang hari pun akan segera memberikan tugasnya pada Sang Bulan. Karena langit sebentar lagi akan menjadi gelap.
Seorang lelaki yang datang ke masjid itu untuk persiapan sholat magrib menghampiri wanita itu.
"Assalamualaikum. Permisi, Bu," ucap lelaki itu.
Wanita itu menoleh ke arah lelaki yang menyapanya.
"Kamu, Bagas, kan?" tebak wanita itu.
Lelaki yang ternyata bernama Bagas itu mengangguk dan lantas duduk agar menyetarakan dengan wanita itu. "Iya, Bu."
"Ini tante Shilla. Bundanya Syifa."
"Oh, subhanallah, tante? Tante sedang menunggu waktu magrib kah? Gak biasanya tante di sini?" Bagas terkejut.
"Setelah sholat Isya, tante boleh, ngomong sama kamu?"
Bagas mengangguk. "Boleh, tante."
Sholat Magrib dan Isya telah mereka laksanakan dengan berjamaah di masjid itu. Shilla ikut sholat juga dengan beberapa ibu-ibu komplek yang sering ikut jamaah.
Shilla menunggu Bagas keluar di teras masjid. Saat itu, dia sempat menjadi perbincangan ibu-ibu saat ia mengatakan bahwa ia adalah Ibu kandung Ilham dan Syifa. Setelah itu Shilla ditatap sinis oleh semua ibu-ibu. Ia hanya bisa tersenyum sambil menunduk. Ia merasa pantas mendapatkan tatapan sinis itu. Konflik keluarganya dengan Arif memang sudah menyebar.
"Tante?" Bagas membuyarkan lamunan Shila.
Shilla terperanjat kaget. "Oh, iya."
"Di rumah Bagas aja, yuk! Rumah Bagas deket kok. Biar lebih nyaman juga ngobrolnya," ucap Bagas ramah.
Mereka pun berjalan menuju rumah Bagas yang ternyata memang dekat jaraknya dengan masjid At-Taqwa. Di sana, Shilla disambut hangat oleh keluarga Bagas. Biar bagaimanapun, orang tua Bagas pernah merestui hubungan Bagas dan Syifa ketika pacaran, dulu.
Bahkan, Bagas pun pernah dinasehati oleh Ayahnya mengenai sikap Syifa dulu, "Mungkin sikap Syifa kurang baik. Tapi kalo kamu sayang, ajari dia baik-baik, agar perlahan dia berubah menjadi perempuan yang baik."
Saat itu mereka berada di ruang tamu. Design ruang tamu yang mewah membuat mereka terasa nyaman dan tenang ketika berbincang.
Shilla menceritakan semuanya. Dari awal kesalahannya sampai keadaannya saat ini yang dalam keadaan tak memiliki apa-apa selain mobil sedan berwarna silvernya. Ia memang mengalami kerugian yang luar biasa setelah melakukan kesalahan beratnya beberapa waktu yang lalu.
"Tapi saya ingin berubah, Pak, Bu, Bagas. Saya ingin kembali pada Allah," ucap Shilla sambil menunduk penuh penyesalan.
Ibunya Bagas mengelus pundak Shilla. "Saya bangga sama Bu Shilla."
"Lakukan yang terbaik, Bu. Jadikan ini sebagai jalan taubat. Allah selalu menunggu hambaNya yang ingin kembali," ucap Ayahnya Bagas.
_____________________________________
Keesokan harinya, Bagas berniat untuk datang ke rumah Ilham. Namun, saat ia bertanya pada Nisa, Ilham sedang pergi ke kajian.
"Eum, Syifa nya, ada, Tante?" tanya Bagas ragu.
"Ooh, ada. Memangnya ada apa, Gas?" tanya Nisa heran.
"Saya bukan ingin macam-macam, kok. Ada amanah dari Tante Shilla. Beliau ingin berbicara dengan Syifa. Sekarang beliau ada di rumah saya. Jadi saya minta izin mengajak Syifa ke rumah," ucap Bagas kikuk.
"Ooh, iya. Sebentar tante panggil dulu Syifanya. Bagas boleh duduk dulu." Nisa mempersilahkan Bagas duduk di kursi yang berada di teras rumahnya. Bagaspun duduk. Baru saja ia akan duduk, tiba-tiba seseorang keluar dari rumah tersebut. Orang tersebut terlihat anggun dengan memakai gamis hitam dan kerudung segi empat abu-abu.
"Ada apa, Ka?" tanya Syifa yang sepertinya tak tahu apa-apa.
"Tante Nisa sudah mengizinkan kok. Ayo ikutin Kakak!" perintah Bagas.
Syifa tak mengerti dan masih mematung di ambang pintu saat Bagas justru sudah berjalan menuju gerbang rumahnya.
"Ayo! Kakak gak bakal macam-macam, kok!" seru Bagas.
Bagas berjalan di depan Syifa. Dan di belakangnya, Syifa mengikuti sambil menunduk. Tak ada perbincangan di antara keduanya. Mereka hanya diam, tapi tidak untuk kedua hati mereka. Bergemuruh tak jelas. Bergetar tak karuan.
Mereka tau, sudah lama sekali mereka tak pernah bertemu. Syifa yang kemarin sebelum liburan harus berada di pesantren, dan Bagas yang saat ini tengah kuliah Pendidikan Matematika. Selain itu, akhir-akhir ini juga Bagas sibuk mengurus pekerjaannya membuka tempat LES MIPA khusus bagi anak-anak SMP. Harapannya ia akan membangun tempat yang lebih luas agar programnya yang lain terwujud, yaitu membuka tempat LESnya untuk semua kalangan. Namun, semuanya adalah proses. Dia tengah mengistiqomahkan dulu yang saat ini.
"Apa kabar?" Suara itu terucap dari mulut Bagas. Syifa sedikit terkejut dan tak menjawab.
"Apa kabar, Fa?" Sekali lagi, Bagas bertanya.
Syifa kikuk. "Hah, b-baik. Alhamdulillah. "
Alhamdulillah, ucap Bagas lirih.
"Kakak apa kabar?" Syifa bertanya balik.
"Alhamdulillah," jawab Bagas.
Entahlah, perjalanan saat itu terasa seperti sangat jauh. Terasa begitu lama. Padahal, rumah mereka berjarak tidak terlalu jauh.
"Kak?" ucap Syifa.
Bagas hanya berdeham.
"Kok, kita lewat ke blok C, sih? Kan ada jalan pintas. Biasanya suka lewat sana?" Syifa bingung.
Bagas hanya diam. Dia sendiri pun bingung. Apa karena gugup, kakinya jadi salah arah? Ah, ada-ada saja.
"Kamu masih menjaga hati?" Bagas tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Maksudnya?" Syifa tak mengerti ke mana arah bicara Bagas.
"Yaa, gitu." Kali ini Bagas semakin tak jelas.
"Memang sudah seharusnya Syifa selalu menjaga hati, Kak. Berharap, hati Syifa tidak jatuh pada seseorang yang tidak mencintai Allah."
"Kamu mau, nunggu Kakak?" tanya Bagas serius.
"Nunggu apa?"
"Eum. Ya, tunggu aja di rumah lah!"
Tak sadar, ternyata mereka sudah sampai di depan rumah Bagas. Bagaspun terlihat jadi salah tingkah telah mengatakan hal tadi pada Syifa. Berharap Syifa tak mengerti dengan tujuan pembicaraannya.
Setelah sekian lama tak jumpa.
Bagaimana kabar hatimu?
Sudahkah merasa lebih baik dari sebelumnya?
_____________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top