Bab30 | Keraguan
Matahari semakin naik. Cahayanya semakin terik. Wisuda Pesantren Al-Ikhlas sudah berada di penghujung. Saat itu hanya acara foto-foto bersama keluarga masing-masing yang diwisuda. Azam, Ustadzah Aisyah, Ustadz Faqih, Ara, Zidan, dan beberapa keluarga Pesantren Al-Ikhlas terlebih dahulu dipotret di atas panggung aula. Melihat senyum manis Azam, Syifa yang berdiri di belakang tersenyum pula. Ia masih ingat dengan senyuman itu. Hanya saja, selama ini ia tak pernah sadar, jika senyuman Azam adalah senyuman Ali. Syifa mulai rindu.
Acara telah selesai dilaksanakan. Sebagian yang diwisuda sudah mempersiapkan diri untuk kembali ke rumah, sebelum akhirnya meninggalkan Pesantren. Santri-santri yang lainnya kembali ke asrama, karena nanti malam akan tetap ada Halaqah Quran.
Syifa berjalan menuju asrama akhwat. Jarak dari aula gabungan ke lingkungan akhwat memang cukup membutuhkan waktu. Kurang lebih 5 menit waktunya jika berjalan kaki. Saat itu Syifa tak sendiri, ia berdua dengan temannya yang bernama Vivi. Vivi ini adalah teman satu angkatannya. Dia baik dan menerima Syifa apa adanya.
"Vi, akhirnya aku ketemu juga sama temen masa kecil aku. Ternyata kita emang sering ketemu, tapi kita gak saling tau," curhat Syifa di perjalanan menuju asrama.
"Oh ya?"
"Iya, orang yang selama ini aku tunggu ternyata dekat."
"Kalo bukan jodoh?" tanya Vivi sambil mengangkat sebelah alisnya.
____________________________________
Yang menurut kita baik, bisa jadi menurut Allah itu buruk. Sebaliknya, yang menurut kita buruk, bisa jadi menurut Allah itu baik. Selama ini, kita tak pernah tau, jika dibalik harapan kita ada takdir yang telah tercatat pasti di lauh mahfudz. Kenapa tak boleh berharap pada manusia? Karena sudah seharusnya kita hanya meminta pada Allah. Allah lah sebaik-baik tempat berharap.
Kini, Azam telah menjadi alumni dengan nilai UN dan Ujian Pesantren tertinggi di Pesantren Al-Ikhlas. Sedangkan yang menjadi Santri dengan nilai Tahfidz terbaik diraih oleh Nurul. Jujur saja, Azam memang kagum pada Nurul. Sudah lama mereka bersaing di Pesantren itu untuk menduduki Santri dengan nilai tertinggi.
Sudah lama Nurul menjadi sahabatnya. Dia memang selalu ada. Bahkan, dari semenjak Fatimah belum pindahpun ia selalu ada dan baik padanya. Ia dan Nurul sudah seperti keluarga, terlebih Nurul adalah anak dari sahabat Abinya.
Saat itu, Nurul dan Azam tengah duduk di teras rumah Azam. Mereka terlihat seperti tengah tertawa bersama. Ada satu topik pembicaraan yang membuat mereka tertawa lepas bersama.
Masa lalu. Ya, masa lalu itu kembali mereka putar bersama hingga menciptakan suasana hangat di antara keduanya. Mereka memang dekat dan Nurul adalah gadis beruntung ketika Fatimah pergi. Azam memang sudah bersahabat lama dengan Nurul. Nurul lah yang mengobati sedihnya selama Fatimah pindah. Nurul lah yang membangkitkan semangatnya kembali.
"Makasi banyak ya, Nur," ucap Azam sambil menunduk.
Nurul menoleh ke arah Azam yang duduk di kursi sebelahnya, namun masih ada jarak di antara keduanya. "Makasih buat apa?"
"Yaa, buat semuanya. Makasih aja, dari dulu udah mau jadi sahabat aku."
Nurul hanya tersenyum mendengar itu. "Oiya, Zam, kamu jadi lanjutin kuliah di Al-Azhar, Kairo?"
Azam mengangguk pelan. "Insyaallah, target sampe S1 dulu di sana."
"Loh, gak sekalian S2, Zam?"
"Eum, hehe ... S1 aja dulu. Abis itu target menyempurnakan sebagian iman dulu," Azam terkekeh pelan.
Nurul tersenyun kaku sambil tersenyum. Pandangan Nurul tiba-tiba teralihkan saat ada seorang gadis berjalan menghampiri mereka berdua. Itu pasti Sarah, batinnya sambil tersenyum puas.
"Eh, Zam, ada yang mau ketemu kamu. Ayo ikut aku ke depan!" ajak Nurul sambil berjalan cepat ke halaman rumah Ustadzah Aisyah untuk menemui gadis yang baru datang itu.
Gadis dengan menggunakan gamis berwarna abu-abu itu tersenyum sambil menunduk saat Azam datang.
"Assalamualaikum, Kak Nurul," ucapnya.
"Waalaikumussalam," jawab Nurul dan Azam yang menjawab lirih.
"Kak Ali mana, Kak Nurul?" tanya gadis itu yang sontak saja membuat Azam tersentak kaget.
"Oh, ini Ali, Fa." Nurul menunjuk ke arah Azam.
Gadis itu tersenyum sambil menatap ke arah Azam. "Ini Kak Ali? Masyaallah, Kak Ali juga udah makin tinggi. Hehe, Kak, ini Fatimah. Kak Ali masih inget kan? Ini Fatimah yang takut sama laba-laba, Fatimah yang selalu Kakak lindungin. Fatimah kangen sama Kakak," ucap gadis yang mengaku sebagai Fatimah itu. Nada bicaranya seperti anak kecil, namun ia terlihat menunduk saat mengatakannya.
"Ka-kamu, kamu Fatimah?" tanya Azam ragu.
"Kak Ali emang pasti lupa sama Fatimah, tapi Fatimah gak akan pernah lupa."
Azam tertegun. Seandainya Fatimah tau, Kak Alimu ini tak akan pernah lupa sama Fatimah. Tapi, Fatimah bener-bener udah bikin kecewa! batin Azam.
"Kalo Kakak ada waktu, dateng yah, ke acara pernikahan aku, nanti. Ka Ali tenang aja, acaranya masih nunggu aku lulus kok, tahun depan."
Hati Azam semakin sesak. Dadanya naik turun menahan sesak itu. Rahangnya mengeras, namun bibirnya berusaha ia lengkungkan hingga bisa tersenyum walau dengan susah payah. Azam berusaha menahan sesak. Gaya bicara gadis yang mengaku sebagai Fatimah itu memang tak jauh beda dengan Fatimah masa kecilnya. Azam semakin ingin berhenti untuk berharap.
"Kak Ali udah ada calon belum? Atau sama Kak Nurul, ya?" goda Fatimah.
Azam berusaha menahan sesak yang semakin menjadi itu. "Saya duluan ya, soalnya ada beberapa santri yang minta belajar tambahan pada saya. Wassalamualaikum."
Azam sama sekali tak menjawab pertanyaan Fatimah. Itu memang terlalu menyakitkan untuknya, namun ia berusaha tegar. Gadis kecil yang selama ini ia cari dan harapkan, justru malah merobohkan tekadnya. Azam pergi dengan membawa kepingan hati yang terluka.
Di sana, yang tersisa adalah Nurul dan Fatimah. Nurul terlihat tengah tersenyum ke arah Fatimah tadi.
___________________________________
Waktu tak pernah berhenti berdetik, sama seperti semangat Syifa yang tak pernah padam. Ia harus benar-benar berusaha menyusul pelajaran di sekolah. Maklumlah, dia baru saja masuk di perjalanan menuju UAS. Dia akhir-akhir ini disibukkan dengan banyak bertanya pada teman-temannya yang pintar di kelas. Dia tak berniat untuk mengatakan bahwa dirinya Fatimah pada Azam akhir-akhir ini. Entahlah, baginya, mempersiapkan untuk UAS jauh lebih penting. Kalo masalah ngasih tau Ka Ali, itu mah bisa abis beres ulangan juga, batin Syifa santai.
Di hari-hari UAS, Syifa tak pernah menyia-nyiakan sedikit saja waktu yang ia miliki. Setelah ulangan pertama selesai, segera ia lanjut belajar untuk hari berikutnya. Hari itu memang hari-hari yang cukup berat bagi Syifa. Meski telah belajar dan menghafal, kadang selalu saja ada yang belum ia pahami. Namun, ia selalu ingat perkataan Azam yang ternyata Kak Alinya itu, jika usaha tidak akan menghianati hasil.
"Hasilnya biar Allah yang menentukan, yang penting kita sudah berusaha dengan maksimal!" gumamnya.
Tak terasa, ulanganpun telah selesai. Saat itu Syifa tak pernah menyesal jikalau hasilnya tak memuaskan, karena ia merasa, jika ia telah berusaha dengan keras untuk mendapatkannya.
Dari ulangan, Syifa belajar banyak hal. Ternyata, belajar itu bukan untuk ulangan. Tapi ulangan untuk belajar.¹ Belajar itu bukan hanya ketika akan ulangan, tapi belajar itu setiap hari. Selain itu, ada banyak hal lagi yang ia dapat, tentang mengatur waktu. Ia sadar, ternyata, waktu tidak akan terbuang sia-sia jika digunakan untuk belajar. Syifa sangat mensyukuri keadaannya saat ini.
____________________________________
Setelah pembagian rapot, saat semua santri bersiap-siap pulang untuk liburan panjang, Syifa justru tengah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Azam sambil menunggu jemputan dari Sang Umi. Ia berniat untuk mengetuk pintu rumah Ustadzah Aisyah, namun ia kalah cepat. Pintu itu tiba-tiba terbuka.
"Loh, Syifa?" tanya Ustadzah Aisyah yang terkejut saat mendapati Syifa berada di depan pintu.
"Eh, assalamualaikum, Ustadzah," ucapnya sambil terkekeh pelan.
"Waalaikumussalam. Kamu belum dijemput sama Umi kamu?" tanyanya.
"Belum. Eum, Ka Azam nya ada?" tanya Syifa.
"Coba ke halaman belakang deh."
Syifa mengangguk paham. "Makasih ya, Ustadzah. Assalamualaikum," ucapnya sambil mencium tangan Ustadzah Aisyah.
"Iya, waalaikumussalam."
Segera Syifa berjalan ke halaman belakang rumah Azam. Sebelumnya, ia tak tau keadaan halaman belakang rumah Azam. Yang pasti, di sana banyak sekali pepohonan rindang yang mengelilingi rumah. Saat ia berjalan lebih jauh, ia mendapati sosok lelaki berdiri menghadap ke arah alam yang menampilkan pemandangan indah.
"Ka Ali!" teriak Syifa yang membuat Azam menoleh reflek.
"Loh, Syifa? Ngapain ke sini?" tanya Azam dingin.
Syifa mendekati Azam. "Ka Ali masih inget, sama Fatimah?"
Azam tertegun saat mendengar nama itu lagi. Satu nama yang berhasil menusukkan ribuan duri di hatinya. Ia hanya diam, tak menjawab.
"Apa Ka Ali masih mencari Fatimah?" tanya Syifa lagi.
Azam menghembuskan nafasnya kasar. "Kamu tau apa tentang Fatimah?"
"Tentu aku tau, karena akulah Fatimah."
Azam tak paham. Hatinya sudah terlanjur tertutup oleh Fatimah yang dulu pernah datang. Dan sekarang, ada lagi yang mengaku sebagai Fatimah. "Saya tak paham. Afwan, saya harus pergi."
"Eh, tunggu!" tahan Syifa.
"Apa lagi?" tanyanya datar, tak berekspresi.
Syifa menunduk dalam. "Seandainya Kakak tau, bahwa Fatimah selalu menunggu Ka Ali."
Azam terlihat tengah berfikir keras. Ia segera menggelengkan kepalanya cepat. Antara ia percaya atau tidak percaya. Namun, hatinya sudah terlanjur tertutup.
"Seandainya Ukhty tau, bahwa saya tak suka jika Ukhty mengingatkan saya pada masa lalu itu! Dan tolong, Ukhty jangan mengaku-ngaku sebagai Fatimah. Fatimah itu sudah tidak ada bagi Ali!" Azam lantas pergi, meninggalkan Syifa seorang diri dengan keadaan hati yang hancur berkeping-keping.
Syifa tertegun. Dadanya naik turun menahan sesak di hati. Hembusan angin siang mengibarkan kerudungnya. Air matanya meleleh. Benteng pertahanannya roboh. Ia menangis sesenggukan.
Ia berucap lirih, "Tapi aku Fatimah ...."
Biarlah angin menjadi saksi bisu, bahwa dirinya adalah Fatimah. Biarlah angin yang tau, bahwa Ali yang dulu selalu melindungi, justru malah menyakiti Fatimah.
Benar, takdir itu hanya Allah saja yang tau.
Bolehkah aku jujur? Jika orang yang kita harapkan, ternyata belum tentu mengharapkan kita pula. Allah memang Maha Membolak Balikkan Hati.
Tapi, ini terlalu menyakitkan. Yang dinanti selama belasan tahun, justru malah pergi.
____________________________________
Sudah sekitar seminggu Azam menginap di rumah Sang Nenek, sebelum akhirnya ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studynya. Selama liburan ini, Azam sering ikut Nurul untuk mengajar ngaji anak-anak kecil di Masjid At-Taqwa. Hari demi hari ia lalui. Kadang, ada rasa gelisah di hati Azam, saat mengingat percakapannya dengan Syifa siang itu. Azam pernah bercerita pada Nurul mengenai percakapan itu.
"Zam, yang namanya Fatimah itu banyak!" ucap Nurul setelah mendengar curhatan Azam tentang percakapan itu.
"Gimana kalo Syifa beneran Fatimah?" tanya Azam.
"Bukannya udah jelas, yang dulu datang itu Fatimah? Lihatlah sifat Syifa ke kamu waktu kamu ngajarin dia ngaji! Sebaik Fatimah temen masa kecil kamu, kah, sifatnya?"
"Tapi, Syifa dan Fatimah punya banyak kesamaan."
"Zam, yang takut laba-laba itu banyak! Yang namanya Fatimah itu banyak! Bahkan namaku pun ada Fatimahnya. Udahlah, Zam, hentikan harapan kamu itu!" ucap Nurul.
Azam hanya bisa diam. Entah ia harus berfikir berapa kali mengenai ini. Tapi baginya, Nurul benar, bahwa Fatimah sudah jelas akan menikah. Ia pun memutuskan untuk bercerita pada sahabatnya, Ardhan.
"Dulu, Ukhty Syifa itu pernah mengaku bahwa dia Fatimah, Dhan," curhatnya, seakan jika ia bercerita pada Nurul belum membuatnya puas.
"Terus, gimana?"
"Nah, ada lagi Fatimah yang ngaku temen masa kecil Ane, dan dia mau nikah sama orang lain. Ane jadi bingung, Dhan. Antara yakin gak yakin kalo Syifa itu Fatimah." Azam semakin bingung. Ia mengacak-ngacak rambutnya.
Ardhan terkekeh pelan melihat tingkah bingung sahabatnya itu. "Yang sabar. Kalo kata Ente Fatimah itu udah mau nikah, kenapa Ente gak sama Syifa aja?"
"Ane ragu, Dhan."
"Hilangkan apa yang meragukanmu, pada apa yang tidak meragukanmu, Zam! Sebenernya, hati Ente buat siapa?
Tak ada jawaban satu katapun dari Azam. Dari sana, dia sadar, jika ternyata dirinya masih labil.
Rabb, hilangkanlah keraguan ini...
____________________________________
¹ : Perkataan Ustadzku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top