Bab25 | Cahaya Hidayah
Selama perjalanan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Syifa. Ilham yang tengah sibuk menyetirpun penasaran, ada apa gerangan yang terjadi pada adik satu-satunya itu? Jika biasanya cerewet dan bawel, kenapa saat itu Syifa mendadak jadi pendiam.
"Kenapa sih, Fa? Kok, diem mulu. Lo disakitin Bagas, apa gimana sih?" tanya Ilham.
Syifa menggelengkan kepalanya cepat, tanda bahwa ia menolak jika Bagas menyakitinya. Tentu saja. Bagas tak pernah menyakitinya.
"Terus lo kenapa? Udahlah, gak usah gengsian, curhat aja. Gini-gini juga gue Abang lo."
Syifa mulai sesenggukan, saat kata-kata pedas membakar hati yang keluar dari mulut Fiany tadi terekam kembali. Ia sedih. Ia kecewa. Kecewa pada ibu kandungnya. Sejahat apapun ibunya, tetap saja dia yang melahirkan.
"E eh, jangan nangis dong," ucap Ilham yang lantas menghentikan laju mobilnya.
"Ibu, kak...," ucap Syifa lirih.
Ilham mengernyitkan alisnya. "Ibu?"
Setelah itu Syifa menceritakan dan mengatakan semua yang tadi Fiany katakan. Benar-benar kabar yang menyayat hati, saat mengetahui bahwa ibu kandungnya melakukan hal sekeji itu. Hati Syifa seketika hancur, saat Fiany mengunggah foto ibunya tengah berbincang mesra bersama ayahnya Fiany. Foto itu diunggah di instagram pribadi milik Fiany dengan caption,
Perusak Hubungan Orang. Lihat itu suami siapa? Maen gandeng-gandeng aja. Mana gandeng cowo yang udah berkeluarga lagi, gak elite banget sih tuh cewe murahan. Ibu sama anaknya @syifafa sama aja, sama sama PHO.
#stopPHO
Begitulah keterangan dari gambar yang Fiany posting. Tak kalah malunya saat Fiany menandai akun instagram Syifa. Syifa malu. Terlebih, saat tak lama setelah itu banyak yang berkomentar negatif mengenainya.
Tangisnya semakin menjadi. Syifa terisak hebat. Antara malu dan kecewa berat pada ibunya. Syifa jatuh ke dada bidang sang kakak yang lantas memeluk hangat adiknya itu. Ilham mengelus pelan pucuk kepala Syifa. Biar bagaimanapun juga Syifa tetaplah adik yang wajib dia jaga dan lindungi.
"Syifa udah di cap buruk sama satu sekolah, Ka. Bahkan kepala sekolah pun tau kabar ini. Syifa malu, Syifa malu." Syifa menggelengkan kepalanya sambil terisak.
"Apa sih maunya cewe yang gak nganggap kita anak itu? Secara gak langsung, kita kebawa buruk gara-gara dia!" Bagas mengepalkan tangannya dengan kuat.
***
Rumah 2 tingkat mewah bercat hitam dan merah itu terlihat sepi. Lampu luarnya menyala, padahal saat itu masih pukul 13.00.
Mobil mewah berwarna putih milik si sang penghuni terparkir di sisi jalan, tanda bahwa si pemilik rumah ada di dalam.
Tok, tok, tok...
Ketukan pintu yang keras itu benar-benar mengganggu penghuni rumah. Tak lama setelah itu, terbuka lah pintu, hingga menampilkan badan tegap Alex. Masih ingat dengan lelaki itu?
"Mau apa?" tanya Alex pada Ilham datar.
Ilham melihat ke dalam rumah, mencari orang yang ia tuju. "Mana cewe lo?" tanya Ilham.
"Cewe apa? Ibu lo? Hah, di rumah ini bukan tempat penipu. Gaada! Gaada cewe itu di sini."
"Maksud lo?" Ilham penasaran, sebenarnya apa saja yang dilakukan ibunya itu.
Alex menepuk pundak Ilham, kali ini ia bersikap lebih ramah. Ia menghembuskan nafasnya kasar. "Gue sekarang sadar, bahwa gue salah. Harusnya gue gak benci ke ayah lo, karena ternyata gue udah salah mencintai. Ibu lo pacaran sama gue cuma mau harta. Rumah yang gue bikin buat kita berdua di Inggris dia jual, dan uangnya dia ambil, abis itu kabur. Gue gatau dia dimana."
"Gue tau lo orang baik. Gue juga udah salah benci. Orang baik kaya lo gak berhak dibenci. Sorry atas sikap gue dulu."
"Tenang aja. Gue belajar banyak dari kelakuan licik ibu lo! Bersyukur kita belum nikah. Kabarnya, dia sekarang jadi selingkuhannya orang."
"Gue tau."
***
Ilham memasuki mobil Lamborghininya dengan tangan kosong yang ia kepal kuat.
Seburuk apa ibunya di hadapan banyak pihak? Ia sungguh malu. Jika saja wanita itu bukan yang melahirkannya, mana peduli Ilham.
Di perjalanan menuju rumahnya, tak sengaja Ilham melihat wanita yang saat itu ia benci di depan klub malam. Klub yang dulu hampir setiap hari ia kunjungi. Tempat yang sama.
Amarahnya saat itu mulai bergejolak. Hatinya bergemuruh. Rahangnya mengeras, terlebih saat ia melihat wanita itu tak jalan sendiri, tapi jalan dengan ayahnya Fiany.
"Argh, cewe murahan!!!" Ilham menonjok stir di hadapannya.
Drrrttttt...
Ponsel Ilham bergetar, tanda ada yang menghubungi. Segera ia buka dan mengangkatnya saat tau bahwa itu panggilan dari Syifa.
"Halo?"
"Kak, udah... Kakak pulang aja, ini udah tengah malem."
"Cewe itu beneran murahan, Fa. Dia ke klub malam yang dulu kita kunjungi sama bokapnya Fiany. Emosi gue!"
"Istigfar, Ka. Syifa mohon. Kakak pulang ya, Kak?" Syifa memohon dengan nada yang begitu memelas.
Ilham segera menghembuskan nafasnya kasar. Sungguh, ia tak bisa membantah Syifa. Syifa adalah orang yang membantu banyak dalam perubahannya. Hatinya tiba-tiba luluh, terlebih saat mendengar ada isakan di sebrang sana. Ia tau Syifa menangis.
"Ka, cukup kakak fokus untuk berubah menjadi lebih baik. Gak usah mikirin hal lain yang bisa ngeganggu proses hijrah kakak. Istigfar, Kak."
Astagfirullahaladziim..., sambil menghembuskan nafasnya perlahan, Ilham beristigfar. Ia memejamkan matanya, menyadari berbagai macam kesalahannya di hadapan Allah.
Ia salah. Ia terlalu kreatif untuk mencari kebenaran, bahwa ibunya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Tanpa ia sadari, jika dirinya pun ternyata telah melakukan kesalahan di hadapan Allah. Kesalahannya di masa lalu, sudahkah terampuni? Dan sekarang ia malah mencari kesalahan orang lain, padahal diri sendiri pun belum tentu lebih benar.
Air matanya meleleh, merobohkan benteng pertahanan gengsinya di hadapan orang-orang. Ilham yang terlihat cuek dan gagah, justru hatinya luluh saat mengatakan istigfar. Segera ia lajukan mobilnya ke masjid terdekat. Sungguh ia tak kuasa menahan sesak saat mengingat masa lalunya yang kelam. Ia turun dari mobil dengan langkah cepat, segera masuk ke tempat wudhu.
Masyaallah, sejuk sekali dirasakannya saat air rahmat Allah membasahi sebagian tubuhnya. Setelah itu, ia masuk ke masjid yang berukuran tidak terlalu besar itu.
Dirinya ambruk setelah selesai sholat taubat. Ia sujud dengan khusyuk di tengah malam nan sunyi itu. Isakan tangisnya tak kunjung berhenti, betapa malunya ia dihadapan Sang Pencipta. Ia merasa sangat dekat dengan Allah. Merasakan kasih sayang-Nya yang tak pernah berkurang sedikitpun.
Maha Besar Allah. Begitu Maha Pemaaf Allah. Maha Penerima Taubatnya Allah. Begitu baiknya Allah.
Semua orang pasti diberi hidayah. Hanya saja, berbeda orang, berbeda pula cara menggapainya.
Begitupun dengan, kita akan diberi 2 rumah oleh Allah di akhirat kelak. Ada yang di surga, dan ada yang di neraka. Semua orang pasti memilih yang di surga. Tapi yang menentukan itu adalah amalannya.
Rabb, ampuni aku..., ucap Ilham lirih.
***
"Ilham?"
Ilham bangkit dari tidurnya setelah beberapa lama menangis dan berdoa. Matanya membuka secara perlahan, dan mengatur cahaya yang masuk ke retina matanya. Yang ia lihat saat itu adalah gadis cantik dengan balutan kerudung tosca di kepalanya. Tak salah melihat kah, ia?
"Hah? Nurul?" Ilham menunjuk ke arah gadis yang ia panggil Nurul itu.
"Kamu ngapain?" tanya Nurul bingung, sambil melanjutkan membereskan Al-Quran yang berantakan.
"Tadi malem aku abis sholat. Kamu ngapain di sini?"
"Aku yang bertanggung jawab dalam hal kebersihan di masjid At-Taqwa ini. Maaf, aku harus pamit." Saat Nurul akan beranjak pergi, Ilham segera mencegah.
"Nur, gue masih cinta sama lo!" ucap Ilham. Saat itu Nurul membelakanginya.
"Cinta yang sesungguhnya itu tidak dinyatakan di hadapanku langsung."
"Lah terus, di hadapan siapa? Di hadapan Ayah lo? Atau kalo perlu gue khitbah lo saat ini juga," tantang Ilham pada dirinya sendiri.
Nurul menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kau belum menemukan hakikat cinta yang sesungguhnya. Cinta itu memang hanya harus diikat dengan menikah. Tapi kamu hanya tau cinta pada manusia, kamu belum bisa menemukan cinta yang sesungguhnya. Cintailah Allah, Ham. Itu lebih berhak untukmu. Maka kelak, akan kau temukan arti cinta karena Allah..."
___________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top