Bab19 | Hijrah Hati...


S

yifa menyusuri koridor dengan langkah santai. Fyuh! Ia merasa cukup lelah, dan masih merasa lelah telah membujuk Pa Satpam tadi. Ternyata, orang yang cerdik sangat diperlukan. Bukan untuk menipu orang, tapi untuk menyelamatkan diri.

Kerudungnya saat itu sudah tak beraturan. Bahkan sampai beberapa helai rambutnya keluar. Sepoi angin mengibarkan kerudung panjang putihnya. Sesekali ia memasuk-masukkan helaian rambutnya yang keluar. Memakai ciput pun serasa tak ada gunanya. Bagaimana tidak? Untuk apa Syifa memakai ciput, jika tetap saja rambutnya terlihat.

Saking sibuknya membenarkan kerudung, ia tak menyadari, jika dari arah yang berlawanan dengannya ada seorang lelaki yang juga tengah berjalan. Syifa sibuk dengan kerudungnya, sedangkan lelaki itu tengah fokus pada tumpukan buku di pelukannya yang sesekali merosot. Keduanya tak fokus pada jalannya masing-masing. Mereka fokus pada kesibukannya, sampai tak melihat lurus ke depan. Hingga...

Brukk...

Buku-buku yang dibawa lelaki itu berjatuhan ke bawah. Sedangkan untuk kedua kalinya Syifa tertusuk jarum. Kali ini jari tengahnya menitikkan darah. "Shh... aww!" ringisnya.

Lelaki itu membiarkan buku-bukunya berserakan; tak peduli. Ia lebih mementingkan keadaan Syifa. Terlebih, saat ia mengetahui, jika jari Syifa berdarah.

"Sorry, lo gapapa, kan?" Ah, sebenernya, ini adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab lagi. Sudah jelas Syifa kesakitan. Tentu ada 'apa-apa', bukan 'gapapa' lagi.

"Gapapa gimana? Sakit tau! Udah gue telat, lo malah bikin gue tambah telat!" gerutu Syifa yang masih sibuk meniup-niup jarinya. "Sakit ih..."

Lelaki itu mengeluarkan selembar kain biru persegi dari saku seragamnya. "Nih, pake ini," tawarnya, sambil menundukkan bahunya, dan menyodorkan kain itu ke Syifa untuk mengelap darah yang tak berhenti keluar.

Syifa mendongakkan kepalanya, melihat saputangan biru. Dan dengan reflek tentu saja ia melihat wajah lelaki itu. Mereka kontak mata. Namun lelaki itu segera mengakhirinya. "Astagfirullah," dzikir lelaki itu.

Syifa bangkit dari duduknya yang diakibatkan terjatuh tadi. Ia menepuk-nepuk bagian roknya yang kotor. Ia menunduk. Walau memang ia belum sepenuhnya hijrah, tapi masalah menjaga pandangan, Uminya selalu mengajarkan.

"Sorry...," ucap lelaki itu lagi.

"Kalo benci, bilang! Emang gue ladang maksiat ya? Lo sampe bilang istigfar? Gue juga pengen hijrah, Ka. Gue juga bisa!" ucap Syifa.

"Gue udah mandang orang yang bukan mahram gue, makannya gue istigfar. Gue cowo, Fa. Mata gue susah buat ditahan. Maaf."

Sorry, gue udah suudzon, Ka Bagas. Gue kira lo benci, sampe bilang istigfar. Ternyata lo cuma mau ngejaga pandangan lo, batin Syifa sambil memejamkan matanya; merasa bersalah telah suudzon.

"Sorry udah ngejatuhin buku-bukunya." Syifa mengambil satu per satu buku yang berserakan di lantai.

"Biar gue aja. Gue tau lo telat, cepet ke kelas. Sekarang Bu Rina yang ngajar!" perintah lelaki itu tegas.

Kalo bukan karena gue buku-buku ini jatuh, mana mau gue bantuin lo, Ka, batin Syifa lagi.

Tanpa mencuri sedikitpun pandangan, Syifa melangkah pergi, meninggalkan lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya itu sendirian mengambil buku-buku di lantai.

Bagas menatap kepergian Syifa. Semakin lama, maka akhirnya sosok Syifa menghilang karena berbelok arah menuju kelasnya. Maka, semakin lama, semakin hatinya harus ikhlas jika kelak akan kehilangan Syifa. Ah, itu bukan urusannya. Dia tak pernah tau, takdir yang seperti apa, yang Allah beri untuk mereka berdua.

"Woy! Bagas!" Bagas terperanjat kaget dan tersadar dari lamunannya saat Ilham menepuk pundaknya keras. "Buruan ke kelas, Pa Imam nungguin lo di kelas. Lo lama amat!"

Bagas bergegas cepat mengambil buku-buku, dibantu Ilham yang tingkat kepekaannya itu cukup tinggi.

Dengan langkah cepat, mereka berjalan menuju ruang kelas. Walaupun pikiran Bagas masih tak karuan. Yang ia pikirkan hanya 1, yaitu gadis yang ia tinggalkan demi hijrahnya. Ia tak pernah menyangka, jika gadis yang dulu pernah memakai kerudung, kemudian membukanya lagi karena alasan malu dihadapannya, kini justru terlihat seperti serius memakai kerudung. Entahlah, kenapa saat itu Bagas merasa ingin kembali? Maksudnya kembali memiliki Syifa. Namun, segera ia menggelengkan kepala. Hatinya sudah mantap; tak ingin lagi mengajak orang yang ia cintai untuk bermaksiat kedua kali. Sekali. Cukup sekali saja hal buruk pernah dilakukan. Jangan diulangi. Meski hatinya berontak mencari kepingan hati yang hilang, namun berusaha ia lawan. Agar untuk saat ini, biar Allah saja sebagai peneman hati. Karena ia selalu yakin, jika kelak, Sang Pemilik Hati akan mempertemukan hatinya dengan hati yang telah ditakdirkan untuknya.

Biarlah, kini gadis yang dulu pernah tersimpan dalam hati itu hijrah. Tak perlu ku ganggu lagi, agar istiqomahnya tak goyah.
Akupun kini harus istiqomah dalam perjalanan hijrah ini.
Hatiku harus ikhlas, membiarkannya juga hijrah. Mungkin, jalan hijrahku dengannya berbeda. Tapi kuharap, suatu saat nanti, aku dengannya bisa bertemu kembali di jalan yang sama. Bersama berjalan dengan ikatan halal, menuju ridho illahi...

~Bagas

Hati Bagas kacau. Otaknya terus berputar memikirkan gadis itu. Wanita yang baru beberapa bulan ia tinggalkan karena kesalahannya itu mendominasi isi hatinya lagi. Ia tak bisa. Saat ini benar-benar hatinya tak bisa menolak rasa itu. Ia semakin kagum pada hijrahnya Syifa.

___________________________________

Angin menerobos masuk melalui ventilasi dan celah-celah jendela yang terbuka, memberi sedikit kesejukan pada semua siswa yang saat itu tengah belajar fisika di dalam kelas. Meski ruang itu ber-AC, siswa-siswa di dalamnya jauh lebih menyukai udara yang alami. Sepoi angin itu kadang selalu mengundang rasa kantuk para siswa. "Duh, inimah enaknya buat tidur, Broo!" celetuk seorang siswa bermata sipit keturunan China pada temannya.

Guru yang saat itu sedang menjelaskan materi, ibarat tengah mengajarkan makhluk ghaib. Bagaimana tidak? Hapir semua siswa di kelas itu tertidur. Mulai dari yang tidur sambil menopang dagu, ada juga yang tidurnya sambil dugem atau mengangguk-anggukan kepala; menahan kepala agar tidak terjatuh. Yang lebih parah, ada yang sengaja berbaring tidur di lantai belakang; beralaskan kardus sisa bahan prakarya dan mensiasati kamus B. Inggris tebal sebagai pengganti bantal.

Di samping itu, masih tetap ada juga yang fokus memperhatikan penerangan dari sang guru. Dan rata-rata yang memperhatikan, biasanya adalah orang yang menjadi juara umum dan juara kelas abadi di sekolah.

Suasana kelas saat itu, tentu saja hening. Dan di tengah keheningan itu...

Tok... Tok... Tok...

Ketukan keras pada pintu itu membuat sebagian siswa yang tidur terbangun saking kagetnya. Pintu tiba-tiba terbuka. Semua mata tertuju pada pintu. Seorang gadis yang membuka pintu itu. Ia menjadi pusat perhatian semua orang.

"As... assalamualaikum," ucap gadis itu sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan akibat lari.

Seorang siswi bernama Alya bangkit dari duduknya, lantas berjalan menghampiri gadis itu. "Bu Rina? Ini anak baru, ya? Tapi kok mirip banget sama Syifa ya, mukannya. Gak ada bedanya sama Syifa, Bu." Alya bingung.

"Gue gak punya kembaran, Al," sambar gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Syifa.

Mendengar itu, seisi kelas terkejut dengan penampilan Syifa yang berubah drastis. Seketika, kelas menjadi berisik, ada yang cuek tak peduli, ada yang saling berbisik sambil melihat penampilan Syifa, ada yang masih rajin mencatat, bahkan ada cowo cupu yang menjadi bahan bullyan langganan Syifa sampai pinsan, tak sadarkan diri. Yang lebih terkejut adalah Bu Rina.

"Syi... Syif... Syii...," Bu Rina terbata-bata, Syifa menyambarnya, "Asyifa, Bu..."

"Syifa boleh duduk, Bu?" Seketika Bu Rina tersadar dari lamunannya. Matanya membulat sempurna. Amarahnya mulai bergejolak.

"Apa kamu bilang? Masuk? Kamu liat dong, ini jam berapa?" bentaknya sambil menunjuk ke arah jam dinding hitam yang menggantung di dinding belakang.

Syifa melirik ke arah jam. "Jam 8 lebih 5 menit, Bu," jawabnya polos.

"Wajah kamu serasa gapunya salah banget ya? Udah telat, ngejawab santai, gak sopan!"

"Tapi saya gak pernah ngerasa punya salah, tuh."

"Asyifaaaaaaaaaa!!!" Bu Rina berteriak, sampai burung-burung di atas genting kelas pun berterbangan saking terkejutnya mendengar teriakan cempreng Bu Rina.

Siswa-siswa di kelas?/ Semuanya menutup telinga.

__________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top