Bab14 | Kabur

Sudah sekitar 2 bulan Arif meninggalkan Syifa dan Ilham, selama itu juga Syifa jarang keluar dari kamarnya. Jika Nisa datang untuk menyuruh makan, Syifa malah membentaknya. Jika Nenek tirinya datang, Syifa tidak mempedulikannya.

Sejak tadi siang, Syifa telah menyiap-nyiapkan baju dan barang seperlunya untuk dimasukan ke dalam koper, begitupun dengan Ilham. Mereka berdua memang telah membicarakan hal tersebut dari beberapa hari yang lalu. Wanita bernama Shilla adalah tujuan mereka. Mereka ingin tinggal bersama orang tua kandung mereka, bukan Ibu tiri.

Pukul 10 malam, ketika penghuni rumah−Nisa, supir, dan pembantunya−entah terlelap tidur, atau sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Syifa dan Ilham dengan langkah yang begitu pelan pergi menuju garasi. Setelah sampai di garasi, mereka langsung melajukan mobil mereka masing-masing.

Jalanan yang tidak terlalu macet, membuat mereka mudah untuk mencapai tujuan mereka. Tidak terlalu jauh, mereka hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam untuk sampai di rumah Shilla.

Dua orang satpam mondar-mandir menjaga sebuah gerbang, yang di dalamnya ada sebuah rumah mewah. Syifa dan Ilham turun dari mobil bersamaan, kemudian menghampiri kedua satpam itu.

"Pak, bukain pintu gerbangnya dong!" perintah Syifa.

Satpam bername tag Joko mendekati Syifa, kemudian bertanya, "Maaf, Anda, siapa?" tanyanya.

Kemudian, satpam yang satunya lagi memegang bahu Pa Joko. "Mereka anak kandung Bu Shilla, Ko. Kamu bukain aja pintu gerbangnya!" ucapnya tegas.

"Siap, Pak!" ujar Pa Joko sambil menghormat.

"Dia siapa sih, Pa Aryo?" tanya Syifa penasaran.

Satpam yang dipanggil Pa Aryo itu tersenyum kemudian berkata, "Dia satpam baru, Neng."

Setelah gerbang dibuka, Syifa dan Ilham memasukan mobil mereka masing-masing ke pekarangan rumah mewah 3 tingkat itu.

Dari dalam rumah, ada seorang lelaki yang mengintip keadaan luar yang berisik oleh deru mesin mobil. Lelaki itu membuka sedikit gorden untuk melihatnya. Terdengar suara bel, yang ditandakan oleh adanya tamu. Shilla segera menghampiri pintu, namun lelaki itu menahannya. "Biar Saya saja!"

Pintu pun terbuka lebar, hingga menampilkan 2 anak remaja dengan membawa kopernya masing-masing. Dengan tatapan tajamnya, lelaki tadi berkata, "Mau apa kalian ke sini?"

"Kita mau ketemu Bunda," jawab Ilham santai.

"Mau apa?" tanya lelaki itu lagi.

"Kita mau tinggal di sini, Om. Kita mau tinggal sama Bunda." Itu suara Syifa.

"Bukankah, kalian juga mempunyai rumah?" tanyanya sinis.

"Tapi kita ingin tinggal sama Bunda," ucap Ilham.

Karena merasa terganggu oleh obrolan di luar, Shilla pun akhirnya menghampiri mereka. Ternyata, di luar sana, ada kedua anaknya. Anak yang sangat ia rindukan. Baru saja Shilla akan berlari untuk memeluk anak-anaknya, lelaki itu tiba-tiba menahannya. "Jangan!" ucapnya.

"Kenapa, Mas? Aku rindu sama mereka." Shilla mengernyitkan dahinya.

"Kamu lupa, hah? Kalo kamu ketemu lagi sama anak-anak kamu, kita gak bakal jadi tinggal di Inggris, dan kita cerai!" ucap lelaki itu tegas.

"Apa alasan Om Alex tak ingin Bunda ketemu sama kita?" tanya Syifa.

Lelaki yang dipanggil Alex itu tersenyum pahit. "Karena kalian anaknya Arif. Dan saya membenci dia!!!"

"Tapi dia Bunda kita! Emang salah, kalo kita mau tinggal sama Ibu kandung kita sendiri?" tanya Ilham.

"Bagi saya itu adalah kesalahan! Lebih baik kalian pulang, sana!!!" usir Alex kasar.

Syifa menatap Alex dengan tatapan benci, kemudian mengalihkan pandangannya pada Shilla. "Bun ... Syifa mohon, Syifa mau tinggal sama Bunda. Syifa udah ga punya siapa-siapa lagi selain Bunda. Plisd, Bun," mohon Syifa, sambil memegangi lengan Bundanya itu.

Shilla menatap Syifa dengan tatapan sedih. Jujur saja, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Harta dari Alex benar-benar membuatnya tak mempunyai pilihan. Jika Shilla mengajak atau bahkan hanya sekedar bertemu dengan anak-anaknya saja sudah tidak diperbolehkan, apalagi mengajak mereka tinggal.

Harta Alex yang tak terhitung, lebih Shilla pilih dibandingkan anak-anaknya. Tinggal di Inggris merupakan impiannya sejak dulu, dan akan terkabul beberapa minggu lagi. Semua itu akan terkabul apabila Shilla melupakan semua masa lalunya bersama Arif, termasuk pada anak-anaknya.

Masih tentang masa lalu, yang mengisahkan cerita cinta segitiga di antara Arif, Shilla dan Alex. Dari semenjak Shilla menikah dengan Arif, Alex memang tidak pernah terima. Hingga saat ini pun ia masih dendam pada Arif, dan dendamnya itu ia lampiaskan pada anak Arif. Gara-gara Arif dia menikah di usia yang sudah tidak muda lagi. Alex memang tipe lelaki yang setia, jika mencintai seseorang, pasti akan terus cinta, dan tidak akan mudah memudarkan cinta itu. Bertahun-tahun Alex berusaha membuat Shilla dan Arif cerai, hingga ia berhasil juga.

"Kalian pulang aja yah. Kalian tinggal sama Ibu tiri kalian, dia orang baik kok," ucap Shilla sambil memegang bahu Ilham. Namun, Ilham justru malah menepisnya dengan kasar.

"Lo itu orang tua macam apa sih? Dan lo tau kan? Biasanya, orang yang mau bercerai itu saling memperebutkan hak asuh anak. Tapi pas Bunda sama Ayah berantem sebelum cerai, Bunda malah menyerahkan kita pada Ayah. Apa bunda lebih menyayangi pria itu dibanding kita sebagai anak Bunda?" tanya Ilham emosi.

"Bukan begitu Ilham sayang ...," ucap Shilla pelan.

"Berhenti panggil gue sayang. Itu hanya panggilan palsu yang selama ini Bunda ucapkan pada gue dan adik gue. Bunda ga sayang sama gue. Bunda juga ga pernah peduli saat dulu gue ngerokok, saat gue dapet surat peringatan dari sekolah, Bunda juga ga pernah peduli saat gue pernah hampir masuk penjara gara-gara berantem sama anaknya pemilik sekolah!!" Ilham sudah tak tahan lagi. Apa yang mengganjal di hatinya kini telah ia katakan.

"Maafin, Bunda, Ilham, Syifa ...."

"Gak usah manggil diri lo sendiri sebagai Bunda. Lo itu orang tua yang gak punya hati!!! Gue aja sempet heran, kenapa orang tua yang gak punya hati kaya lo masih hidup?" Semakin lama, semakin Ilham berkata kasar kepada Ibu kandungnya itu.

"Bunda ...." Syifa menitikkan air matanya.

"Jangan panggil dia Bunda lagi, Syifa. Dia gak pantes dipanggil bunda! Kita pergi!!!" ucap Ilham sambil menarik paksa pergelangan tangan Syifa.

Sayup-sayup terdengan suara berat lelaki berkata, "Sana pergi!"

Itu emang suara lelaki bodoh itu! Dan lebih bodoh lagi wanita itu hanya diam! Batin Ilham.

Sambil menarik Syifa, Ilham berjalan dengan cepat menuju mobilnya. Setelah tepat berada di depan mobil, Ilham berhenti, kemudian membalikkan badannya agar menghadap Syifa. "Lo gak usah balik lagi ke rumah ini! Kalo lo lakuin itu, sama aja kaya lo nyakitin hati lo sendiri. Lo mau di usir sama lelaki song*ng itu lagi?"

Mendengar itu, Syifa menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Sekarang, terserah lo mau kemana. Kita pisah!"

"Pisah gimana maksud lo?" Syifa mengernyitkan dahinya bingung.

"Bukan pisah dalam artian cerai ya. kita bukan suami istri woy! Pokoknya kita pisah aja. Lo pergi dah, kemana pun lo mau. Gue juga mau nikmati kebebasan lagi kaya dulu."

"Gue tinggal di mana, Ka? Gue ini cewe, bukan cowo!"

"Lo cari kek, hotel atau pergi kek, kemana, ke rumah siapa kek! Lo bawa uang kan?"

"Terserah lo!" Syifa kemudian langsung memasuki Ferarrinya. Begitupun Ilham yang lantas memasuki Lambhorgini nya.

Mereka benar-benar berpisah. Ilham pergi ke tempat di mana dulu dia selalu berkumpul dengan teman-temannya. Sedangkan Syifa, dia sendiri bingung akan pergi kemana. Ia menghembuskan nafasnya kasar.
Malam yang benar-benar gelap, jalanan pun sepi. Jika dilihat, hanya ada Syifa yang melewati jalan itu. Syifa menlajukan mobilnya kemana saja tanpa tujuan.

Gue mau kemana? Pulang lagi, ogah banget! Nyari hotel? Ntar gue kaga ada temen. Ke rumah Alya? Dia pasti udah ngorok. Terus gue harus ke mana dong?! Batin Syifa gelisah.

Syifa menghentikan laju mobilnya. Dia benar-benar lelah menghadapi hari ini.

"Bunda ... sepertinya mulai saat ini gue gak punya orang bernama Bunda," gumam Syifa.

Syifa menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Lama ... sekali dia terdiam. Entah memikirkan apa. Tiba-tiba, dia teringat kepada 1 orang. "Bi Inah!"

***

"Ya Allah ... ini teh beneran Neng Syifa kan?"

Syifa tersenyum, kemudian mengangguk cepat. "Iya Bi. Ini Syifa. Bibi gak lupa kan?" tanya Syifa.

"Ya engga atuh, Neng. Neng Syifa ada apa malem-malem ke rumah Bibi?"

Syifa tiba-tiba memeluk Bi Inah dengan erat. Sedikit rasa ragu, Bi Inah pun membalas pelukan Syifa. "Kenapa atuh, Neng Syifa teh? Hayu, ceritain di dalem ya Neng."

Syifa duduk di kursi, kemudian menceritakan aksi kaburnya bersama Ilham. Termasuk di usirnya Syifa oleh suami baru Bundanya. Bi Inah hanya mengerutkan dahinya sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Karena Bi Inah merasa terharu oleh kejadian yang dialami Syifa hari ini, Bi Inah pun mendekati Syifa, kemudian memeluknya. "Bibi yakin, Neng Syifa mah kuat. Neng Syifa gak boleh sedih ya?"

"Syifa kan kesel, Bi. Ayah udah gak ada, Bunda gak mau ngajak Syifa. Syifa beneran bingung harus tinggal sama siapa, Bi?"

"Kan ada Bu Nisa, Neng?"

"Syifa gamau tinggal sama Ibu tiri, Bi," keluh Syifa.

"Neng Syifa tinggal sama Bibi aja dulu atuh, ya? Biar Bibi gak kesepian juga, Neng." Bi Inah tersenyum, kemudian mengelus pelan rambut Syifa.

Syifa mempererat pelukannya dengan Bi Inah. "Syifa sayang sama Bibi. Bibi udah ngerawat Syifa dari kecil. Tapi, kenapa Bibi berhenti kerja sih?" tanya Syifa.

"Bibi kan udah tua, Neng. Bibi sekarang suka gampang ngerasa cape. Da Bibi teh udah gak muda lagi atuh, Neng."

"Hmm ...."

***

Drrrtttt ... drrrtttt ...

Pagi-pagi sekali, ponsel Syifa telah membangunkan. Merasa ponselnya bergetar dan berbunyi, Syifa menggeliat kecil. Syifa membuka matanya perlahan, mengatur setiap cahaya yang masuk ke matanya.

"What??"

Apa Syifa tidak salah lihat? Apa ponselnya sedang sehat-sehat saja?

Ada tiga puluh tiga panggilan tidak terjawab dari Bagas. Melihat nama itu, membuat senyum Syifa mengembang. Jangan-jangan Ka Bagas mau ngajak gue balikan? Pikir Syifa dalam hati.

Saat Syifa memperhatikan kembali notif di ponselnya, ternyata Bagas bukan hanya menelpon,tetapi juga mengirimi Syifa beberapa pesan di WA.

Fa

Fafa

Kakak kamu fa!

Ilham fa

On dong fa

Ilham sekarang ada di rumah sakit

Cepetan sini faaaa!!!!!

Syita tertegun, saat membaca kata rumah sakit. Dan kata Bagas, Ilham berada di rumah sakit. Tiba-tiba, hatinya bergetar hebat. Dia ingin menangis saat itu juga. Sekesal apapun Syifa kepada Ilham, tetap saja ada rasa sayang walau sedikit. Biar bagaimana pun Ilham pernah selalu ada saat Syifa membutuhkannya dulu.

Tanpa mempedulikan keadaannya saat itu−yang masih memakai baju kemarin, rambut acak-acakan akibat baru bangun tidur−Syifa langsung ke luar dari kamar, dan berteriak panik, "Bi Inah!!! Bi Inah!"

Bi Inah berlari kecil menghampiri Syifa. "Ada apa Neng? Ko teriak-teriak. Duh bisa-bisa torek Bibi Neng."

"Ka Ilham, Bi ..."

"Aa kamu kenapa atuh, Neng?"

"Ka Ilham ada di rumah sakit, Bi."

"Euleuh? Hayu atuh, Neng, kita ke rumah sakit." Bi Inah menarik lengan Syifa untuk ke luar dari rumah dan segera pergi ke rumah sakit.

"Iya, Bi. Tapi itu pintunya di kunci dulu. Kalo ada maling gimana, Bi?"

Bi Inah menepuk dahiya pelan. "Eh, heeuh, Bibi hilap. Duh, saking semangatna Bibi mau tau keadaan A Ilham, eh semangat. Panik, Neng maksud Bibi teh," ucap Bi Inah dengan logat Sunda yang tak pernah hilang dari dulu.

***

Torek : budeg
Hilap : Lupa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top