Bab13 | Ayah ...
Syifa tersenyum puas. "Nah, sekarang, gue tanya lagi."
Aduhh... ya Allah. Dia mau nanya apa lagi? batin azam.
"Lo suka sama gue gak?" Syifa menaik turunkan kedua alisnya.
Skakk!
Azam terdiam. Dan aksi diamnya tidak berlangsung beberapa detik saja. Hingga tiba-tiba, suara orang yang sangat ia kenali terdengar oleh telinganya. "Azam."
Azam terperanjat kaget, saat Aisyah−sang Umi−memanggilnya. Yang membuat Azam bingung, kenapa Uminya itu tiba-tiba ada di rumah Syifa? apa Aisyah, sang Umi, mengikutinya dari belakang saat ia pergi tadi? Ada apa Aisyah datang dan memanggil Azam?
"Bangun, Nak. Sholat tahajud, Zam ...," ucap Aisyah pelan sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azam.
Azam terlihat menggeliat kecil kemudian berkata dengan lirih, "Astagfirullahaladzim ..."
"Kamu kenapa, Zam?" Aisyah mengernyitkan dahinya bingung.
Azam langsung gelagapan. "E engga, kok, Mi. hehe ..."
Aisyah menghembuskan nafasnya pelan. "Abis mimpi, ya?" tebaknya.
Azam menyengir lebar, hingga menampilkan sederet gigi putihnya. "Eum ... hehe." Azam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Mimpiin apa, hayooo?" goda Aisyah.
"Rahasia, dong."
"Mulai rahasia-rahasiaan nih, sama Umi?"
"Ah, Umi juga suka maen rahasia-rahasiaan sama Abi." Azam kemudian beranjak dari kasurnya. "Udah ya Umi ... Azam mau ambil wudhu dulu."
Azam berlari menuju kamar mandi. Dia benar-benar takut, jika nanti malah mendapat pertanyaan-pertanyaan aneh dari Uminya itu. Dan yang membuat Azam heran adalah, ketika Syifa ada di mimpinya. Terlebih, saat Syifa bertanya apakah ia menyukai Syifa atau tidak. Jujur saja, itu membuat Azam gugup bukan main.
"Lo suka sama gue gak?"
Ibarat rekaman yang terdengar kembali di telinga Azam. azam langsung beristigfar saat mengingat itu. Astagfirullah ...
***
Pagi yang membosankan bagi Syifa. Apalagi saat itu tidak ada yang mengajaknya pergi kemana-mana. Biasanya, pagi-pagi sekali, Bagas sudah berada di rumah Syifa. Entah itu untuk sekedar main di rumah Syifa, atau mengajak Syifa ke tempat-tempat romantis. Namun, itu dulu, saat status mereka masih berpacaran. Sekarang, tidak ada hubungan lagi di antara mereka selain mantan pacar.
Saat itu, Syifa tengah menonton acara televisi favoritnya, yaitu Spongebob. Film kartu itu adalah kesukaan Syifa. Dia lebih memilih nonton kartun dibanding nonton gosip-gosip terhangat yang sedang diperbincangkan publik, apalagi berita tentang politik, plis deh, itu bukan Syifa banget.
Ketika Syifa tengah asik menonton sambil menyantap camilan, ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Lelaki itu selain duduk juga merebut paksa toples berisi camilan dari tangan Syifa. Sedangkan Syifa sendiri hanya melongo tidak percaya.
"Kalo lo hari ini gak bakal kemana-mana, lo berarti harus ikut sama gue!" ucap Ilham sambil memencet remot, hingga film upin ipin lah yang muncul di layar televisi.
Syifa langsung mengerjapkan matanya kaget. "Lo beneran Ka Ilham, kan?"
"Emang ada apa dengan gue? Makin ganteng ya?" tanya Ilham sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Ish! Ganteng dari Cikeresek? Gue cuma heran aja sama pakean lo." Syifa memperhatikan Ilham dari ujung kepala sampi telapak kakinya. "Terus, itu, celana lo. Ko lo pake sarung sih? Lo mau disunat lagi?"
"Enak aja!" Ilham mengancingkan kancing baju kokonya yang paling atas, kemudian ia mengenakan pecinya.
"Lo lagi insaf ya?" tanya Syifa.
Ilham masih sibuk memasukkan cemilan pada mulutnya, kemudian berkata, "Gue insaf dikomentarin, apalagi kalo gue kaga insaf. Serba salah emang, kalo hidup jadi gue."
Syifa tersenyum. "Eh, tapi, lo ganteng sumpah!" puji Syifa pada Ilham.
Ilham tak menanggapinya.
"Ih, beneran, Ka. Lo ganteng banget. Tapi masih gantengan Ka Bagas, haha." Syifa tertawa hingga memegangi perutnya.
"Gak lucu, Fa, gak lucu!"
Syifa masih tertawa, sedangkan Ilham tidak peduli dengan ledekan dari Adiknya itu.Tak lama setelah itu, Nisa datang menghampiri kedua anak tirinya yang sedang duduk di ruang keluarga. "Ilham, Syifa, sarapan dulu yu! Ayah udah nungguin tuh," ucap Nisa.
"Tumben amat, Ayah sarapan di rumah. Biasanya juga maen berangkat aja ke kantor tanpa pamit," ucap Syifa ketus, lantas bangkit dari duduknya menuju ruang makan.
Ilham menutup toples berisi camilan tadi, kemudian pergi mengikuti Syifa, tanpa mempedulikan senyuman Nisa. Seakan-akan, Nisa tidak ada di sana.
"Hay, Ayah!" sapa Syifa, kemudian duduk di samping Ayahnya.
"Hay juga, Syifa." Arif mencium pucuk kepala Syifa.
Tak lama kemudian, munculah anak lelakinya. "Pagi Ayah!" sapa Ilham dengan wajah datarnya.
"Pagi juga, Ilham." Arif memperhatikan pakaian Ilham yang jauh berbeda 100% dari biasanya. "Tumben kamu pake sarung, baju koko, sama peci, Ham?" tanya Arif.
"Gak boleh ya?" tanya Ilham sambil mengoles roti yang berada di tangannya dengan selai coklat.
"Ya boleh lah. Cuman, kalo kamu kaya gini, keliatan banget sholehnya," puji Arif.
Sambil mengunyah roti, Ilham berkata, "Kalo Ilham sholeh juga bukan karena didikan Ayah kali, jadi Ayah gak perlu bangga!"
Jleb!
Kata-kata yang keluar dari mulut Ilham barusan benar-benar membuat hati Arif hancur berkeping-keping. Seperti ada beribu-ribu pedang tajam yang menghantam hatinya kala itu. Yang Arif lakukan hanya tersenyum getir. Kemudian, mengalihkan pandangannya pada Syifa yang tengah asik melahap roti yang ia olesi dengan selai kacang itu. "Syifa juga cantik loh, kalo pake kerudung."
Syifa melirik ke arah Ayahnya sekilas. "Terus Ayah mau maksa Syifa pake kerudung, gitu? Plis deh, gue make kerudung cukup pas belajar ngaji aja!"
Arif menghembuskan nafasnya kasar. Melihat kedua anaknya, mengingatkan dia pada mantan istrinya. Bukan sedih karena ingin kebali pada istrinya, tapi sedih karena dia dan mantan istrinya tidak bisa mendidik Ilham dan Syifa menjadi anak yang minimal sopan pada orang yang lebih tua.
"Ilham, Syifa...," panggil Arif, "kalian jadi anak yang sholeh sholehah ya? biar bisa bawa Ayah ke Surga." Tiba-tiba suasana jadi hening, Ilham dan Syifa pun menghentikan aktivitas makannya.
Ilham seperti sudah tidak selera makan lagi. "Gimana bisa gue sama Syifa jadi anak yang sholeh sholehah, kalo Ayahnya sendiri selalu sibuk sama kerjaan di kantor. Ya wajar lah, Ayah, kalo kita berdua sikapnya kaya gini, atau ... atau gak bisa jadi anak yang sholeh. Orang tuanya juga gapernah ngedidik!"
Jleb!
Lagi, perkataan Ilham bak petir yang menyambar hati Arif dengan cepat. Arif hanya diam, membiarkan petir itu terus menghabisi hatinya. Ia ingin membalas semua perkataan Ilham, namun, Ilham sendiri benar. Semua yang Ilham katakan adalah benar. Jika Arif membalasnya pun, tetap Ilham akan menang.
***
Ilham melajukan Ferarri milik Syifa dengan kecepatan sedang. Hari ini, mungkin ia sedang tidak ingin bermusuhan dengan Syifa. Ia juga sedang tidak ingin menggunakan Lamborghini nya, karena sayang pada bensinnya.
Hari ini Ilham mengajak Syifa munuju Masjid At-Taqwa. Ilham ingin menemui Nurul lagi, maka dari itu ia memakai pakaian bak ustadz.
"Tadi omongan lo itu pedes banget, Ka. Lo gak kasian sama Ayah?" tanya Syifa sambil menatap Ilham yang sedang sibuk menyetir.
"Gue gak peduli!"
"Lo itu apa-apaan sih? Biar gimanapun juga dia Ayah lo, Ayah kita."
"Orang tua itu guru pertama. Mereka bukan hanya harus mengajarkan pelajaran umum, tapi juga mengajarkan etika pada anak-anaknya. Dan kaya kita inilah hasilnya, sikap kita yang inalillahi inilah hasil didikan mereka. Semenjak nenek meninggal, kita udah jarang diurus, apalagi semenjak mereka cerai. Adanya Ibu tiri juga gak pernah kita anggap, karena kita ga pernah setuju sama pernikahan Ayah dan Ibu tiri itu."
Syifa hanya diam dan menunduk.
"Kita bebas ngapain aja, pergi kemana aja, sampe gak tau waktu. Ayah kadang hanya diem aja kaga peduli!"
Syifa mengangkat kepalanya. "Eh! Ayah pernah nampar gue, tau gak?"
"Ya, mungkin saat itu, lo lagi kurang beruntung, Fa. Haha."
"Gak lucu!"
***
Ilham memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Belum sempat menghampiri Nurul yang sedang duduk di teras Masjid, Ilham melihat ada seorang lelaki datang mendekati Nurul. Sepertinya ... Ilham mengenali lelaki itu.
"Itu bukannya si Ustadz muda ya, Ka?" tanya Syifa sambil menunjuk ke arah dimana Nurul dan ustadz mudanya itu berada.
"Iya, Fa," ujar Ilham pelan.
Baru saja Ilham akan membuka pintu mobil, ponsel yang berada di saku baju kokonya bergetar, tanda ada orang yang menelepon. Tanpa melihat siapa yang menelpon, Ilham langsung mengangkatnya.
"Siapa?"
"..."
"Ada apa?"
"..."
"Dia kenapa?"
"..."
"APA!!!?"
Ilham terkejut saat mendengar perkataan terakhir dari seseorang yang menelponnya. Jantungnya berdebar hebat, saat mendengar kabar luar biasa tadi. Ponselnya jatuh ke bawah, tanpa ia pedulikan.
"Siapa yang nelpon, Ka?" tanya Syifa penasaran.
"Ibu tiri," jawab Ilham singkat sambil menahan sesak di dadanya.
Syifa mengernyitkan dahinya. "Dia bilang apa?"
"A Ayah ... Ayah ..." ucap Ilham dengan suara bergetar.
"Lo nyesel, abis nyakitin hati Ayah?"
"Ayah ..."
"Iya Ayah kenapa, Ka?"
"Ayah ke kecelakaan ..."
Syifa menggelengkan kepalanya cepat. "Engga ... engga mungkin. Kalo mau bercanda jangan gini dong! Lo berharap Ayah kecelakaan, hah?"
"Gue gak bercanda ..." ucap Ilham lirih.
Mendengar itu, hati Syifa seperti tengah teriris oleh pisau yang baru saja diasah. Ada rasa nyeri sekali hati, saat mendengar kabar tentang Ayahnya. Air matanya kemudian mengalir di pipi tanpa henti.
Sedangkan ilham, dia masih terdiam. Dia berusaha menahan genangan air matanya agar tidak terjatuh di pipi. Namun, usahanya gagal. Katakanlah dia menangis. Ilham yang terlihat cuek, baru kali ini menangis di depan syifa.
Segera ia lajukan lagi mobilnya menuju rumah sakit yang Nisa katakan tadi.
Seketika, Ilham lupa, pada tujuan utamanya pergi ke masjid itu. Walau Ilham telah menyakiti hati Ayahnya, tetap saja hatinya juga lebih sakit lagi ketika mendengar Ayahnya kecelakaan.
Jangan sakiti orang tuamu, selagi mereka hidup. Karena, kau akan menyesalinya kala mereka telah tiada. Jasa mereka dalam hidupmu amatlah besar, maka kau harus berbakti kepadanya.
Ilham dan Syifa berlari, mencari ruangan yang ditempati Ayahnya. Hingga pada akhirnya, mereka melihat dari kejauhan Ibu tiri dan Nenek tirinya tengah menangis. Sayup-sayup, mereka mendengar kalimat-kalimat duka−kalimat yang sama sekali tidak ingin mereka dengar.
"Innalillahi wainnailaihi raji'un ...."
"Ya Allah ..."
Syifa sudah tak tahan lagi, ia berlari menghampiri Nisa untuk meminta penjelasan padanya.
"Ayah mana?" tanya Syifa dengan suara bergetar.
Nisa hanya menggelengkan kepala pelan, sambil menangis sesenggukan. "Ayah kamu ... Ayah kamu, udah gak ada."
Syifa menatap ke dalam sebuah ruangan yang menampilkan tubuh kaku Ayahnya tertutupi oleh kain berwarna putih. Tangisnya pun seketika meledak, saat menghampiri manusia yang sudah tak bernyawa itu.
Syifa dan Ilham membuka perlahan kain putih yang menutupi wajah Ayahnya itu dengan perlahan. Mereka berharap, jika orang yang berada di hadapan mereka itu adalah orang lain yang tak dikenal. Namun, kenyataannya itu bukan orang lain. Bukan lelaki berwajah tegas lagi yang mereka lihat hari itu, melainkan lelaki dengan wajah lemah dan pucat.
"Maafin Syifa ... Ayah ...."
"Maafin Ilham juga, Yah ... maafin Ilham ...."
Syifa memeluk erat sang Ayah. Semakin lama, semakin deras air matanya mengalir.
Jangan sakiti orang tuamu, selagi mereka hidup. Karena, kau akan menyesalinya kala mereka telah tiada. Jasa mereka dalam hidupmu amatlah besar, maka kau harus berbakti kepadanya.
Kemudian, benaknya seperti memutar kembali memori masa lalunya, seperti rol film berpita besar yang memutar melawan arah ...
Ia masih ingat sekali. Ketika dia sedang bermain bersama Ilham, ada sang Nenek yang mengawasi mereka berdua. Neneknya Syifa itu tersenyum, melihat kedua anak-anak yang anteng itu bermain. Tiba-tiba, sang Nenek membelai rambut Syifa, dan berkata, "Kalo Nenek udah gak ada, kalian jaga Ayah sama Bunda yah?" pinta Neneknya, Arin.
"Iya Nek, aku bakal jagain Ayah sama Bunda ko. Aku sayang sama mereka Nek. Aku janji, ga bakal bikin mereka marah terus."
Arin, sang Nenek tersenyum tipis. "Janganlah kalian durhaka kepada orang tua kalian ya?"
Nenek tau, orang tua kalian tidak pernah memberi kalian ilmu agama atau bahkan diajari berakhlak baik pun tak pernah. Tapi mereka tetap orang tua kalian, batin Arin sambil tersenyum getir.
"Iya, Nek, Ilham mah gak bakal durhaka ko, sama mereka. Mereka kan, ga pernah ada di rumah," ucap Ilham santai sambil kembali memfokuskan matanya pada layar televisi, kemudian melanjutkan bermain PS nya.
Mengingat janjinya semasa kecil dulu, membuat Ilham dan Syifa semakin tersedu. Muncul di dalam pikiran mereka potret-potret keberasamaan mereka bersama kedua orang tuanya. Saat orang tuanya masih hidup rukun dan damai tanpa cekcok. Memang dulu hidup mereka sederhana, namun kebersamaan keluarga lebih mereka utamakan. Namun, semenjak seorang kepala keluarga di tengah-tengah mereka diterima kerja di sebuah kantor, membuat mereka jarang berkomunikasi. Terlebih lagi, saat Shilla, sang Bunda juga ikut Arif bekerja.
Semenjak itu, lunturlah segudang perhatian dari orang tua. Hingga, lahirlah Ilham dan Asyifa yang tak memiliki sopan santun, akibat kurangnya didikan dari orang tua. Apalagi, saat itu mereka sedang berada pada masa remaja, masa dimana dubutuhkannya perhatian dari orang tua.
Syifa memandangi wajah Ayahnya tanpa henti. Begitupun tangisnya yang sedari tadi ia keluarkan. Wajah Ayahnya sangatlah teduh. Namun, apakah akan seteduh langit surga?
Syifa sudah besar, Syifa tau, walau butian air matanya terus menitik, tidak akan membuat Ayahnya kembali. Apa Ayah akan bahagia di Surga? Atau menderita di Neraka?
Melihat Syifa, Nisa tak bisa tinggal diam. Dia menghampiri Syifa, kemudian memeluknya. Namun, Syifa memberontak sambil berkata, "Sekarang lo puas? Ayah gue udah meninggal, dan lo bisa dengan bebasnya nguasain harta gue! Lo puas kan, sekarang?" teriak syifa dengan tangisannya.
Nisa menggelengkan kepalanya. "Enggak, Syifa ...."
"Karena ... ini kan, yang elo mau? Ayah gue meninggal, terus lo ambil semua hartanya. Gue tau itu! Setiap istri baru pasti suka kaya gitu!!!"
"Tapi tidak dengan Umi, Syifa ...."
"Jangan panggil Umi. Lo bukan siapa-siapa gue! Lo hanya Ibu tiri, bukan Umi gue!" ucap Syifa sambil menangis sesenggukan.
"Tapi Umi sudah menganggap Syifa anak Umi sendiri."
"Tapi gue gak pernah nganggap lo siapa-siapa!!!" bentak Syifa.
Nisa terdian sambil menyeka sisa air matanya.
"Ambil sana semua harta Ayah gue. Itu kan, keinginan lo?"
"Tidak, Syifa. semua harta Ayahmu milikmu dan Kakakmu. Umi hanya mengambil seperlunya, karena ayah kamu adalah suami umi."
"Jangan berbicara sok baik gitu deh! Lo kira gue bakal berbah jadi baik ke elo apa? Enggak!!!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top