Bab11 | Rindu Masa Lalu
Beres UAS itu, ibarat gerbang menuju kebebasan. Setelah mendapat hasil UAS, pasti libur. Dan liburan itu harus digunakan dengan sebaik-baiknya, lebih bagus lagi jika digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
Syifa merasa bahagia. Dia mendapat nilai Fisika yang lumayan. Secepatnya, Syifa akan menagih janji Ayahnya yang pernah bilang akan memodifikasi mobil ferarrinya. Syifa memang paling semangat, jika semua hal yang dilakukannya akan terbalas dengan sesuatu yang berhubungan dengan Ferarri. Apalagi, kesukaan Syifa adalah menyegarkan tampilan mobil Ferarrinya itu.
"Yess!!! Gue dapet nilai Fisika lebih dari 7. Lo dapet berapa, Al?" tanya Syifa ketika baru saja Bu Rina menyebutkan nilainya.
"Gue dapet 8, Fa."
Syifa hanya meng-oh-riakan saja. Setelah itu, mereka kembali memfokuskan pandangannya pada Bu Rina yang masih menyebutkan nilai-nilai UAS kemarin.
"Baiklah, nilai-nilai di kelas ini lumayan. Dan yang membuat saya heran adalah murid kesayangan saya. Kenapa dia bisa mendapat nilai 70? Pertanyaan itu dari saya memeriksa sudah memenuhi otak saya," ucap Bu Rina sambil melirik ke arah Syifa, karena pembicaraannya pun memang ditujukan kepada Syifa.
"Bukan 70 bu, tapi 70,1. Ibu jangan coba-coba ngubah nilai gue dong. Itu usaha gue sendiri loh," protes Syifa.
Bu Rina menghembuskan nafasnya pelan. "Hmmm ... ah, nilai 70,1 kan, bisa dianggap 7. Lagian, cuma beda dikit ini."
"Tapi gue hebat, kan, Bu?" tanya Syifa sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Kamu belajar sama siapa? Atau kamu nyontek ke Alya?" selidik Bu Rina.
"Enak aja! Gue belajar sama ustadz muda, Bu. Selebihnya, gue belajar sendiri. Dasar ya, Ibu, bisanya cuma thinking negative aja sama murid kesayangannya sendiri."
"Negative thingking, kali."
"Ya padahal mah, gimana gue atuh, Bu Rina cantik. Udah deh, Bu, Fisika mah Fisika aja, jangan ngajarin Bahasa Inggris segala."
Syifa memang seperti itu. Bu Rina pun, sampai lelah untuk sabar menghadapi Syifa. Perkataan Syifa yang tidak sopan, kadang membuat ia geram sendiri. "Padahal mah, gimana Ibu atuh, Asyifa ..."
"Ih, itu kata-katanya plagiat. Ada hak ciptanya loh, Bu."
Mendengar itu, semua murid yang berada di kelas tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan antara guru dan murid yang saling menyayangi itu. Wkwk ...
"Terserah kamu aja, Ibu mah cape, kalo udah ngomong sama kamu teh," ucap Bu Rina sambil membereskan beberapa lembar kertas yang berantakan.
***
Setelah dibagi rapot, tentu saja libur selama 2 minggu. Namun, yang membuat Syifa malas adalah ketika Ayahnya justru menyuruh Azam untuk selalu datang ke rumah. Syifa sendiri sempat heran, kenapa Azam tidak pernah menolak jika disuruh datang untuk mengajar mengaji? Apa dia tidak memiliki rasa lelah, apalagi saat mengajar Asyifa.
"Saya mengajari Ukhti mengaji itu ikhlas lillahi ta'ala. Jika masalah cape itu pasti, tapi saya melakukan semuanya itu lillah, maka, tak terasa lah cape itu."
"Oh, gitu ya? Gue aja pas belum mulai ngaji sama sekali udah ngerasa cape."
"Niat Ukhti belajar ngaji karena apa dulu?" tanya Azam.
Syifa memutar bola matanya ke langit-langit rumah untuk berpikir. "Emm ... awalnya sih, karena gue takut Ferarri gue disita Ayah sama takut pacar gue marah. Ups, maksudnya mantan."
"Jika niatnya bukan karena Allah, bagaimana bisa Ukhti mendapat pahala atas usaha Ukhti selama belajar?"
Syifa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ck, lagian gue emang gak niat belajar ngaji. Ini juga terpaksa, ustadz muda ... plis deh, lo jangan banyak tanya. Kalo mau ngajar, ya udah ajarin, jangan bahas yang lain. Lo ke sini buat ngajarin gue baca Al-Quran, kan?"
"Saya memang datang untuk mengajar membaca Al-Quran, tapi saya tentu tidak salah, jika ingin memberi beberapa ilmu agama yang ada di kehidupan sehari-hari."
Syifa mendelikkan matanya kesal. Kadang, Syifa selalu kalah dalam hal berbicara. Ya iyalah, gue kalah. Orang yang ngomong sama gue itu Ustadz, batin Syifa.
syifa mendengus kesal, kemudian mengambil Al-Quran yang berada di atas meja kecil sampingnya. Saat baru saja Syifa mengangkat Al-Quran itu, ia dikejutkan oleh makhluk berukuran kecil yang memiliki kaki 4 pasang merayap di tangannya. Reflek, ia terperanjat kaget. "Waaa ... aaa ... laba-labaaaa ...." Syifa langsung berlari ke arah Azam yang sedang duduk, kemudian duduk di samping Azam sambil bersembunyi di samping tubuh Azam.
"Us ... Ustadz mudaaaa, tolongin gue ... itu ada monster." Syifa menyembunyikan wajahnya di bahu kanan Azam.
Melihat Syifa yang ketakutan, Azam langsung terkejut. Bagaimana tidak, saat itu Syifa tak henti-henti menempelkan kepalanya untuk bersembunyi di bahu Azam. Tentu Azam gugup, terlebih ketika Syifa hampir saja memeluknya. "Sudah, Ukhti ... laba-labanya udah pergi, kok," ucap Azam sambil menggeserkan tubuhnya untuk menjaga jarak dengan Syifa.
"Lo gak romantis banget sih, jadi cowo! Gue kan, takut banget sama laba-laba," ucap Syifa pelan. Tiba-tiba, air mata Syifa menitik di pipi. Jujur saja, hewan yang paling Syifa takuti di dunia ini adalah laba-laba. Jangan heran jika Syifa menangis.
Semakin lama, semakin Syifa terisak. Sesekali juga Syifa menghapus air matanya.
Azam yang melihatnya merasa tidak enak. Dia terus mengintropeksi diri, apakah perkataannya tadi menyakiti Syifa? Apa dia salah berbicara?
Jika Syifa sudah menangis seperti itu, apa yang harus Azam lakukan? Sebelumnya Azam tak pernah membuat wanita menangis. Apakah Azam harus mengelus kepala wanita itu seperti yang dilakukan para pemanin sinetron? TIDAK, karena Syifa bukan kekasih halalnya.
Apa Azam harus menghapus air mata wanita itu menggunakan tangannya? TIDAK, karena itu tidak mungkin Azam lakukan pada wanita yang bukan mahramnya.
Apa Azam harus memeluk wanita itu, mencoba memberi sedikit ketenangan? TIDAK, karena jika itu terjadi, Azam tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri sampai kapanpun.
Azam tak tau harus melakukan apa. Melihat Syifa menangis karena ketakutan pada makhluk hidup bernama Laba-laba, membuat Azam teringat pada seseorang yang pernah hadir di masa lalunya. Azam merindukan gadis itu ... gadis kecil yang selalu menampakkan wajah cerianya. Wajah ceria gadis itu akan berubah 100% kala melihat laba-laba. Gadis kecil itu, kadang selalu memeluk Azam ketika ketakutan. Saat itu Azam membalas pelukan gadis kecil itu, karena Azam dulu masih cukup kecil dan belum mengerti tentang siapa saja mahramnya.
Gadis kecil itu senang dipanggil Fatimah oleh Azam. kata Uminya Azam, Fatimah dulu pindah rumah, semenjak neneknya meninggal. Yang membuat Azam sedih adalah, Fatimah tidak mengabarinya sama sekali. Kepergian Fatimah membuat Azam sampai saat ini belum bisa membuka hatinya untuk wanita mana pun.
Sampai saat ini, Azam masih mencari dan menanti gadis kecil bernama Fatimah itu. Azam sempat lupa pada wajah Fatimah, namun, ia masih memiliki sebuah foto yang menampilkan wujudnya bersama Fatimah. Di foto itu, terlihat sangat jelas wajah gembira Azam tengah merangkul Fatimah yang tingginya sebahu. Tapi itu adalah foto ketika mereka berdua masih anak-anak, sedangkan sekarang, mereka tentu sudah tumbuh menjadi remaja. Dan itulah yang membuat Azam bingung, harus mencari kemana Fatimahnya itu?
Syifa masih terisak pelan. "Lo jahat!" ucap Syifa saat Azam menjauh darinya.
Azam langsung gelagapan. "Euu ... maaf, Ukhti. Kita belum mahram."
"Lo selalu bilang belum mahram saat gue deketin, lo, emangnya kita akan jadi mahram apa?" tanya Syifa dengan sisa isakan tangisnya.
Aduh, salah ngomong, astagfirullah, batin Azam.
***
Ilham mendengus kesal ketika arah jalan menuju rumahnya dipenuhi oleh jajaran mobil-mobil pribadi. Ilham membelokkan mobilnya ke arah kiri sebagai alternatifnya, daripada harus menunggu akibat macetnya kota. Tak peduli apakah akan cepat sampai atau tidak, apakah jalannya bagus atau tidak, bahkan jika jalannya sempit sekalipun Ilham akan tetap melewati jalan sana. Karena dia, paling benci menunggu. Heyy ... siapa yang suka menunggu?
Saat Ilham tengah asik memutar lagu kesukaannya di dalam mobil, tiba-tiba ia terpaku saat melihat seorang gadis berkerudung biru tengah berbicara dengan anak kecil. Hampir saja ia menabrak pohon jika ia tak segera mengerem mobilnya.
Dengan cepat, Ilham keluar dari mobil itu untuk menghampiri gadis tadi.
"Heyy!" sapa Ilham pada gadis tadi.
Gadis itu kemudian menoleh ke arah Ilham, masih dengan sisa senyuman yang ia beri pada anak kecil di hadapannya. Namun, ketika gadis itu tau, bahwa yang menyapanya adalah Ilham, senyumnya langsung hilang seketika.
Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Ka Fatimah, Lala pulang duluan ya. Soalnya, ntar Bunda takut marah," ucap gadis kecil yang memanggil dirinya sebagai Lala itu.
Gadis yang dipanggil Fatimah itu menundukkan bahunya agar sejajar dengan Lala, kemudian berkata, "Iya Lala. Lala hati-hati di jalan, yah." Fatimah kemudian tersenyum.
"Iya Ka Fatimah. Dadah, ka ... Assalamualaikum." Lala kemudian mencium singkat pipi Fatimah.
"Waalaikumussalam," jawab Fatimah sambil tersenyum malu.
Ilham yang merasa diabaikan langsung berdeham pelan, "Ekhem ..."
Fatimah memutar tubuhnya agar menghadap Ilham, namun kemudian menundukan kepalanya lagi. "Ada apa?" tanyanya pelan.
"Lo masih inget gue, kan, Nur?" tanya Ilham.
"Ya, saya ingat."
"Nur, ko, lo dipanggil Fatimah, sih?" Ilham penasaran.
"Fatimah memang nama saya."
"Oh iya, kan, nama lo Fatimah Nurul Afifah. Eh ... lo berubah drastis ya, Nur?" komentar Ilham.
"Jika tidak ada yang ingin ditanyakan, Saya mohon izin pamit."
"Lo masih marah, Nur?"
"Itu sepertinya tidak penting."
"Gue rindu ..." ucap Ilham begitu lirih.
"Apa Anda hanya ingin mengatakan itu?"
"Maafin gue, Nur," ucap Ilham pelan.
"Tak perlu minta maaf. Anda tidak salah sama sekali."
"Tapi gue salah, Nur. Lo belum putusin gue, sedangkan gue malah pacaran sama sahab-," ucap Ilham terhenti.
"Lupakan!"
"Gue nembak Nesya, sahabat lo, karena gue ngerasa udah gak dianggap pacar lagi sama lo." Ilham mendekati Nurul 1 langkah, sedangkan Nurul justru mundur 1 langkah.
"Itu gak penting. Kita udah ga ada hubungan apapun lagi."
"Tapi kita belum putus, Nur. Semenjak lulus SMP, lo pergi gatau kemana. Tanpa lo berkata sepatah kata pun sama gue, lo belum mutusin gue, Nur."
Nurul memejamkan matanya sambil menghembuskan nafasnya pelan, kemudian, secara perlaham membuka matanya kembali. "Itu hanya pacaran masa SMP yang gak ada seriusnya sama sekali."
"Lo masih pacar gue, Nur."
"Nesya juga pacar Anda, bukan?"
"Gue udah putus sama playgirl itu."
"Anda juga playboy. Anda berpacaran dengan orang lain, sedangkan Anda masih punya pacar." Tanpa sengaja, Nurul melihat gelang putih pemberiannya melingkar indah di pergelangan tangan Ilham. Ingin sekali ia menangis.
"Maafin gue, Nur. Gue masih cinta sama lo. Kita balik lagi kaya dulu yah?" pinta Ilham.
Nurul menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak bisa!" tolak Nurul.
"Kenapa?"
"Saya bukan Nurul yang dulu. Saya tidak ingin pacaran."
"Eh, tapi gue masih pacar lo. Lo belum putusin gue."
"Anda itu ribet sekali, ya? sepertinya, Anda ingin sekali Saya memutuskan Anda hari ini juga," pikir Nurul.
"Engga, bukan gitu maksudku."
"Kita putus!"
Ilham terpaku.
"Anda puas? Lebih baik Anda cepat pulang. Saya masih banyak urusan. Assalamualaikum." Nurul meninggalkan Ilham sendirian terpaku.
Saat itu Ilham tidak tinggal diam, dia segera memasuki Lamborghini nya untuk mengejar Nurul. Ilham kemudian menjalankan mobilnya pelan mengikuti kemana Nurul berjalan.
Tiba-tiba Nurul berhenti di depan Masjid At-Taqwa. Seperti mata-mata, Ilham memperhatikan gerak gerik Nurul. Begitupun ketika Nurul berpapasan dengan seorang lelaki yang memakai pakaian layaknya Ustadz. Terlihat dari jarak yang tidak terlalu dekat, Nurul tersenyum pada lelaki itu sambil menundukkan kepalanya. Kayaknya, tipe cowo yang dia suka sekarang itu cowo yang suka berpakaian kaya ustadz-ustadz deh. Okey, tunggu gue, Nur, batin Ilham.
Ilham kemudian melajukan mobilnya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia berniat, akan pergi ke masjid itu untuk menemui Nurul.
***
Mengingat pertemuan tadi, membuat Ilham tidak bisa tidur malam ini. Ia masih memikirkan Nurul, gadis cantik yang 100% berubah. Perubahan itu tidak membuat perasaan Ilham padanya berubah pula. Perasaannya masih sama, masih cinta, bahkan masih sayang. Percakapannya dengan Nurul tadi seperti tengah diputar kembali.
Saat itu Ilham tengah berada di taman depan rumahnya, dia duduk di bangku panjang yang hanya diduduki oleh dirinya sendiri. Dia menghembuskan nafasnya kasar, kemudian mengeluarkan sebuah kalung yang di tengahnya terdapat perak berbentuk love. Ilham tersenyum pahit melihat kalung yang pernah ia berikan pada Nurul.
"Kalung ini buat lo, Nur. Tapi kenapa lo dulu malah ngasih kalung ini ke temen lo?"
"DORR!" Seseorang berhasil membuat Ilham terperanjat kaget. Ternyata itu adalah Syifa.
Dengan cepat, Ilham memasukkan kalung itu ke saku celananya. "Lo ngapain ke sini sih? Ganggu gue aja!"
Syifa kemudian duduk tepat di samping Ilham. "Tumben lo gak ke klub malam, kenapa?" tanya Syifa.
"Bukan urusan lo!"
"Dih, ketus amat." Syifa menyamakan tatapannya seperti Ilham yang tengah menatap langit. "Lo kenapa? Tumben murung gitu?" tanya Syifa.
Ilham menoleh ke arah Syifa malas. "Justru gue yang mau nanya sama lo. Lo kenapa? Tumben nanyain urusan gue?"
"Aih ... terserah lo deh. Gue mau cerita nih. Tadi kan ada laba-laba-."
"Terus lo nangis," potong Ilham.
Syifa berdecak kesal, "Ck, iya lo pasti tau kalo gue nagis. Cuman masalahnya, gue jadi keingetan sama temen masa kecil gue dulu. Lo inget Ka Ali, kan?" tanya Syifa.
"Oh ... Ali, iya gue inget. Dulu lo sama dia deket banget, kaya pacaran tau gak?"
"Lo bilang gitu jadi ngingetin gue pas Ka Ali ngasih es krim coklatnya, gara-gara es krim gue jatoh ke tanah." Syifa tersenyum, saat memori masa lalunya memutar sebuah kejadian manisnya bersama lelaki bernama Ali.
"Emang es krim lo kesandung batu apa, sampe jatoh gitu, hahaha ..."
"Ga lucu!" Syifa bangkit dari duduknya, kemudian pergi meninggalkan Ilham.
Masa lalu itu ... ada yang manis, bahkan ada yang pahit. Masa kecil bersama seorang teman yang selalu hadir kala kita membutuhkannya adalah nikmat. Namun, ketika dua insan terpisahkan oleh sebuah jarak, apakah hubungan mereka akan tetap bertahan? Jika masih, apakah hubungan itu akan tetap bertahan, walau tak ada komunikasi dan kabar sama sekali?
Kadang, orang-orang menyalahkan jarak. Padahal, adanya jarak di antara mereka itu adalah sebagian takdir dari Allah.
Mungkin saat ini jarak memisahkan, namun, jika Allah berkehendak, tentu pasti bertemu kembali. Rindu yang selama ini terasa akan hilang seketika, kala melihat kembali wujudnya, yang pernah hadir di masa lalu.
Ah ... gue rindu banget sama lo! Maafin gue yang pernah ninggalin lo tanpa pamit. Gue nyesel banget deh. Kalo waktu bisa diputer, gue pasti gak bakal mau ninggalin lo. Sorry, batin Syifa.
Cukup dua kata saja, yang ingin ku katakan padamu ...
Aku, rindu ...
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top