Bab 7
Happy reading 😀
Suara azan subuh berkumandang dari masjid yang tak jauh dari kediaman mertua Amira.
Amira mengucek kedua matanya lalu melirik kearah samping. Tampak Pras masih tertidur pulas tanpa terganggu sedikitpun.
Perlahan Amira menggeser tubuhnya yang terasa remuk setelah semalam melepas rindu dengan suaminya. Amira meraih pakaiannya yang masih teronggok di lantai lalu segera memakainya kembali.
Amira segera membersihkan tubuhnya dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selesai shalat Amira menatap suaminya yang tak juga bangun.
"Mas, sudah subuh. Bangun, mas, shalat dulu," ujar Amira sambil menggoyangkan lengan Pras.
"Nanti saja, dek, mas masih ngantuk,'' jawab Pras, dia menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.
Amira menghela nafas lalu beranjak dari samping suaminya dan membangunkan Zein.
Tanpa harus repot-repot, Zein langsung membuka matanya dan menatap Amira. Zein beralih menatap seseorang yang bergelung dibalik selimut.
"Ini siapa, Mami?"
"Papa Zein,"
"Papa?"
Tangan Zein terulur ingin menarik selimut yang menutupi tubuh Pras, tetapi Amira melarangnya. Dia tidak mau melihat putranya terkena omelan suaminya nanti.
"Papa masih bobok, sebaiknya Zein mandi ya, nanti kan mau sekolah."
Zein hanya mengangguk. Tatapan matanya tak lepas dari sosok sang papa yang masih bergelung diatas tempat tidur.
Amira membawa Zein keluar dari kamar dan mendudukannya di sofa.
"Zein nonton kartun dulu ya, mami mau masak air buat mandi,"
"Iya, mami,"
Setelah menyalakan televisi Amira langsung kedapur. Dia memasak air untuk memandikan putranya dan juga membuat makanan untuk sarapan.
Sampai Amira selesai memandikan Zein dan menyuapinya, lalu dia bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Pras masih anteng bergelung di balik selimut, tidak terganggu sama sekali.
"Mami, papa masih bobok ya?" Zein menanyakan papanya yang belum juga keluar dari kamar.
"Iya, Nak. Mungkin papa cape,'' ucap Amira lembut. "Nanti pulang sekolah di jemput Mbah Kung ya, gak boleh nakal. Siang harus bobok," lanjut Amira menasehati putranya.
Zein hanya menatap maminya tanpa mengucapkan apa pun.
"Mami berangkat duluan ya, ingat! Nggak boleh bandel, kasihan Mbah Ti,"
"Iya, Mami,"
Amira menciumi wajah Zein dengan gemas, setelah puas dia segera berpamitan pada mertuanya dan berangkat kerja.
Amira berencana untuk meminta izin pada pimpinannya hari ini, izin bekerja setengah hari saja. Karena ada banyak pekerjaan menantinya di rumah. Belum lagi membereskan pakaian kotor suaminya.
Setiap kali suaminya pulang kerumah, sudah di pastikan dia membawa baju kotor yang lumayan banyak.
"Mbak Mir!" Amira menghentikan langkahnya dan menoleh pada orang yang memanggilnya.
"Mas Yus, kenapa Mas?" jawab Amira.
"Masmu pulang ya? Apa dia libur lama?"
"Mungkin semingguan, Mas,"
"Mau di ajak jagongan nanti malam, di rumah mbak Tri. Anaknya besok mau sunatan," ujar Yus memberitahu Amira.
"Jagongan? O ... i iya Mas, Mas Yus ke rumah saja, bicara sama orangnya langsung ya. Saya permisi dulu, mau kerja,'' tanpa menunggu jawaban dari Yus, Amira langsung melangkah pergi.
Ada perasaan kesal didalam lubuk hatinya. Amira tau, jika suaminya sudah berkumpul bersama para pemuda itu, artinya Pras akan pulang kerumah dalam keadaan mabuk berat.
Belum lagi Pras yang selalu menghabiskan seluruh uangnya hanya untuk makan-makan bersama temannya dan membeli minuman beralkohol. Sudah berkali-kali Amira menasehatinya untuk tidak minum dan berkumpul bersama para pemuda. Akan tetapi, selalu saja hanya kemarahan Pras yang di dapat.
Tiba di pabrik Amira langsung menuju ruangan pimpinannya, dia tidak mau menyia-nyiakan waktu. Lebih cepat meminta izin, lebih baik pikirnya.
Amira mengetuk pintu kaca di hadapannya dua kali. Tak berapa lama terdengar suara seseorang menyuruhnya masuk.
Amira mengembuskan napas panjang lalu mendorong pintu dan melangkah masuk.
"Pagi, Pak," sapa Amira sopan.
"Tumben, Mir, pagi-pagi kesini?" bukan menjawab sapaannya, lelaki yang duduk di balik meja itu malah balk bertanya.
"I iya, Pak, ehm ... aku ... aku mau izin hari ini," ujar Amira takut-takut.
"Izin? Memang ada apa?" Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan menatap Amira.
"Tidak ada. Suamiku pulang hari ini," sahut Amira malu-malu.
"Bilang dari tadi kek,"
"Pak Andri kan gak nanya,"
"Ya harusnya kamu jelaskan dong. Biar gak mutar-muter. Kamu mau pulang sekarang atau gimana?"
"Kalau Pak Andri izinkan, aku pulang sekarang, kalau nggak ya ...
"Maksa!"
"Nah itu tau. Bapak kan tau, aku jarang absen, jadi boleh kan ya?"
"Gimana ya, Mir? Setengah hari saja ya?" Ujar Andri.
Amira membuang napas kasar lalu mengangguk samar.
"Iya, Pak, terima kasih," Amira memutar rubuhnya hendak meninggalkan ruangan Andri.
"Mir," panggil Andri.
"Iya?" Amira kembali berbalik dan menatap laki-laki seumuran suaminya yang juga tengah menatap dirinya.
"Nggak jadi," sahut Andri seperti orang kebingungan.
"Aneh!" Desis Amira. Lalu dia segera meninggalkan ruangan Andri dan langsung keruangan kerjanya.
Selama bekerja Amira lebih banyak diam dan bengong. Dia bahkan tidak bicara pada Mey dan Yani yang terbilang cukup dekat dengannya.
Menjelang istirahat siang, Amira membereskan barang pribadinya. Karena dia akan langsung pulang.
"Loh, Mbak Mira kok beberes?" Yani yang melihat Amira membersihkan mejanya terlihat heran campur penasaran.
"Aku tadi izin sama Pak Andri, mau pulang siang," ujar Amira menjelaskan.
"Langsung di kasih izin sama dia?" tanya Yani tidak percaya.
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Aku yang minta izin dari minggu lalu, gak di kasih. Curang tuh, untung ganteng," gerutu Yani.
"Aku pulang duluan ya, Yan," ujar Amira tak menghiraukan gerutuannya, setelah pamitan pada Yani dan beberapa temannya, Amira segera berlalu pergi.
Amira menuju loker untuk mengambil tas, di depan pintu masuk dia kembali berpapasan dengan Andri.
"Mau pulang sekarang, Mir?" tanya Andri sambil menatap wajah pucat Amira.
"Iya, Pak, permisi," Amira berjalan melewati tubuh tinggi Andri tanpa berani menatapnya.
"Sebaiknya kamu ke dokter, Mir, wajahmu pucat begitu,"
Amira menghela napas dalam, lalu menjawab, "iya, Pak, mungkin nanti atau besok,"
Melihat Amira yang tak acuh, Andri hanya menggelengkan kepala.
Setelah mengambil tas, Amira langsung pulang. Berjalan menyusuri gang-gang sempit dan melintasi rel kereta api seorang diri. Terik sinar mentari tak membuatnya mengeluh atau menyurutkan langkah.
Tiba dikediaman mertuanya Amira mengucap salam dan langsung membuka pintu, kebiasaan Ibu mertuanya yang tidak pernah mengunci pintu membuat Amira tak perlu bersusah payah meminta di bukakan kunci.
Amira mengedarkan pandangannya ke sekililing rumah yang tampak sepi. Amira melangkah menuju kamarnya, samar dia mendengar suara Pras yang sepertinya tengah berbicara di telepon.
"Iya mama, sabar dulu. Aku kan lagi liburan, kangen keluarga," Amira menajamkan pendengarannya dari balik pintu. Bukan tidak sopan menguping pembicaraan suaminya sendiri, tetapi dia penasaran karena mendengar Pras memanggil mama pada lawan bicaranya.
"Mira kerja, dia tidak tau aku teleponan sama mama. Jadi tenang saja ya," lanjut Pras. Sedangkan Amira berdiri dengan seluruh tubuh bergetar hebat. Kedua matanya terpejam rapat menahan gejolak emosi yang hampir meluap.
"Mama jangan ngetag papa dulu di facebook ya, banyak teman Mira yang punya facebook loh, kalau sampai Mira tau bisa gawat nanti,"
Perlahan tubuh Amira luruh, kedua kakinya seperti tidak bertulang mendengar percakapan suaminya entah dengan siapa.
"Mami!" Mira terperanjat karena mendengar teriakan Zein dari arah depan. Dengan segera dia bersiri dan berjalan menghampiri sang anak.
"Mami pulang,"
"Iya mami pulang. Zein dari mana?"
"Ikut Mbah Uti beli kopi,"
"Dek, kok kamu pulang siang?" Pras yang baru keluar dari kamar menghampiri istri dan anaknya.
"Iya, Mas, aku izin tadi,"
"Kenapa izin?"
"Tidak apa-apa, aku kan belum mencuci baju kotor punya, Mas," ujar Amira.
Sekilas Amira melihat Pras yang salah tingkah, tapi dia tidak mau ambil pusing. Dadanya masih bergemuruh setelah mendengar percakapan Pras tadi.
Siang berganti malam, sang surya kembali keperaduan. Malam yang sunyi hanya di sinari rembulan yang temaram.
Amira merebahkan tubuh lelahnya di samping sang anak, mencoba menjemput kantuk.
Keesokan harinya, Amira tampak berdiri disamping tempat tidur. Dia menatap ponsel suaminya yang tak pernah lepas dari genggamannya.
Amira mengulurkan tangannya mengambil ponsel Pras, jantungnya berdegup kencang ada perasaan takut di dalam hatinya.
Namun, dia sangat penasaran ingin tau apa saja yang di sembunyikan Pras darinya. Setelah berhasil mengambil ponsel Amira bergegas keluar dari kamar dan berpamitan pada mertuanya.
Ya ... Amira membawa ponsel Prasetya ke tempat kerjanya. Apa pun yang akan dikatakan suaminya nanti, itu urusan belakangan, pikir Amira.
Jadi kangen pak Andri wkwkkk ... astaghfirullah😬
Aduh pak, anakmu udah berapa sekarang?
Zamannya ponsel Nexian yang bentuknya kek bedak, yang jadi modelnya Maudi Kusnaedi.
Galaxy baru keluar waktu itu 😅 jadi ingat Galaxy young🐒
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top