Bab 4
Amira duduk membisu di dalam kamarnya, pikirannya sangat kalut setelah tadi melihat foto-foto Pras dan tetangganya yang berada di luar kota. Bahkan Mira mengabaikan Zein yang sedari tadi terus merengek meminta di belikan roti goreng.
"Nduk kamu kenapa toh? Zein nangis minta di belikan roti!" Ibu mertuanya yang mulai jengah dengan Mira akhirnya menegurnya. Dia berdiri di ambang pintu kamar dan menatap menantunya yang masih betah berdiam diri di dalam kamar. "Ndok?" Ibu mertua Mira kembali memanggilnya.
Mira menoleh dengan sedikit bingung. "Iya, Bu, ada apa?" Tanya Mira, tidak biasanya mertuanya bersikap seperti itu. Menatap dirinya penuh selidik.
"Kamu kenapa? Dari tadi kok melamun terus?" Ibu mertuanya duduk di sebelah Mira dengan tatapan penuh tanya.
"Melamun? Oh ... enggak kok Bu hehe ...," jawab Mira di selingi kekehan yang sangat di paksakan.
"Zein nangis dari tadi, dia minta roti goreng," ujar ibu mertuanya dengan suara datar.
"Iya Bu. Kalau begitu Mira belikan dulu sekarang," Mira berdiri dan langsung mengambil dompetnya yang ada di atas nakas.
"Ndak usah. Zein mau di jak Pak Le nang Stasiun,"
Mira diam terpaku mendengar ucapan Ibu mertuanya. "Barusan pergi ya, Bu?"
"Dari tadi. Kamu di panggil-panggil ora nyauti blas, tahunya malah melamun di kamar,"
Mira kembali menjatuhkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur, dia melirik ibu mertuanya sekilas.
"Bu, apa Ibu kenal yang namanya Mbak Laras?" Suara Mira terdengar bergetar menahan segala kegundahan di hatinya.
Ibu mertuanya menatap Mira semakin heran. "Laras ? Oh anaknya Bu Parmi seng dodol pecel nang Stasiun tah?!"
"Enggeh Bu," Mira kembali menatap mertuanya yang tampak sedang berpikir.
"Opo'o ambek Laras?"
Mira menggelengkan kepalanya. "Enggak papah kok, Bu," jawabnya pelan. Mira mengurungkan niatnya untuk mengatakan pada ibu mertuanya perihal sang suami dan tetangganya itu. Dia tidak mau membuat ibu mertuanya berpikiran yang tidak-tidak.
Hari berganti hari Mira menajalani aktivitasnya seperti biasa. Bekerja dan mengurus putra semata wayangnya. Tidak ada yang tahu dengan kegundahan hatinya, entah itu mertuanya atau kedua temannya. Apa lagi keluarganya yang sangat jauh, Mira tidak pernah sekalipun menceritakan perihal rumah tangganya yang mulai goyah.
Prasetya pun sangat jarang menghubungi Mira, dia seolah lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap istri dan juga putranya. Jangankan tanggung jawab sekedar memberi kabar saja hampir tidak pernah kalau bukan Mira yang menghubunginya terlebih dahulu.
Jika Mira menelpon atau berkirim pesan dia masih terus beralasan kalau di tempatnya bekerja sedang sibuk dan tidak bisa menerima panggilan terlalu lama. Mira yang dulu selalu mempercayai apa kata suaminya, sekarang mulai meragukan semua itu.
"Mbak Mira!"
Mira mencari asal suara seseorang yang memanggil dirinya.
Dari kejauhan tampak Yani berlari menghampiri. "Tunggu Mbak," ujar Yani sembari mengatur nafas.
"Kenapa kamu lari-larian begitu?" Mira menatap Yani yang masih terengah di hadapannya.
"Sampean udah telepon mas Pras belum?" tanya Yani dalam sekali tarikan nafas.
Mira menggeleng. "Kemarin aku telepon, tapi gak di angkat. Mungkin lagi sibuk," jawab Mira dengan wajah mendung.
Yani mengusap pundak Mira. "Yang sabar ya, Mbak."
"O iya, tadi kamu mau ngapain lari-larian?" Mira mengalihkan topik pembicaraan dan menanyakan maksud Yani.
Yani seakan ragu untuk mengungkapkan maksud dan tujuannya, padahal dia sudah berlarian mengejar Mira.
"Yan?"
"Eh i ini, Mbak," Yani menyodorkan ponsel miliknya pada Mira.
"Ponsel kamu kenapa, rusak?" Mira kebingungan karena Yani malah mamberikan ponsel padanya.
Yani memutar bola mata jengah. "Bukan rusak, Mbak! Buka ini dan lihat sendiri." Ujar Yani, lalu dia segera membuka salah satu aplikasi media sosial miliknya dan menunjukkan beberapa foto Pras yang sedang berpelukan di pantai bersama Laras.
Tidak terasa air matanya keluar tanpa permisi, dadanya terasa sesak dan sangat sakit. Kedua kakinya terasa lemas seolah tidak bertulang.
"Mbak," Yani memegangi kedua pundak Mira supaya tidak terjatuh. "Maafkan aku, Mbak. Bukan maksudku membuat Mbak seperti ini," ujar Yani bersungguh-sungguh. Dia hanya kasihan pada Mira yang selalu di bohongi dan terlalu penurut menurutnya.
Yani membawa Mira dan mengajaknya duduk di pinggir rel.
"Mbak, menuruti suami dan tidak membantahnya memang bagus, tapi jangan terlalu berlebihan juga,"
"Berlebihan bagaimana, Yan? Bukankah kewajiban istri untuk selalu mentaati suami," Sahut Mira.
"Aku memang belum menikah, Mbak, kita seumuran cuma beda status doang. Tapi melihat Mbak Mira yang kelewat manut seperti ini, menurutku kebangetan. Patuh dan taat oke lah, tapi sampean ini berlebihan sekali sampai gak sadar kalau di kekang dengan alasan kewajiban," jawab Yani panjang lebar.
Mira terdiam, dia mencoba memahami kata demi kata yang di ucapkan Yani barusan.
"Aku harus bagaimana?" Mira nenatap Yani yang juga tengah menatap dirinya. Yani menghembuskan nafas kasar.
"Coba lihat Mbak Mey, atau Mbak Rosa tuh. Mereka juga sama ibu rumah tangga, malah anak mereka dua loh. Apa mereka keteteran hanya karena mereka bekerja di pabrik, ngurus rumah dan punya ponsel bagus, enggak kan?! Mereka santai saja tuh. Dan lihat suami mereka, apa ada yang mengekang seperti suami pean?"
Mira menggelengkan kepala. Mey memang di beri kebebasan oleh suaminya begitu juga dengan Rosa, kakak iparnya. Selalu di perbolehkan melakukan apa pun selama tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Aku takut, kalau nanti di sebut durhaka sama suami,"
Yani mengusap wajahnya kasar. "Iya jika suaminya benar. Kalau salah, apa mau diam saja dan menangis siang malam meratapi nasib?" Sahut Yani ketus.
"Maaf bukan maksudku membuat Mbak Mira membangkang pada suami. Aku hanya ingin Mbak membuka pikiran saja,"
"Makasih Yan. Aku juga tahu kalau niat kamu baik. Aku juga sadar kalau selama ini terlalu penurut, bahkan Kakakku sendiri sering mengatakan itu," ucap Mira. Dia tidak menyalahkan Yani atau menuduh yang bukan-bukan. Mira juga sadar kalau selama ini dirinya memang terkekang dan terlalu penurut.
"Jangan hanya memikirkan perasaan pasangan dan kebahagiannya saja. Pikirkan juga perasaan kita dan kebahagiaan kita Mbak," lanjut Yani, nada suaranya melembut tidak menggebu seperti tadi.
"Iya, Yan, kamu benar sekali. Selama ini aku hanya memikirkan perasaan suamiku saja, tanpa sadar kalau aku hampir mati rasa di buatnya hehee ...!" Mira terkekeh sendiri, bukan karena ada hal yang lucu, dia hanya menertawakan kenaifannya saja.
Apa dirinya sebodoh dan sepolos itu? Sampai-sampai begitu mudahnya di bohongi.
Mira memang tidak mengerti apa pun, dulu dia menikah di usia muda dan langsung ikut pindah ke rumah mertuanya. Minimnya pengetahuan membuat Mira selalu menelan mentah-mentah apa pun yang di ucapkan suaminya.
Ada orang ke?
😴😴😴😴
Udah pada tidur yaa
Oke lah gd nite everyone
Cerita ini masih panjang, tapi berhubung hening sunyi senyap kek hatinya para jomblo, jadi gak semangat updatenya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top