Bab 3
Suana pasar Besar cukup ramai, padahal hari sudah menjelang sore. Mira dan Mey dengan cepat membeli keperluan dapur mereka sedangkan Yani hanya mengekori tanpa membeli apa pun.
“Mami, Zein boleh beli buku yang di sana?” Zein merengek sembari menunjuk arah jalan. Mira teringat kalau dia sering membawa Zein ke toko buku yang tidak jauh dari alun-alun. Tepatnya di seberang Plaza.
“Iya, nanti kita sekalian ke alun-alun.” Ujar Mira. Zein melompat-lompat senang dan meminta maminya untuk segera ke sana. “Mbak Mey, nanti mampir ke toko buku dulu ya. Zein mau beli buku untuk belajar membaca,” ujar Mira pada Mey yang masih memilih tingting jahe. Mey hanya mengangguk tanpa menjawab.
Selesai berbelanja dan membeli berbagai macam camilan Mira dan kedua temannya serta Zein langsung keluar dari area pasar Besar. Mereka berjalan menuju toko buku yang berada di seberang Plaza.
Zein tampak sangat antusias karena akan di belikan buku bacaan yang baru oleh maminya. Sepanjang jalan Zein terus berceloteh dan mengatakan kalau menginginkan buku kisah dua puluh lima Nabi. Mira tersenyum bahagia melihat putranya begitu ceria tidak terlihat jika dia kekurangan kasih sayang dari sang papa. Tiba di toko buku mereka naik ke lantai dua, tempat yang menyediakan berbagai macam buku bacaan untuk anak-anak dan juga dewasa. Di sana juga di jual berbagai buku pelajaran serta alat-alat tulis lainnya.
“Zein, beli buku yang ini saja ya?” Mira memperlihatkan sebuah buku bacaan untuk anak-anak yang bergambar. Zein langsung berlari menghampiri Mira dan mengambil buku yang di pegang maminya.
“Mau, Mami,” seru Zein sembari mendekap buku.
“Itu saja ya?” ujar Mira pada putranya. Zein langsung merengut, bibir mungilnya mengerucut lucu.
“Mau buku cerita Nabi seperti punya Farah,” rengek Zein, dia tetap menginginkan buku kisah dua puluh lima Nabi, seperti milik teman sekolahnya.
Mira mengalah, dia berjalan mencari buku yang di minta anaknya. Dan menemukannya di antara buku-buku religi. Mira mengambil buku bacaan tersebut dan kembali memperlihatkannya pada Zein.
“Yang seperti ini bukan?” tanya Mira pada putranya.
Zein mengangguk karena buku yang di cari akhirnya bisa dia dapatkan. Kedua matanya terlihat berbinar bahagia.
“Ayo nanti Tante Mey sama Tante Yani kelamaan menunggu di bawah.” Mira menggandeng tangan Zein dan mengajaknya menuju kasir yang berada di dekat tangga menuju ke bawah. Setelah membayar kedua buku tersebut, Mira menggendong Zein dan berjalan menuruni tangga.
“Sudah selesai ya, Mbak?” tanya Yani begitu melihat Mira dan Zein datang.
‘’Sudah. Maaf ya lama menunggu,” ujar Mira merasa bersalah karena membuat kedua temannya menunggu.
“Santai ae Mbak, kayak sama siapa saja,” Yani menimpali ucapan Mira yang di anggapnya terlalu serius dan mudah merasa tidak enak hati.
“Lagian Mbak Mira ke atas Cuma sepuluh menit doang,” sahut Mey ikut berbicara.
Mira mengulum senyuman, namun tetap saja dia merasa tidak enak hati. Karena bukan sekali ini saja dia melakukan hal itu, tapi berkali-kali setiap mereka keluar bersama.
Mira memang tidak pernah meninggalkan Zein, kecuali jika dia sedang bekerja maka Zein akan di asuh oleh ibu mertuanya.
Setelah berbasa-basi sebentar mereka berempat akhirnya meninggalkan toko buku dan langsung menyeberangi jalan menuju alun-alun. Sebelum menyeberangi jalan Mira kembali menggendong putranya, karena jalanan sangat ramai oleh kendaraan bermotor yang lalu lalang. Sampai di alun-alun Mira segera menurunkannya kembali dan membiarkan Zein berlarian di atas batu-batu yang tersusun rapi.
Mira menghampiri seorang ibu yang menjual minuman ringan dan juga kopi, dia membeli air mineral untuk Zein dan juga membeli biji jagung untuk di berikan pada merpati yang banyak berkeliaran di area alun-alun tersebut.
Sementara Mira mengajari Zein memberi makan merpati, Mey dan Yani sibuk berfoto ria.
“Mbak Mira sini,” teriak Yani, dia tampak melambaikan tangannya meminta Mira untuk segera mendekat. Setelah Zein terlihat anteng sembari menebarkan biji jagung, Mira segera menghampiri Mey dan Yani.
“Ada apa?” setelah berada dekat dengan Mey dan Yani, Mira langsung bertanya.
“Kita foto dulu, Mbak. Mana Zein?” Yani mengajak Mira untuk berfoto.
“Zein di sana memberi makan burung,” jawab Mira, tangannya menunjuk pada Zein yang masih anteng memberi makan burung.
“Ajak sini Mbak, kita foto sama-sama.” Mira menurut dia segera menghampiri Zein dan mengajaknya untuk berfoto.
“Nanti mau aku unggah di Facebook,” ujar Yani setelah selesai berfoto-foto.
Mira menatap kedua temannya yang asyik memilih foto untuk di unggah di sosial media, sedangkan dia hanya tersenyum kecut. Jangankan media sosial seperti temannya, bahkan ponsel yang dia pakai saja sudah termasuk barang langka.
Terbersit tanya di dalam hatinya apakah benar jika dia memiliki ponsel bagus dan media sosial seperti mereka, dia akan mengabaikan putranya atau bahkan lalai terhadap pekerjaannya?
Padahal teman-teman dan saudara iparnya saja tidak ada yang pernah keteteran hanya karena memiliki ponsel bagus.
“Mbak Mira, lihat ini,” Yani bergeser dan mendekat ke sebelah Mira. “Ini mas Pras sama siapa ?” Yani menyodorkan ponselnya pada Mira. Penasaran dengan apa yang Yani lihat akhirnya Mira menerima ponsel itu dan memperhatikan layarnya dengan saksama. Benar saja, tampak di layar ponsel ada gambar suaminya, Pras. Yang tengah duduk di sebuah restoran dengan seorang wanita dewasa mereka berdua terlihat sangat akrab.
“Tidak tahu, Yan, tidak kenal. Mungkin Mey tahu,” ujar Mira, dadanya tiba-tiba terasa sesak dan kepalanya terasa sangat pusing.
Suaminya yang selalu berkata sibuk dan banyak pekerjaan, ternyata bisa jalan-jalan dan makan di restoran bagus seperti itu. Padahal dia sangat jarang mengirimkan uang, walau untuk sekedar membeli susu Zein. Mira harus bekerja sendiri untuk makan dirinya dan anaknya. Mira bahkan harus membayar uang pendaftaran sekolah sendiri tanpa sedikit pun di bantu suaminya, karena Mira ingin anaknya segera masuk sekolah. Beruntung, saat itu dia mendapatkan uang arisan yang di adakan teman-temannya di pabrik.
“Ini ‘kan si Laras, anaknya Bude Parmi yang jualan pecel dekat Stasiun,” ucap Mey sembari menyodorkan ponsel Yani pada pemiliknya.
“Yang mana sih Mbak Mey?” tanya Yani penasaran. Sama seperti Mira yang sangat penasaran tentang siapa wanita yang bersama suaminya itu.
Sebisa mungkin Mira menahan air matanya yang sudah berdesakan supaya tidak keluar.
“Yang kerja di Batam loh, tapi orangnya jarang pulang. Aku rasa Mbak Mira gak bakalan kenal deh, soalnya masih warga baru di sini.” Ucap Mey menjelaskan siapa wanita yang tampak sangat dekat dengan suami Mira.
Mira menghela nafas dalam dan panjang lalu menghembuskannya perlahan, memberi sedikit ruang kosong di rongga dadanya yang terasa sangat sesak. Dari awal menikah sampai hari ini Mira selalu menuruti semua perkataan suaminya. Mira pun menurutinya saat sang suami melarang dirinya untuk memiliki ponsel bagus dan hanya memakai yang tipe lama saja, itu pun Cuma untuk berkirim sms saja dan menerima telepon, tidak lebih.
Tapi kenapa? Kenapa suaminya seperti itu?
Apa salah Mira selama ini? Bukankah dia selalu menuruti apa pun yang di ucapkan oleh Pras, tidak pernah keluar kata bantahan atau sekedar kata tanya dari mulutnya. Mira selalu mengiyakan selama itu di anggapnya masuk akal. Iya, memang masuk akal Pras ingin Mira fokus mengurus anak mereka dan juga bekerja. Tapi sekarang hati kecil Mira meragu.
😴😴😴😴
Ngantuk
Happy weekend
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top