Bab 1
Assalaamu'alaikum
Ketemu lagi di story baru aku ☺
Ilang timbul yak 🤣🤣🤣🤣🤣🤣
"Jangan memakai barang-barang seperti itu, kamu itu punya anak dan juga bekerja, nanti yang ada keteteran semua!" Masih terdengar jelas di telinganya suara suaminya yang berteriak memarahi dirinya, hanya karena dia hendak membeli sebuah ponsel saja. Padahal bukan untuk melakukan hal-hal yang negatif apa lagi sampai melakukan sesuatu di luar nalarnya.
Keluarga yang sangat jauh selalu meminta dirinya untuk melakukan panggilan video, tapi apa mau di kata ponsel yang dia pakai hanya bisa untuk melakukan panggilan biasa saja dan berkirim pesan.
"Mami!" teriak seorang Bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam Taman Kanak Kanak. Si Bocah terus berlari menghampiri wanita yang tengah berdiri di dekat gerbang sekolah.
"Kesayangan Mami," ujar sang mami. Kedua tangannya menangkup wajah anaknya seraya menciuminya dengan sayang. "kita pulang ..." lanjutnya sembari menggandeng tangan anaknya.
"Mami aku mau beli mainan, boleh?" tanya si Bocah, jari telunjuknya terangkat dan menunjuk pedagang mainan yang ada di depan sekolahan.
"Bukankah di rumah sudah banyak mainan hm?" ujar maminya.
"Tapi aku mau itu," rengeknya lagi.
Dengan berat hati akhirnya sang mami melangkah mendekati pedagang mainan.
"Zein, tidak boleh seperti itu! Zein boleh pilih, asalkan tidak di acak-acak." Maminya langsung menegur sang putra karena membuat dagangan orang berantakan.
"Mami lihat, aku mau ini," Zein mengambil sebuah pistol air dan memperlihatkannya pada sang mami.
"Itu saja?" tanya maminya seolah tidak yakin dengan pilihan Zein yang hanya mengambil pistol air berukuran kecil.
"Iya, Mami." Ujar Zein. Dia tampak begitu senang dengan mainan barunya.
"Baiklah, Jagoan, sekarang kita pulang."
Ibu dan anak itu berjalan meninggalkan area sekolahan. Cuaca kota Malang siang ini sangat panas, debu-debu jalanan tampak beterbangan tertiup angin. Hanya suara bising kendaraan bermotor yang terdengar. Sesekali Zein berceloteh dengan riang, sedangkan maminya hanya menatapnya dalam diam dan mengikuti langkah kaki mungilnya dari belakang.
Mereka berjalan melintasi rel kereta api yang menjadi pemisah antara kampung atas dan kampung bawah. Zein memegang erat tangan maminya saat hendak melewati jalan yang menurun tajam.
"Zein pelan-pelan jalannya!" Seru maminya saat Zein hendak berlari setelah melewati turunan.
Zein tidak menghiraukan perkataan sang mami dia semakin cepat berjalan melewati rumah-rumah penduduk di dekat rel kereta api.
"Zein!" teriak maminya.
"Iya, Mami, aku mau kasih tahu Mbah Uti. Kalau punya pistol baru." ujar Zein dengan semangat.
Maminya hanya mendesah sembari mempercepat jalannya, mengejar sang anak yang langsung menuju kediaman kakek dan neneknya.
Zein berhenti di depan sebuah rumah sederhana, lalu melepaskan sepatunya.
"Assalaamu'alaikum!" teriaknya sembari membuka pintu dan menerobos masuk.
"Wa'alaikumus salam, aduduuh ... cucu Mbah sudah pulang sekolah!" seorang wanita paruh baya datang menghampiri Zein. "mana Mami kamu, Le?"
"Mami masih di luar." Sahut Zein.
Tidak berapa lama maminya muncul dari ambang pintu dan menatapnya dengan tatapan lelah.
"Lihat, Uti, aku beli pistol air baru," Zein menunjukkan pistol air yang tadi di belinya.
"Asaalamu'alaikum. Maaf Bu, tadi Zein lari-larian. Mira gak sanggup kalau ikutan berlari!"
"Walah Le, Le ...! Lain kali jangan lari-larian ya, nanti jatuh,"
"Iya, Uti,"
"Jangan iya-iya saja, tuh lihat Mami kamu sampai berkeringat begitu. 'Kan kasihan!"
Zein menatap Mira yang tengah mengusap wajahnya menggunakan tisu. Bukan hanya berkeringat, tapi wajah sang mami yang putih terlihat memerah.
"Mami cape ya? Mau Zein ambilin minum ndak?" Ucap Zein. Dia menawari Mira minuman.
"Boleh. Tapi Mami mau es campur," ujar Mira. Dia mengulum senyuman saat melihat raut wajah bingung Zein.
"Tapi, Mami ... di rumah Mbah Uti adanya air putih sama teh. Nggak ada es campur!" sesal Zein. Dia masih terlihat kebingungan dan juga menyesal karena di rumah mbahnya tidak menyediakan es campur.
Mira tertawa melihat ekspresi wajah anaknya yang terlihat lucu dan menggemaskan.
"Ya sudah, kalau tidak ada es campur, air putih juga gak papah." Ujar Mira. Raut wajah bingung Zein seketika berubah, dengan sangat cepat bocah lima tahun itu berlari menuju dapur mengambil gelas kosong, lalu segera membuka kulkas dan mengambil botol air minum yang berjejer di bagian pintunya.
"Ini, Mami," Zein menyodorkan gelas berisi air putih dingin yang sebagian isinya sudah tumpah dan berceceran sepanjang ruangan.
Mira segera menerima gelas dari tangan Zein lalu meminumnya.
"Ah segarnya. Terima kasih sayangnya. Mami." Ujar Mira sembari tersenyum manis pada putranya.
Zein tersenyum senang karena sudah membuat maminya tidak kepanasan lagi.
"Zein ganti baju dulu ya? Habis itu makan," Mira membawa gelas kosong yang tadi di ambil Zein dari dapur. Setelahnya dia segera membawa sang anak ke kamar mandi, membasuh tangan serta kakinya lalu membuka seluruh seragamnya. "ayo ke kamar ganti baju dulu."
Zein keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kamar kedua orang tuanya.
"Mami!" Zein berteriak dari dalam kamar.
"Sebentar. Mami cuci seragam Zein dulu." Jawab Mira dari arah kamar mandi. Mira segera menyelesaikan cuciannya lalu menyusul putranya ke dalam kamar. "Zein udah pakai baju?" Mira menatap putranya yang sekarang duduk di lantai dengan mainannya.
"Iya, Mami." sahut Zein. Dia tidak menoleh sedikit pun, dan tetap anteng dengan mainannya.
Mira menatap putranya dalam diam, ada rasa gundah yang bergelayut di dalam hatinya. Entah kenapa pikirannya selalu waswas dan tidak tenang. Apa lagi sejak suaminya jarang pulang, jangankan pulang sekedar menelepon saja hampir tidak pernah. Jika bukan Mira yang terlebih dahulu yang menghubunginya.
Suaminya yang bekerja di salah satu gerai restoran siap saji di kota Batam, hanya pulang beberapa bulan sekali saja. Jika Mira memintanya untuk pulang, suaminya selalu menolak dengan alasan sibuk dan tidak bisa mengambil cuti. Sedangkan Mira sendiri hanya bekerja sebagai buruh pabrik rokok PT Cemara Biru yang ada di daerah Janti, tidak jauh dari kediaman mertua Mira.
Mira mengambil ponsel yang selalu di simpannya di atas nakas, lalu membukanya berharap ada pesan dari sang suami. Tapi nihil, Mira hanya mendapatkan pesan dari operator seluler dan sebuah pesan dari keluarganya yang berada di Jakarta.
Mira segera membuka kotak pesan tersebut dan membacanya dengan teliti. Seulas senyuman terbit di bibir tipisnya, Mira segera mengetik pesan balasan untuk keluarganya lalu mengirimkan sms tersebut.
Ponsel Noki* yang di pakai Mira, bukanlah ponsel pintar seperti yang di pakai oleh orang lain, dia hanya memakai yang biasa. Cuma bisa di gunakan untuk menelepon dan berkirim sms saja. Suaminya selalu melarang dirinya menggunakan ponsel bagus dengan alasan akan mengganggu aktivitas Mira dan juga melalaikan anak mereka.
Mira yang bekerja sebagai buruh pabrik rokok harian, setiap pagi harus melakukan tugasnya sebagai seorang ibu dengan sangat cepat. Bangun sebelum subuh, menyiapkan bekal untuk anaknya sekolah dan perlengkapannya serta menyiapkan makanan untuk sarapan. Walau tubuhnya sangat lelah, Mira tidak sedikit pun berkeluh kesah, entah pada mertuanya atau terhadap keluarganya. Dia menjalani semuanya senang hati.
Selesai dengan pekerjaan rumah, Mira langsung bersiap-siap untuk segera berangkat ke pabrik. Biarpun tempat kerjanya dekat tapi Mira harus berjalan kaki dan lumayan memakan waktu. Iya, dari kampung Cipto Mulyo menuju ke Janti bisa di tempuh dengan waktu beberapa menit saja, jika menggunakan kendaraan bermotor. Tapi bila berjalan kaki akan memakan waktu sampai lima belas menit. Dan Mira harus cepat-cepat berangkat karena jam masuknya pukul lima lewat tiga puluh menit, pagi.
Mira menatap wajah Zein yang masih terlelap dengan damai hatinya sangat sakit, mengingat Zein yang hampir tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari suaminya.
"Assalamualaikum, Mbak Amira ...," Mira segera keluar dari dalam kamarnya begitu mendengar ucapan salam dari arah pintu depan.
"Wa'alaikumus salam." Mira membuka pintu, di luar tampak seorang wanita yang mengenakan pakaian yang sama, seperti yang Mira pakai.
"Bentar ya, Mbak Mey, aku pamitan sama ibu dulu." Mira kembali masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada ibu mertuanya. Setelah berpamitan pada mertuanya dan menitipkan Zein, Mira segera menghampiri temannya yang masih menunggu di depan rumah.
Mereka berdua meninggalkan kediaman mertua Mira dan berjalan kaki menuju pabrik. Selama dalam perjalanan keduanya tampak asyik bertukar cerita.
"Mbak, ini 'kan hari jum'at. Kita gajian! Siang nanti kita pergi ke pasar Besar yuk?" ajak Mey. Setiap hari jum'at mereka mengambil upah dari pabrik, dan Mira selalu memakai uang hasil kerjanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti sembako serta lauk pauk. Dia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk biaya sekolah Zein nanti jika hendak masuk sekolah dasar.
Semoga ada yang berkenan membacanya 🤗
Cerita ini mengandung bawang, cabe + terong. Jadi ... jangan lupa siapkan pisau yang tajam sama ulekan 😜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top