CHAPTER 3

Entah sejak kapan Lea, menaruh hati kepada Malik Hakim dengan begitu dalam. Mungkin saat pertama kali ia melihat pria itu di hari pertama mereka masuk sekolah. Atau saat Malik Hakim, dengan sukarela memberikan sweater yang ia kenakan untuk menutupi bagian belakang tubuh Lea, saat rok putihnya terkena noda darah karena menstruasinya saat itu yang begitu banyak.

Lea ingat betul.  Jam pelajaran sekolah sudah usai. Dengan santai ia berjalan bersama kawan-kawannya menuju halte depan jalan menunggu angkot Kopaja 95 tiba, saat salah seorang kawannya sedikit histeris mengatakan bahwa rok belakang Lea terdapat noda darah.  Lea yang begitu bingung sekaligus malu, hanya dapat menutupi bagian belakangnya dengan kedua tangan.

“Yah gimana dong?” tanyanya, setengah putus asa.

“Kelas berapa yang hari ini ada pelajaran olahraga yah? Pinjam celana training mereka saja,” usul Anantha, salah satu sahabat karibnya saat itu.

“Tapi kan kelas sudah bubar, Tha” timpal Ghaitsa, membuat Lea, semakin hilang akal.

Saat itulah sosok Malik Hakim menjadi begitu jelas dalam ingatan Lea. Saat tiba-tiba ada seseorang yang menyerahkan sweater berwarna abu tua ke arah Lea, membuat 3 orang sekawan itu menoleh ke arahnya.

“Tutupi pakai ini.” kata Malik.

“Tapi,-“ Lea, terdengar ragu

“Terima kasih yah,” Anantha, menyambar sweater dengan cepat dan memberikan intruksi kepada Lea untuk mengikatkannya di belakang pinggang. Ternyata sejak tadi pria itu ada disana, sedang duduk menunggu angkot yang sama dengan mereka.

“Lusa, Gue balikin.” Ujar Lea kepada Malik saat pria itu kembali duduk di bangku halte. Malik hanya mengangguk santai.

Sejak saat itu sosok Malik Hakim bagai pahlawan dalam hidupnya. Malik Hakim, terlanjur mengisi tempat di salah satu ruang ingatan dalam temporal otak Lea. Tersimpan, dan melekat sangat kuat disana. Hingga dalam hidupnya, baginya hanya ada satu orang laki-laki di dunia ini, yaitu Malik Hakim.

                    ***

“Bagaimana keadaan Bapak, Gun?” Tanya Malik Hakim, saat ia dan juga Lea tiba di IGD Rumah Sakit Mitra Bersama. Gunawan adalah seorang dokter jaga pada hari itu. Adik sepupu Lea, yang juga menjadi sepupu ipar bagi Malik Hakim.

“Baik kok, Mas. Hanya saja gula Bapak memang agak tinggi setelah di cek darahnya tadi. Bapak ada di sebelah pojok kanan sama Ibu.” Tunjuk Gunawan. Malik Hakim menepuk pundaknya pelan, seraya berterima kasih dan menyusul Lea yang sudah lebih dulu pergi ke bangsal.

“Gimana bapak, Buk?” Tanya Lea. Melihat pria berusia 65 tahun dengan rambutnya sudah memutih itu sedang menutup matanya rapat dengan selang oksigen di hidungnya. Ibu menyeka ujung matanya

“Bapakmu ini banyak pikiran, Le, karna itu gulanya tiba-tiba jadi tinggi.” Sahut ibu

“Obat gula Bapak terus diminum kan Buk?” sela Malik.

Ibu menggeleng, “Itulah. Bapakmu itu keras kepala. Dia bilang tidak mau minum obat lagi kalau belum lihat Lea menikah dengan kamu, Lik!”

“Hah!” seru Lea, kaget sekaligus melotot “Lho kok jadi kesana urusannya? Apa hubungannya Lea sama sakitnya Bapak sih?!”

“Ya adalah Le,” kini Bapak mulai bersuara, meski terdengar lirih. “Matanya terbuka dan menatap keduanya “Bapak mau lihat kamu menikah sebelum Bapak pergi,”

Demi mendengar itu Ibu malah terisak perlahan, mengurut-urut lengan Bapak yang keriput. “Jangan bicara begitu Pak!” seru Malik.

“Bapak juga enggak tega membayangkan Sakura punya ibu tiri,-“ sambungnya dan kini pria berusia 65 tahun itu menangis pelan.  

“Bapak sama Ibu tidak bisa begini. Malik dan Aku punya jalan kehidupan sendiri-sendiri. Malik berhak menentukan pilihannya dengan siapa dia akan menikah lagi kelak, dan kita tidak bisa memaksa dia terus pak! Begitu juga dengan aku.” Lea angkat bicara, mencoba membantu Malik Hakim keluar dari permintaan paksa kedua orang tuanya ini.

“Pokoknya Bapak maunya Malik menikah dengan kamu, titik!” kata pria bernama lengkap Prambudi Mahadewa.

Lea berdecak sebal menghadapi betapa keras kepala  bapaknya ini.  Baru saja ia ingin membalas dengan keras, dirasakannya tangan Malik menahan lengan Lea seraya menggeleng tegas. Malik Hakim maju, mengambil posisi yang sejak tadi ditempati oleh Lea.

“Malik belum ada kepikiran menikah lagi Pak.” Malik Hakim, berusaha menenangkan.

"Belum kan bukan berarti tidak, Lik." sahut Bapak lagi. Selang pernafasan terlihat naik turun di hidungnya yang mancung.

Bagi Malik Hakim saat menikahi Seruni, ia sudah menganggap pria dihadapannya ini seperti ayahnya sendiri, itulah mengapa ia selalu mencoba mengalah dan menuruti kemauan kedua mertuanya.

"Bapak lebih baik memikirkan soal kesehatan bapak dulu saja yah, jangan banyak mikir yang lain-lain." Balas Malik dengan hatii-hati.

"Bagaimana enggak banyak pikiran. Lea, sudah mau 33 tahun belum menikah bahkan calon suami saja belum kelihatan! Sakura kemungkinan bakalan punya ibu tiri, ndak mungkin toh Malik tahan hidup seorang diri tanpa istri disampingnya!" kini Ibu angkat bicara dengan logat jawa nya. Mereka berdua sama-sama berwatak keras. Kalau sudah maunya yah harus dituruti.

"Haduh….,." Bapak merintih sakit, matanya terpejam.

"Pak!" Ibu malah terdengar histeris dan mulai menangis. "Bagaimana tidak banyak pikiran, kalau terus begini bukan cuma bapakmu yang terbaring seperti ini tapi bisa bisa Ibu juga!"

Malik, mengambil nafas panjang dan mencuri pandang ke arah Lea menunggu reaksi wanita itu. Lea hanya melemparkan tatapan melotot ke arah Malik, pertanda bahwa dia tidak ingin Malik terus terusan menuruti permintaan kedua orang tuanya.

Bapak tiba-tiba ikut terisak pelan, membuat Malik Hakim terenyuh, "Bapak cuma mau lihat Lea menikah sebelum akhirnya bapak dipanggil pulang sama Allah SWT, dan tenang menitipkan Sakura sama kalian berdua."

Pasangan kakek dan nenek itu saling menangis sambil berpegangan tangan, lagi-lagi memposisikan Malik Hakim, hingga tersudut. Malik Hakim akhirnya mendekat ke arah Bapak, menggenggam tangannya dengan erat.  "Kalau memang dengan begitu Bapak dan Ibu menjadi tenang dan bahagia. Saya,-"

"Lik....," Lea, memanggil dengan suara tertahan. Ia curiga kalau pria dihadapannya ini lagi-lagi menuruti kemauan kedua orang tuanya yang seenaknya itu. Malik tidak menggubris panggilan itu dan mencoba memantapkan hatinya.

"Saya akan menikahi Azalea
Murdaningrum, putri Bapak yang pertama." Tuturnya dengan yakin, membuat kedua pasangan renta itu menatapnya dengan mata berbinar penuh haru dan bahagia.  Ibu serta merta memeluk menantu kesayangannya itu, begitu juga bapak yang mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya seraya mengucapkan 'Alhamdulillah'

Tersisa Lea seorang yang berdiri mematung tidak percaya akan janji dan perkataan Malik Hakim yang barusan ia dengar. Wanita itu masih diam mematung dan menunggu sang pria berdiri untuk menatapnya.

"Lik, Hei kamu Malik Hakim!" Panggil Lea dengan geram  menahan amarah,

Malik membetulkan posisinya dan menghadap ke arah Lea, jantung pria itu berdebar tapi semua sudah terlanjur. Bukankah beberapa jam lalu dia bilang bahwa dia sudah gila jika sampai melamar Lea menjadi istrinya? Kalau begitu sekarang anggap saja dirinya sudah tidak waras.

"Azalea Murdaningrum, maukah kamu menikah denganku dan menjadi Ibu bagi Sakura," saat itu ia merasa bahwa langit-langit kamar bahkan sedang menertawakannya.

------------Bersambung------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top