9. Pelajaran hidup
Cindy duduk di tepi tempat tidurnya, tersenyum hambar saat netranya menangkap foto-foto lama di nakas. Cindy tahu persis apa yang telah menggerakkan hatinya kembali ke masa lalu. Sebuah foto yang menampilkan dua anak perempuan berusia sepuluh tahun dan satu anak laki-laki berusia sebelas tahun. Tersenyum lebar meski salah satu anak perempuan terlihat jejak air mata pada pipi gembilnya.
Cindy berdiri dari zona nyaman yang namanya 'kasur'. Tanpa sengaja, tangannya menyenggol satu frame foto hingga kacanya berhamburan saat beradu dengan kerasnya lantai keramik.
Cindy berjongkok menatap foto yang kaca bingkainya telah pecah. Foto yang menampilkan tiga orang yang sama dengan foto sebelumnya. Namun, dengan tampilan dalam versi sedikit dewasa.
Foto saat hari di mana Cindy, Claudya, dan Chandrika baru saja selesai mengikuti prosesi acara kelulusan sekolahnya. Mungkin benar kata orang, jika setiap foto tidak hanya membangkitkan kenangan, tapi juga kembali membangkitkan perasaan yang pernah hilang.
***
Cindy sudah berada di rumah sakit sejak beberapa menit yang lalu.
Tungkainya sudah melangkah di atas barisan keramik yang tertata rapi di sepanjang koridor, menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Sampai akhirnya pendengarannya menangkap suara khas mobil ambulance.
Cindy terlonjak kaget, saat seorang pria berperawakan tinggi dengan seragam putih mendorong pintu dengan sedikit hentakan. Masih dengan napas terengah-engah yang bisa dipastikan dia habis berlari agar cepat mencapai tempat ini.
Jian Wenyang, begitu namanya sering disebut. Dokter Jian adalah salah satu koas yang sudah dua bulan magang di Rumah Sakit Kalandra.
jika kalian menerka-nerka dari penampilannya. Ya. Dokter Jian berdarah campuran Indonesia-Taiwan. Ibunya Indonesia sedangkan ayahnya Taiwan.
"Mohon bersiap semua, ada korban kecelakaan," tegas dokter Jian meski laju napasnya masih belum jalan dengan sempurna.
"Berapa banyak pasien?" tanya Cindy pada dokter Jian.
"Satu keluarga, Dok. Ayah, ibu, anak laki-laki berusia 10 tahun dan perempuan sekitar 3 atau 4 tahun, dan seorang pengasuh. Menurut informasi TKP mobilnya dari Bandung," tuturnya menjelaskan.
"Baiklah persiapkan semua, bawa persiapan darah dan segera hubungi surgeon," pinta salah satu dokter senior. Dokter Hendra yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Cindy.
Cindy tersentak saat mendengar suara roda stretcher yang beradu pada lantai keramik di koridor, semakin mendekati ruang IGD. Tidak membutuhkan waktu lebih lama, pasien-pasien yang dimaksud telah berada di hadapan untuk mendapatkan penangganan sesegera mungkin.
Cindy segera memberi penangganan untuk korban wanita yang diterka mungkin berusia di awal 35 tahunan.
"Dokter Cindy. Bagaimana tanda Vital-nya," tanya Dokter Hendra
"Tekanan darah 80/40 denyut jantung 110," jawab Cindy pada dokter Hendra yang hanya ditanggapi anggukan
Keadaan genting seperti ini bukanlah hal yang pertama terjadi. Namun, netra Cindy jatuh pada seorang anak perempuan dengan rambut dua cepolan asal menghiasi kepalanya. memeluk boneka kesayangan berwarna pink. Anak dari korban.
Naluri seorang dokter sekaligus sebagai seorang kakak menjalar cepat memenuhi tekat Cindy, seolah berjanji pada sang anak kecil, 'jangan khawatir kami akan berusaha menyelamatkan kebahagiaanmu'.
Sejurus kemudian. Tiba-tiba saja sang ibu yang dalam penangganan Cindy mengalami Sudden Cardiac Arrest atau disebut henti jantung mendadak, di mana kondisi fungsi jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba. Henti jantung mendadak dapat mengakibatkan kerusakan otak permanen dan kematian jika tidak segera mendapat penangganan.
"Dok, pasien mengalami Cardiac Arrest," ucap Cindy pada dokter Hendra yang sejak tadi menanggani sang ayah.
"Segera lakukan CPR," titahnya
"Baik, Dok."
"Dan segera hubungi Dokter Matheo." Kembali instruksi dokter Hendra menggema.
"Baik, Dok," ujar salah satu perawat pria yang sejak tadi berdiri diantara Cindy dan dokter hendra.
"Tolong siapkan defibrillator," lanjut Cindy pada dokter Jian yang sejak tadi membantunya.
Sepuluh menit berselang, dokter Matheo datang dengan tergesa ke ruang IGD, karena baru saja menyelesaikan operasinya.
Dokter Charis Matheo Kenzie, Sp.B atau biasa disapa dokter Theo. Salah satu deretan dokter muda yang memiliki bakat luar biasa di Kalandra Hospital. Di usianya yang hanya lebih tua tiga tahun dari usia Cindy, dia sudah memiliki banyak jam terbang. Menjadi satu-satunya dokter bedah terbaik di Jakarta dengan usia yang masih sangat muda.
Saat pertama kali Cindy melihat dokter Theo. "He looks visually unreal," kata Cindy kala itu.
Tidak heran jika dokter Theo dijuluki sebagai karakter anime hidup di kalangan para perawat atau dokter koas perempuan. Sepertinya Kalandra Hospital, selain menjadi rumah sakit terbaik, juga menjadi gudangnya para Cogan terbaik.
Meski kemampuan dokter Theo di rumah sakit sangat diakui, jangan lupakan bahwasannya dokter Theo memiliki bakat lain.
He is a connoisseur with a loud voice that is usually set in night clubs.
Katanya, dokter Theo hanya hidup di dua tempat. Kalau tidak di rumah sakit ya klub malam.
Sepertinya, tidak ada satu pun klub malam di Jakarta yang belum pernah didatangi oleh dokter Theo. Mulai dari klub malam yang besar sampai klub malam yang baru buka sekalipun. He really is like the king of the night club.
Bahkan pernah salah satu rekan yang bertanya, "Dokter Theo, kok suka banget sih di klub malam. Apa nggak sayang citranya sebagai Surgeon terbaik, bakal hancur oleh karena sering ke klub malam."
Dengan santainya dokter Theo hanya menjawab, "Kalo sekarang citra gue hancur karena klub malam. No problem, I will realize my second dream of opening a nightclub. Toh modal gue dari profesi dokter juga udah lebih dari cukup."
Itulah dokter Theo dan kegilaannya. Namun, meskipun begitu, dokter Theo bukanlah tipe penikmat one night stand, bahkan dia sangat mengutuk yang namanya free sex, meski dia banyak menghabiskan hidupnya di luar negeri dan sangat akrab dengan budaya barat.
"Menyalurkan hasrat biologis tanpa adanya ikatan yang sakral bagi gue seperti menyetubuhi adik perempuan atau ibu gue sendiri. That is why I condemned the act. I really fucking
hate it," ujarnya saat ditanya tentang teman tidur satu malam.
***
Empat setengah jam masa genting di ruang IGD selesai sudah. Sang supir yang tak lain adalah suami dan ayah dari pasien ini, dinyatakan meninggal dunia, meski tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin. Anak laki-laki hanya luka-luka ringan dan sudah ditangani dengan baik oleh para perawat. Sementara sang pengasuh harus mendapatkan beberapa jahitan di kepala dan masih dalam kondisi tak sadarkan diri. Sang Ibu sudah melewati masa kritisnya.
Terdengar kejam memang, mengapa Tuhan merenggut seorang ayah dari anaknya, tapi perlu diingat bahwasannya, Tuhan maha pengasih tidak akan mengambil sesuatu hanya untuk menghukummu, melainkan untuk membuka tanganmu menerima hikmah yang jauh lebih baik.
***
Cindy tampak lelah, kakinya dia langkahkan menuju ruang praktiknya. Belum sepenuhnya langkahnya meninggalkan ruangan ini, ujung jas Cindy ditarik oleh seorang anak perempuan yang beberapa saat tadi dia lihat—anak perempuan dengan boneka kesayangannya.
"Tante, mau kelmana?" tanyanya dengan suara khas anak seusia 4 tahunan.
Cindy menatap perawat jaga sejenak, sampai ... akhirnya salah satu perawat perempuan memberi tahu.
"Anak korban kecelakaan tadi, Dok. baru aja bangun, mungkin masih sedikit Shock. Keluarganya yang lain masih dalam perjalanan menuju kemari."
Cindy berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan sang anak.
"Hai, nama aku Cindy, nama kamu siapa?"
"Tiala," ucap lucunya karena masih belum fasih mengucapkan huruf 'R'.
"Kamu, nggak apa-apa?" tanya Cindy lagi mengakrabkan diri.
"Kepala Tia, pucing," ungkapnya pada Cindy sambil menunjuk pelipisnya.
"Ibu mana doktel, Cindy?" lanjut tanyanya.
"Ibu Tia masih bobo. Hmm .... Tia mau Nggak, ikut ke ruangan dokter. Dokter punya plester yang gambarnya sama kayak boneka Tia, ini," tunjuk Cindy pada bonekanya.
Kepala kecilnya mengangguk dengan cepat. Pandangan Cindy beralih pada suster yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari mereka.
"Sus, nanti kalau ada keluarganya yang datang, tolong bilang dia bersamaku. Dan hubungi aku segera," pamit Cindy pada suster jaga.
***
Cindy dan Tiara sudah dalam lift menuju ruangan Cindy di lantai dua.
pintu lift terbuka, sosok tegap berbalut kemeja putih dan celana bahan hitam, berdiri di depan pintu lift. Dia adalah dokter Bisma.
Netra Cindy seketika nanar, dia jatuhkan pada sembarang arah. Asal bukan pada dokter Bisma. Bagaimanapun juga, Cindy masih malu dengan apa yang terjadi kemarin.
"Dokter Cindy."
"Siang, Dok," sapa Cindy.
Dokter Bisma bukannya membalas salam sapaan Cindy, tapi memfokuskan pandangan pada sosok mungil di hadapannya.
"Ini ...," tunjuknya, pada Tiara yang masih dalam gendongan Cindy.
"Anak korban kecelakaan, pasien IGD hari ini, Dok. Keluarganya belum datang. Jadi, aku bawa saja jalan-jalan mungkin bisa mengurangi rasa Shock-nya."
"Hmm ...," gumam dokter Bisma, kemudian berjongkok menghadap Tiara.
"Halo, anak cantik. Nama kamu siapa?" Suara lembut itu mengalun dari bibir dokter Bisma
"Tia, kalau doktel, siapa?" tanyanya balik.
"Aku Bismaka. Kamu boleh panggil aku dokter Bisma."
Cindy sedikit terlonjak kaget. Barusan Dokter bisma bilang apa? Aku?
Astaga. Gue kira, seorang dokter Bisma tidak bisa menyebut dirinya dengan kata 'aku'. Karena selalu menyebutkan Saya. Ya, ampun, Dok, kenapa nggak dari dulu aja sih ngomong seperti ini. 'Kan nggak kaku banget. Apa gue mesti jadi anak kecil dulu nih, biar bisa dengar dokter menyebut dirinya dengan kata aku.
"Darah!" seru dokter Bisma, sambil mendongakkan kepala menatap Cindy.
"Iya Dok, aku jaga IGD hari ini. Mungkin terkena sewaktu menangani pasien kecelakaan tadi," jelas Cindy.
"Bukan, maksud saya bukan baju kamu, tapi kaki kamu."
"Eh?"
kening Cindy berkerut, alisnya hampir saja bertabrakan, tanda tak paham maksud dokter Bisma, Cindy mengalihkan pandangannya pada kakinya yang dialasi sandal santai, sandal yang dia ganti sejak meninggalkan ruang IGD tadi.
Benar memang ada darah yang merembes membasahi perban yang ada di balutan luka Cindy. Luka yang dia dapat tadi pagi saat membersihkan pecahan pigura.
"Oh, ini luka karena pecahan kaca tadi pagi, Dok. Luka kecil, kok," tutur Cindy menjelaskan.
"Sekecil apa pun luka harus rajin dibersihkan dan diganti dengan perban yang baru, setidaknya enam sampai dua belas jam sekali. Atau dirasa tidak steril lagi, Dokter Cindy. Agar tidak infeksi."
Astaga. Jika sudah urusan kesehatan dokter Bisma cerewet juga seperti pasien lansia.
"Baik, Dok, akan segera aku bersihkan di ruanganku."
"Mari, Dokter Cindy, saya bantu." Dokter Bisma menawarkan bantuan.
"Ng-nggak usah, Dok. Aku bisa sendiri kok."
"Ayolah! Tidak baik lho, menolak bantuan temannya."
"Hmm ... baiklah."
Tiara yang terabaikan sejenak, diambil alih dokter Bisma, saat tubuhnya sudah terangkat dalam gendongan, tangan kecil itu melingkar sempurna pada ceruk leher dokter Bisma.
"Ayo. Lets go! kita ke ruangan dokter Cindy," serunya sambil mengayun-ayunkan tubuh kecil Tiara, dan disambut dengan tawa riang oleh Tiara.
***
Cindy sudah membersihkan diri keluar dari toilet. Manik matanya menatap pemandangan di mana Tiara di pangkuan dokter Bisma, sedang bercengkrama dengan asiknya. Layaknya dua orang yang sudah lama saling mengenal.
"Doktel ... doktel, Cindy, baik, ya."
"Hum, dokter Cindy memang baik."
"Menulut Doktel, Tia cantik nggak? Cantikan Tia, apa doktel Cindy?"
"Hm ... cantikan siapa, ya." Dokter Bisma Meletakkan telunjuknya pada dahi, pura-pura berpikir.
"Dokter Cindy, cantiknya segini." Dokter Bisma memberi contoh dengan kedua tangan terentang di depan dada. Jika diukur hanya sebatas dua kilan.
"Tapi ... cantik Tiara, segini." Tangan Dokter Bisma kembali memberi contoh. Dan kali ini tangannya merentang lebih luas seolah simbol tak terhingga.
Tiara hanya tertawa tanpa suara memamerkan deretan gigi kecilnya. Tanpa diduga dokter Bisma mengecup puncak hidung Tiara dengan gemas. Membelai pipi gembilnya.
Cindy yang sejak tadi membersihkan lukanya, sambil memperhatikan interaksi mereka. Seakan membuat hatinya menghangat, melihat sisi lain dari dokter Bisma yang menyukai anak kecil.
Tiara yang sedari tadi dalam pangkuan dokter Bisma, tiba-tiba melompat turun, menghampiri Cindy.
"Doktel Cindy, kata doktel. Hmm ... doktel." Tiara mencoba mengingat siapa nama dokter pria, yang sejak tadi bersamanya.
"Dokter Bismaka," potong Cindy, yang mengerti Tiara lupa nama Dokter Bisma.
"I-iya. Doktel Bimska ... ehm ... Bis ...,"
"Sulit ya, nama Dokter?" Dokter Bisma yang sudah berjalan ke arah Cindy dan Tiara seketika memotong ucapan Tiara. "Ya udah, panggil dokter Bi aja gimana?"
"Doktel Bi?" tanyanya.
"Wah. Pinter banget, sih. Anak Cantik."
Kembali Tiara memamerkan deretan gigi kecilnya, dan kali ini dengan mata membentuk bulan sabit.
"Sudah dibersihkan lukanya, Dokter Cindy?"
Cindy terlonjak kaget dari lamunan mendengar suara dokter Bisma, menyapa indera pendengaran.
"Ehh. Iya Dok, sudah."
"Sini saya bantu, perbannya."
"Ehh, udah nggak usah, Dok. Aku bisa sendiri, kok."
Cindy tak enak hati, bahkan menurutnya ini sangat tidak sopan. Apalagi kalau bukan karena jabatan dan kedudukan dokter Bisma di rumah sakit ini, sangat berpengaruh besar.
"Ayolah. As friend?" jawab dokter Bisma.
"Ayolah. As flend doktel, Cindy." Itu Tiara yang menimpali.
Cindy dan dokter Bisma tergelak tertawa, mendengar ucapan Tiara yang membeo ucapan dokter Bisma. Tak lupa dengan gaya centil khas anak perempuan.
"Hum ... baiklah."
Dokter bisma berjongkok mengambil alih perban dan plester perekat.
"Ini kenapa bisa begini ?" tanyanya.
"Kena pecahan kaca, Dok. Nggak sengaja mecahin frame foto."
"Hmm ... dasar ceroboh," ejeknya pada Cindy.
Ada sedikit rasa hangat di pipi Cindy. sekali lagi Cindy baru tahu ada sisi lain dari dokter Bisma. Seperti sekarang contohnya.
"Oke ... selesai."
Selesai sudah luka Cindy diperban—dokter Bisma. Ponsel Cindy yang diletakkan di meja bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk. Suster Hanna yang berjaga IGD bersamanya tadi menelepon, memberi tahu bahwa keluarga Tiara yang lain sudah datang.
"Dok, keluarga Tiara sudah datang. Tiara harus menemui keluarganya," kata Cindy memberi tahu.
"Oke. Ayo. Lets go," lanjut dokter Bisma.
"Ehh. Kemana, Dok," tanya Cindy bingung karena dokter Bisma sudah mengangkat tubuh kecil Tiara dalam Gendongannya.
"Mengantar Tiara ke keluarganya," jawabnya santai.
"Eeh. Nggak usah, Dok. Biar aku saja," potong Cindy.
"Hey, ayolah tidak apa-apa." Dokter Bisma memicingkan matanya.
"As flend!"
Bukan. Itu bukan Tiara yang kembali menirukan dokter Bisma. Kali ini dokter Bisma yang menirukan Tiara, lengkap dengan gaya bicara khas anak kecilnya.
"Doktel Bi. Kok, niluin Tia, sih." Wajahnya cemberut dengan bibir sedikit di mmajukan yang membuat siapa saja gemas.
"Gantian dong, 'kan tadi Tiara niru Dokter Bi," jawabnya sembari melangkahkan tungkai keluar dari ruangan.
"Ehh, anak cantik nggak boleh cemberut lho, nanti cantiknya luntur. Tahu nggak, kenapa dokter Cindy Bisa cantik?" Ekor mata dokter Bisma sedikit melirik Cindy.
"Kenapa?" tanya Tiara
"Karena dokter Cindy selalu tersenyum," jelasnya yang dengan suara setengah berbisik tapi masih bisa di tangkap oleh rungu Cindy, dan sepersekian detik berikutnya menatap Cindy.
Cindy bergegas berjalan mendahului dokter Bisma dan Tiara. Langkahnya terhenti di depan pintu lift, menunggu pintu ini segera terbuka.
Dokter Bisma sudah berdiri di sampingnya.
"Dokter Cindy, tahu tidak? kita seperti ini, sudah seperti keluarga bahagia. Ada daddy, mommy, dan baby."
Cindy terbatuk, tertelan ludahnya sendiri, terkejut mendengar penuturan dokter Bisma.
Astaga ... ada apa dengan dokter Bisma hari ini.
Bergegas Cindy langkahkan kakinya masuk lift mendahului mereka. Pipinya menghangat kembali, bisa dipastikan sudah merona semerah tomat matang.
Cindy mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Takut dokter Bisma melihat pipi meronanya, bisa-bisa dia semakin malu.
***
Cindy, dokter Bisma, dan Tiara di gendongannya sudah berada di lantai bawah. Ada beberapa orang yang berkumpul di depan salah satu ruangan. Ruangan di mana ibu dari gadis kecil yang sedari tadi bersama Cindy dan dokter Bisma.
Ada beberapa lagi yang menangis meraung di depan kamar jenazah. Meratapi kehilangan salah satu keluarganya—ayah Tiara.
Cindy yang merasa simpati, melirik sejenak Tiara yang masih dalam gendongan dokter Bisma.
Gadis kecil yang malang. Di usia yang seharusnya masih dalam dekapan hangat sang ayah, harus merelakan semua berlalu begitu saja tanpa sosok ayah.
Air muka Tiara sudah menampakkan guratan ingin menangis. Mata yang tadi sempat berbinar cerah kita sudah mulai berkaca-kaca, menampung butiran bening di sudut mata.
"Dokter Cindy," panggil dokter Bisma.
Cindy yang masih sibuk menyelami takdir yang harus diterima gadis kecil ini, tiba-tiba terlonjak kaget mendengar suara dokter Bisma memecahkan lamunannya.
"Ya, Dok. Kenapa?"
"Sebaiknya Tiara saya bawa ke taman saja. Sepertinya keluarganya masih sangat terpukul. Ini tidak baik untuk psikis Tiara."
Cindy mengangguk paham. Dokter Bisma ada benarnya juga.
"Iya, Dok. Biar nanti aku beri tahu keluarga Tiara."
Dokter Bisma tersenyum, lalu berbalik dengan Tiara masih di gendongannya, Tiara menempelkan pipi gembilnya di bahu dokter Bisma.
Punggung dokter Bisma sudah semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu keluar.
Cindy mengembuskan napas berat. Sungguh luar biasa pelajaran hidup yang Tuhan berikan padanya hari ini.
.
To Be Continue..
Re-publish : March, 19. 2020
Revisi publish II : Okt, 30. 2020
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top