8. Kabar Bahagia
Waktu sudah menunjukkan saatnya mengisi kekosongan perut dengan jatah makan siang. Namun, Cindy masih berdiam diri di ruang praktiknya meski pasien terakhirnya sudah selesai sejak dua puluh menit yang lalu.
"Selesai sudah tugasku hari ini," gumamnya sembari membereskan meja kerja.
Tiba-tiba suster Erika kembali mengetuk pintu ruang praktiknya dan kembali masuk.
"Maaf, Dok. ada tamu yang mau ketemu sama dokter," kata suster Erika yang sudah berdiri di depan meja kerja Cindy.
"Siapa sus?"
"Sepertinya suami istri, masih muda. Katanya, sih. Kakak dokter Cindy."
Cindy menarik garis senyum, dia paham dengan yang di maksud suster Erika. Cindy memberi titah mempersilakan 'tamu' ini masuk ke ruangannya.
"Selamat siang, Dokter Cindy," sapa pria yang Cindy temui satu bulan lalu, saat Claudya masih dirawat di rumah sakit ini.
Ya. kurang lebih Sudah satu bulan Sejak kejadian Claudya di opname di sini. Sudah satu bulan juga Cindy tidak pulang ke rumah.
"Siang. Pak, Bu. Silahkan duduk. Ini siapa yang sakit, ya, Pak? Dan keluhannya apa?" goda Cindy pada Bang Cakka dan Kak Ina.
"Nggak ada yang sakit, kok, Dok. Kita Cuma mau minta sumbangan aja," goda balik Bang Cakka.
Cindy berdecak, garis bibirnya tertarik lebih ke atas mendengar guyonan abang satu-satunya yang Cindy miliki.
"Hmm ... sepertinya kalian berdua dalam keadaan sehat-sehat aja, nih. Kayaknya nggak kita nggak perlu ya, ngobrol dalam ruangan ini."
"Sebenarnya, sih. Nggak apa-apa kok, Dek. Kita ngobrol di sini. Kita kan bukan Claudya. Tenang aja kita nggak akan ngomel-ngomel, kok. Hanya karena bau obat."
Cindy menarik senyum lebih lebar, Bang Cakka mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat Cindy dan Claudya masih duduk di SMA.
Pernah dulu Claudya diminta bunda, untuk menemani Cindy ke klinik dokter. Karena Cindy terserang flu. Bang Cakka bertugas mengantar mereka.
Saat giliran Cindy dipanggil, sudah memasuki salat zuhur. Jadilah dokternya meminta izin untuk salat sebentar.
Claudya yang memang tidak menyukai keadaan seperti itu, semakin menekuk wajahnya dan tak hentinya ngomel-ngomel. "Itu dokter salat zuhur di Bekasi? Kok, lama bener, sih." Dan gerutuan Claudya itu, sampai rumah masih berlanjut.
Cindy mengumpulkan kembali fokusnya, menyudahi mengenang memori lama.
"Gimana, kalo kita sambil makan siang aja. Di depan rumah sakit, ada cafe baru buka. Menurut recommend temen-temen, sih, enak. Tempatnya juga nyaman," ajak Cindy pada kedua kakaknya.
"Ya, udah, deh. Kita nurut aja apa kata Dokter Cindy, asal kita ditraktir aja," goda kembali bang Cakka.
"Dih ... gembel banget, sih, Bang. Makan siang minta traktir sama adiknya. Giliran honeymoon di Maldives, bisa. Kenapa, kalian kehabisan modal, ya?" sarkastik Cindy sambil memutar handle pintu ruangan.
Bang Cakka hanya tertawa tanpa suara. Sementara Kak Ina masih tersenyum dengan senyum simpulnya.
"Sayang, jangan diambil hati, ya. Adik yang satu ini, emang lemes mulutnya. kalo ngatain abangnya," tutur Bang Cakka ke Kak Ina.
"Iya. Nggak apa-apa, kok," balas Kak Ina yang tanpa aba-aba sudah melingkarkan tangannya pada lengan Cindy.
Sekitar sepuluh menit mereka habiskan untuk sampai di tempat ini. Mereka bertiga sudah duduk pada meja di pinggir kaca besar sebagai pembatas. Tidak salah jika teman rekan kerja Cindy, merekomendasikan tempat ini. Tempatnya benar-benar nyaman dan sebagus ini.
"Ada hal penting apa, nih. Sampai rela meluangkan waktu berkunjung kesini," ucap Cindy membuka pembicaraan.
"Kita habis ketemu dokter Diandra, jadi sekalian aja mampir," jelas Kak Ina.
"Dokter Diandra? Obgyn? Kakak hamil?" tanya Cindy antusias.
"hmm ...." Pertanyaan Cindy dibalas Kak Ina dengan anggukkan dan garis senyum merekah.
"Wah ... alhamdulillah. Congratulations Kak, Bang ... udah berapa usianya. Calon keponakanku sehat, 'kan?"
"Menurut dokter Diandra, sudah masuk minggu ke lima. Alhamdulillah sehat, cuma sering morning sickness, aja. Tapi masih batas normal, kok."
"Wait ... lima minggu? Kalian, 'kan baru satu minggu yang lalu pulang honeymoon. Jangan bilang ...." Cindy menggantungkan kalimatnya.
"Iya, waktu kita ke Maldives kakak udah telat, cuma karena nggak tahu. Terus juga keadaan sebelumnya sedikit hectic karena Claudya dirawat, jadi kakak nggak begitu sadar."
"Jadi kalian honeymoon sudah bertiga?" Cindy tertawa, lucu saja rasanya. Kebanyakan orang pergi honeymoon pulang membawa calon bayi. Sedang kedua kakaknya membawa calon bayi pergi honeymoon. Entah ini disebut honeymoon atau babymoon.
Namun, bagaimanapun Cindy patut bersyukur. Betapa baiknya maha pemilik semesta. Kedua kakaknya, hanya butuh waktu 3 bulan dari pernikahan mereka, untuk menerima berkah sebesar ini.
Masih banyak pasangan lain yang harus bersabar menunggu beberapa bulan lebih lama atau bahkan beberapa tahun menantikan hadiah dari Tuhan yang satu ini.
"Tapi bayinya sehat, 'kan, kak? Mengingat kalian habis berpergian jauh. Apalagi selama di Meldevis dikunjungi terus sama ayahnya." Cindy melemparkan godaan sembari melirik ke Bang Cakka.
Bang Cakka hanya menampilkan muka masam salah tingkah. Bang Cakka pasti tahu benar maksud dikunjungi yang Cindy utarakan.
"Kamu ini tau apa sih, Dek." Bang Cakka menimpali pembicaraan.
"Cindy ini dokter Bang, kalo Abang lupa."
Bang Cakka hanya menggaruk belakang kepalanya, yang tidak gatal.
"Oh, iya. keluarga di rumah udah tahu semua, Kak?" tanya Cindy pada kakak Iparnya.
"Awalnya kakak cuma cerita sama bunda, karena kakak cuma mau mastiin dulu, baru beri tahu semua. Menurut pemeriksaan bunda, sih, kakak hamil cuma saran bunda diperiksa ke dokter aja. Biar lebih pasti."
Cindy hanya mengangguk tanda paham cerita Kak Ina.
Mendengar penjelasan kak Ina, Cindy hampir melupakan jika bundanya seorang Perawat.
Bunda berhenti bekerja saat Cindy dan Claudya duduk di kelas tiga SD. Tepatnya setelah Claudya didiagnosis menderita Anemia. Kata bunda, dia mengambil keputusan itu hanya ingin fokus pada anak-anaknya, yang jauh lebih berharga.
Bahkan menurut cerita bunda, pertemuan ayah dan bunda, dulu. Karena bunda, pernah menjadi perawat pribadi yang merawat almarhumah ibu, selama ibu sakit melawan penyakitnya, kurang lebih sembilan bulan lamanya.
Setelah ibu meninggal, bunda sempat pulang dan kembali bertugas di salah satu rumah sakit di Palembang.
Satu tahun setelahnya, ayah nekat mencari alamat kediaman bunda di Palembang dan melamar bunda saat itu juga. Padahal dalam rentan satu tahun setelah pertemuan terakhir ayah dan bunda di pemakaman ibu. Ayah dan bunda tidak saling kontak satu sama lain.
Jodoh memang seaneh itu.
Tidak membutuhkan waktu lebih lama, seorang wanita berseragam khas kafe ini menghampiri mereka dengan nampan berisi pesanan makanan yang beberapa saat lalu mereka pesan.
Sesaat suasana hening, hanya ada dentingan alat makan yang beradu merdu, sampai Bang Cakka membuka suara.
"Oh, iya, Cin. kamu weekend ini bisa pulang nggak?"
"Belum tahu pasti, sih, Bang. kalo nggak sibuk, bisa. Kenapa bang?"
"Hemm ... rencana, sih. Minggu ini kita mau ngadain sedikit syukuran. Weekend depan. Gimana bisa?"
"Mau di mana? Di rumah Abang?" tanya Cindy.
"Di rumah Ayah. Cuma kita-kita aja, kok. Ya, ditambah Chandrika, omanya dan sedikit anak-anak panti asuhan seperti biasa," jelas Bang Cakka.
Jantung Cindy serasa terhenti sesaat di nama Chandrika.
Acara mari mengunyah tiga puluh dua kali Cindy sejenak terhenti, mendengar nama yang hampir dua bulan ini enggan dia biarkan terlintas di benaknya, apalagi setelah kejadian di kafe saat Cindy mengungkapkan perasaannya.
Cindy netralkan gemuruh dalam dadanya, meraih gelas berisi air mineral di sisi kirinya, menenggak isinya hingga tandas setengah.
Cindy berdeham guna mengusir perasaan gugup yang hampir meruntuhkan pertahanan dirinya.
"Hem ... iya Bang, insyallah Cindy usahakan."
Senyum teduh dari kedua kakaknya terpatri membingkai pada wajah mereka, netra keduanya memancar sempurna seolah menaruh penuh harap pada Cindy.
***
Selesai sudah jadwal praktik Cindy hari ini, pasien terakhirnya sudah berlalu tiga puluh menit lalu.
Ponselnya berdering tanda panggilan masuk, Cindy meraih benda pipih yang sejak tadi berada dalam laci meja kerjanya. 'My Twin is calling...' Cindy mengangkat panggilan dari Claudya sembari menuju keluar ruangannya.
"Halo."
"Halo, Cin. Lo lagi di mana?" tanya suara seberang sana.
"Lagi depan lift. Mau pulang, kenapa?" sahut Cindy menjawab pertanyaannya dan melempar balik pertanyaan.
"Lo udah tahu, kan? kabar Kak Ina. Pokoknya weekend ini lo harus pulang! Nggak ada alasan sibuk lagi. Ingat ya, lo udah berapa bulan nggak pulang."
Celoteh Claudya sejenak Cindy abaikan, buakan apa-apa alasannya karena dokter Bisma yang tanpa Cindy sadari kehadirannya tiba-tiba sudah berada di samping sisi kirinya, menunggu lift sama sepertinya.
"Sore, Dok," sapa ramah Cindy tanda rasa hormatnya terhadap senior.
Ya kali gue nggak ngehormatin Dokter Bisma. Selain senior gue, dia juga keponakan pemimpin dan cucu pemilik rumah sakit tempat di mana gue hidup. Bisa-bisa dilaporinnya gue ke paman dan kakeknya. Terus tewas di tempat gue karena dipecat.
Sedikit berlebihan mungkin, tapi itulah pikiran konyol yang terlintas di benak Cindy saat ini.
"Sore," sapanya dengan anggukan dan senyum khas dokter Bisma.
"Udah selesai tugasnya, Dokter Cindy?"
"Iya, Dok. Ini mau pulang," jelas Cindy.
Pintu lift terbuka. Mereka beringsut masuk ke dalam ruang kecil yang akan membawa mereka ke lantai bawah. Cindy berdiri di belakang dokter Bisma. Diliriknya panggilan yang sejak tadi diabaikan. Masih tersambung. kembali Cindy menggeluti panggilan ini.
"Halo ... Cla, masih di sana?"
"Lo, ngapain, sih? nggak dengerin gue ya, lo," sungutnya.
meski hanya melakukan panggilan suara, Cindy yang paham akan Claudya. Terbayang sudah wajah kesalnya. Dengan mengerucutkan bibirnya dan kemudian menarik garis senyum datar. Cindy hapal betul.
"Sorry ... sorry. Tadi ada senior gue," akunya.
"Senior lo? dokter B? Dia, masih di sekitar lo, nggak." Claudya bertanya dengan antusias.
Tahu aja nih anak Padahal gue nggak menyebutkan nama.
"Hum ...."
"Cindy, Cin. Please serahin hape lo ke Dokter B, dong."
"Mau ngapain? Lo mau gue mampus di sini?" bisik Cindy menanggapi perkataan gila Claudya.
Dokter Bisma yang tadi berdiri menghadap pintu membelakanginya, seketika berbalik menatap Cindy.
Cindy merasa beku sesaat, saat netra mereka beradu. Paru-parunya seakan berhenti sejenak dari fungsinya.
Untung saja lift ini hanya ada Cindy dan dokter Bisma.
"Kenapa, Dokter Cindy?"
"Hmm ... Ng-Nggak kenapa-kenapa, Dok. Cuma ... i-itu. Aku lagi teleponan sama adikku, pasien yang dokter tangani bulan lalu. Hmm.. i-itu dia minta nyerahin ponsel aku ke ... dokter Bisma. katanya ada yang mau ditanyakan," ucapa Cindy terbata, sedikit tercekat di pangkal tenggorokan.
Oh, Tuhan. Rasanya Cindy ingin mati saja. Kenapa aku dia malah mengikuti perkataan gila Claudya. Siapa pun tolong buat lift ini berhenti saja, tolong selamatkan Cindy.
"Siapa? Claudya?" tanya dokter Bisma.
Cindy hanya menggangguk pelan. Tiba-tiba tangan dokter Bisma terulur menadah di depannya, meminta benda pipih berlogo apel yang separuhnya telah digigit, yang sedari tadi dia genggam.
Cindy yang sedikit ragu menyerahkan ponselnya, berdoa dalam hati semoga Claudya tidak berbuat yang aneh-aneh.
"Halo." Suara berat dokter Bisma membuka percakapan dengan Claudya di seberang sana.
Aah, sial, volume pada handphone Cindy dalam mode rendah. Hingga Cindy tak bisa mendengar barang sedikit saja, apa yang sedang mereka bicarakan.
"....."
"Benarkah? Bagus dong."
"....."
"Iya, bulan lalu saya ada seminar."
"...."
"memangnya boleh, nih?"
"....."
"Baiklah, akan saya usahakan."
"....."
"Iya, selamat sore."
Sambungan telepon telah diputus Claudya. Dokter Bisma menyerahkan ponsel milik Cindy.
"Dokter Cindy, boleh saya meminta nomor handphone dan alamatnya?"
Cindy bingung memikirkan apa saja yang dibicarakan dokter Bisma dan Claudya, dia seketika tersentak dengan pertanyaan nomor HP dan alamat.
"Maaf, Dok. Nomir hp dan alamat siapa? Terus tadi apa yang Claudya dan Dokter bicarakan?"
Sejenak dokter Bisma menarik garis senyum.
"Claudya bilang, katanya satu bulan lalu ia kontrol, tapi yang menangani bukan saya. Dia jadi kurang semangat buat kontrol bulan lalu. Claudya juga mengundang saya. Acaranya lusa, kan? Saya tidak tahu alamatnya. Boleh beritahu, saya?" Dokter Bisma menyerahkan ponselnya.
Cindy dan dokter Bisma sudah berada di parkiran basement rumah sakit. Dokter Bisma menunggu Cindy yang mengetikkan sesuatu pada ponselnya, sebelum melangkahkan kaki ke mobil masing-masing.
"Nomor handphone kamu?"
Cindy yang seketika sadar karena tadi hanya mengetik alamat saja, langsung meraih kembali ponsel dokter Bisma, dan men-dial nomornya sendiri dan menyerahkan kembali handphone Dokter Bisma.
Cindy melihat jari dokter Bisma menyentuh ikon tanda panggil. Seketika handphone milik Cindy yang telah disimpan dalam handbag-nya berdering tanda panggilan masuk.
Cindy memperhatikan dengan seksama panggilan dengan barisan angka-angka tanpa nama, sampai suara dokter Bisma menginterupsinya.
"Itu nomor saya. Tolong disimpan."
"Baik, Dok."
Dokter Bisma sudah berlalu, di sinilah Cindy sekarang, berada dalam mobilnya yang masih enggan untuk dia nyalakan. Berulang-ulang Cindy menarik napas dan membuangnya secara kasar, menetralkan sisa gugup barusan.
Ya, Tuhan. Ingin rasanya Cindy melompat dari atas atap gedung rumah sakit ini. Sungguh, dia malu dengan apa yang dia lakukan tadi.
Claudya! Nama yang langsung Cindy ingat. Ini semua tidak akan terjadi kalau bukan karena saudari satu-satunya yang dia miliki.
Astaga. Untuk pertama kalinya selama Cindy hidup, dia ingin sekali pulang ke rumah hanya untuk memukul anak itu.
Apa yang ada dalam pikirannya dan sejauh apa dia mengenal sosok dokter Bisma, hingga berpikiran mengundang dalam acara keluarga seperti ini.
Acara keluarga? Bukankah di sana ada Chan dan Omanya. Bukannya Chan bukan bagian keluarga mereka.
But wait ... why when I was near the doctor Bisma, my feeling was so normal to mention even remembering the name Chandrika.
Why?
Ah. Entahlah! Cindy terlalu lelah untuk memikirkan semua ini.
Cindy anggap ini sebagai kabar bahagianya, perasaannya terhadap Chandrika akan berlaku normal, jika dia berada di sekitar atau bahkan cuma sekedar membagi pikirannya untuk memikirkan dokter Bisma.
Cindy menegakkan kembali kepalanya yang sejak tadi menunduk bersandar pada stir mobil.
Lebih baik Cindy pulang dan beristirahat, urusan Claudya biarlah nanti diselesaikan saat bertemu. Toh, pekan depan juga akan bertemu dengannya.
Claudyaaa ... saat bertemu nanti benar-benar gue pukul kepalanya.
.
.
.
.
Published : Dec, 25. 2019
Re-publish : March, 16. 2020
Re-publish II : Oktober, 23. 2020
Anggap aja ini foto prawed si Abang dan Si Kakak yang ada di Ruang keluarga Rumah Joanne..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top