7. Claudya
Akhirnya, hari yang Claudya nantikan tiba juga, yaitu diizinkan pulang oleh dokter B. Satu minggu dirawat di rumah sakit, serasa satu tahun bagi Claudya. Sungguh Claudya tidak pernah betah berlama-lama dalam lingkungan rumah sakit.
Meskipun ada Cindy yang setia menemani setiap harinya, tapi Claudya merasa seperti sendirian. Pasalnya, saudarinya itu tipe wanita work holic. Yang lebih memilih bergelut dengan pekerjaannya ketimbang mengobrol dengannya.
Jika saja ada Chandrika mungkin rasa bosannya sedikit terobati, tapi sayang Chan hanya beberapa hari menemaninya di rumah sakit. Sampai Claudya keluar dari rumah sakit pun Chandrika tidak ada.
Selama tidak ada Chan, Claudya seperti merasa ada yang kurang, apa mungkin setiap kali dirinya di opname di rumah sakit, Chan selalu ada. Ini kali pertama, tanpa Chan di sampingnya.
Ada setitik rasa rindu dari hatinya, dia merindukan laki-laki yang selalu ada untuknya itu.
Sepanjang Claudya sering dirawat di rumah sakit, ini adalah sejarah baru. Kali ini dia bisa bertahan sampai satu minggu lamanya tanpa mengeluh minta pulang cepat. Itu karena ada dokter B yang membuatnya menjadi betah. Bahkan setiap pagi Claudya sangat antusias menunggu jadwal dokter periksa.
"Ngelamuni, apa sih," tegur bunda yang membuyarkan kegiatan Claudya—mari berkhayal tentang dokter B.
"Ng-nggak ngelamuni apa-apa kok, Bun. Cuma merhatiin jalan, aja," kilahnya yang terkejut sekaligus gugup.
"Kok pipinya merah, sih," goda bunda sembari mencolek pipi Claudya yang sudah bersemu.
"Aah ... I-Itu mungkin karena cuacanya lagi panas, Bun."
"Tapi AC-nya nyala, Sayang." Bunda menempelkan telapak tangan ke dahi Claudya, takut putri kesayangannya ini kembali demam lagi. "Hayo, mikirin apa, sih. Anak bunda. mikirin pacarnya, ya?" lanjut bunda menggoda Claudya.
"Udah, akh, Bun. Jangan godain Cla terus, kan jadi malu." Claudya seketika memalingkan wajahnya, lebih tertarik meneliti jalan dari kaca mobil. Takut bunda melihat pipinya yang sudah bersemu merah.
Anehnya saat bunda mengucapkan kata pacar, kenapa wajah konyol Chandrika yang seketika terlintas di benak Claudya.
Nggak ... nggak... gue, kan lagi mikirin dokter B. Kenapa bukan dokter B yang muncul.
Tiga puluh lima menit perjalanan dari rumah sakit menuju rumah, menjadi empat puluh lima menit. Karena jalanan Jakarta cukup macet di hari jam kerja seperti sekarang ini.
Claudya yang baru saja menapakkan kaki turun dari mobil, seketika indera penciumannya menangkap wangi bunga yang bunda tanam di perkarangan rumah. Yang seolah dengan suka cita menyambut kedatangannya.
Claudya beralih menatap bangunan rumah sebelah, berdiri di antara dinding yang tingginya hanya sebatas dada orang dewasa. Pembatas rumah oma Chan dan rumahnya. Waktu kecil, dengan hanya bermodalkan tangga, dinding ini adalah akses jalan Chan ke rumah mereka.
Pernah suatu waktu Chan kecil tergelincir dari tangga dan terjatuh dari dinding pembatas ini. Hingga pergelangan kaki dan tangannya cidera cukup parah, dan akhirnya ayah berinisiatif separuh dinding pembatas ini dibongkar dan dibuat pintu pagar kecil, dengan tujuan agar tidak terulang lagi hal serupa dan Chan tidak susah payah memanjat lagi.
Lamat Claudya memperhatikan seorang wanita yang sudah berusia lebih dari setengah abad ini, dengan asyiknya merawat tanaman yang sengaja dia tanam. Oma chan belum menyadari kehadirannya.
"Siang Oma," sapanya.
Oma Chan menoleh ke sumber suara.
"Eh, Claudya, udah pulang, ya? Gimana keadaannya, udah pulih?"
"Alhamdulillah, udah Oma," jawabnya dengan suara ciri khas seperti orang baru sembuh sakit.
"Syukur, alhamdulillah kalau udah sehat. Semoga, Nak Claudya sehat terus, ya. Jangan sakit lagi, kasihan Chan jadi khawatir."
Oh, astaga. Ada apa sih dengan hari ini, kenapa semua orang suka sekali menggoda dan membuat pipi gue merona. Dan kenapa juga pipi gue akan merespon cepat saat nama Chandrika yang disebut.
Apa ini efek samping dari merindukan seorang Chandrika Alterio?
"Yaudah, kalau gitu. Nak Claudya masuk, gih. Hari ini sedikit mendung, udara luar belum begitu cocok untuk Nak Claudya. Harus banyak istirahat, ya. Jangan capek-capek. Chan udah kasih tahu, kan? kalau dia keluar kota?"
"Iya Oma, udah tahu, kok. Kalau gitu Cla masuk dulu ya, Oma," ucapnya hanya dibalas anggukan oleh oma Chan.
Claudya sudah berbaring di tempat tidurnya, aroma khas kamar yang sangat dia rindukan. Aroma bantal dan sprai yang Claudya banggakan. Claudya meraih handbag-nya. Merogoh benda pipih yang dia simpan di sana. Ada beberapa pesan chat yang masuk dari Cindy, Chandrika dan sisanya pesan spam.
Claudya membalas pesan Cindy terlebih dahulu.
My Beautiful twin :
Udah sampai rumah? istirahat yang cukup jangan terlalu capek. Kecuali kalo lo mau berlama-lama tinggal di rumah sakit.
Iya. Udah sampe rumah. Siap,
dokter Cindy.
"Gue suka setiap kali visit dokter, karena bisa ketemu dokter B, tapi gue nggak segila itu, Cin. Pengin berlama-lama tinggal di rumah sakit," gumam Claudya.
Kemudian Claudya mengalihkan pada ruang chat yang dikirimkan Chandrika.
ChanChan :
Hari ini jadi pulang, princess?
Hum ... ini udah di rumah
Hanya membutuhkan waktu satu menit, pesan Claudya langsung dapat balasan dari Chan.
Claudya berdecak, sembari membalas pesan dari Chan. Dasar Chandrika. Terus apa-apaan ini. Barusan dia nyebut aku kamu dirasuki jin darimana tuh anak, tapi untuk urusan rindu. Sekarang Claudya memang dalam kondisi merindukan dia, meski enggan mengakui secara gamblang.
Claudya tidak membalas pesan selanjutnya, dia biarkan begitu saja. Pura-pura merajuk. Rasanya mengerjai Chan ada kesenangan tersendiri bagi Claudya.
Claudya semakin terkikik geli, membaca semua chat yang masuk secara bertubi-tubi, hampir di waktu yang bersamaan, hanya berkelang satu hingga dua menit.
Rupanya Chan masih mengingat permainan sewaktu mereka kecil, dulu Claudya, Chan, dan Cindy akan menghabiskan waktu bermain di sebuah kamar yang sengaja dibuat ayah untuk dijadikan ruangan bermain untuk mereka.
Claudya selalu berlari ke cermin besar di sudut ruangan dengan, boneka kesayangan di pelukannya. Berlenggak lenggok bergaya di depan cermin sembari mengucapkan kalimat seolah itu adalah mantra. Cermin ajaib ... cermin ajaib. Tunjukan padaku, siapa yang paling cantik di negeri ini.
Claudya yang bermonolog di depan cermin akan menjawab sendiri perkataannya, dengan nada suara yang sengaja dibuat berbeda.
Ini adalah cermin ajaib ... yang paling cantik di negeri ini adalah ... princess Claudya.
Claudya masih mengabaikan Chan, melanjutkan aksi pura-pura merajuknya.
Di lima menit selanjutnya.
Handphone Claudya bergetar. Menampilkan nama Chandrika di layar benda persegi ini.
ChanChan's Calling....
Claudya menggeser icon hijau pada layar.
"Halo princess ...."
"Hmm ...," jawabnya singkat.
"Jangan marah dong, Cla. Masa jauhan marah-marahan."
Claudya menahan rasa geli, ingin rasanya meledakkan tawa.
"Gue nggak marah, kok."
"Terus mau apa?" tanya Chan lagi.
"Mau talas bogor sangkuriang."
"Itu aja?" tanya chan
"Iya. Tapi mau semua varian, jangan ada satu varian rasa pun yang tertinggal!" serunya semangat.
"Emangnya bakal habis? ya, udah nanti pulang gue bawain. Sekarang istirahat, ya. Jangan lupa makan dan minum obatnya. Gue ada kerjaan lagi."
"Hmm ...." Hanya dehaman singkat yang Claudya dengungkan sebagai penutup sambungan telepon.
Masih menatap benda pipih dalam genggamannya. Betapa Claudya bersyukur, sungguh baik Tuhan pada hidupnya, memberikan orang-orang baik seperti Chandrika berada sekitarnya.
Gue semakin merindukan dia.
Lamunan Claudya terhenti saat pintu kamarnya terketuk.
"Cla, abang boleh masuk, nggak?"
Pendengarannya tidak salah menangkap, kan? Itu bang Cakka, kan?
Seketika terlintas rasa jahilnya. Bergegas Claudya menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Claudya meringkuk di bawah selimut tebal sambil menahan tawa.
Derit suara pintu terdengar tanda dibuka.
"Cla, tidur ya?" Bang Cakka terus memanggil namanya sembari mendekati tempat tidur Claudya. Entah kenapa tubuhnya bergetar tak kuasa menahan kekehan.
Bang Cakka yang menyadari kerena telah dikerjai, langsung beringsut naik ketempat tidur Claudya dan memeluknya, yang masih berbalut selimut layaknya kepompong.
Dekapan Bang Cakka sangat erat seolah jika dilepaskan, Claudya akan pergi meninggalkannya.
"Mulai nakal ya, sekarang ... udah berani jahil ke abangnya," ucapnya yang masih memeluk Claudya, "keluar nggak, dari selimutnya?"
Claudya yang masih berada dalam selimut setengah berteriak menjawab.
"Nggak mau!"
"Beneran nggak mau? Abang gelitikin nih."
Claudya yang memang tidak tahan geli langsung membuka selimut menampilkan kepalanya. Namun, tubuhnya masih dalam selimut.
"Nakal banget, sih. Siapa yang ngajarin?" Tangan Bang Cakka langsung menyambar pipi kanannya, mencubit dengan gemas.
"Bang ... sakit! Bundaa ... bang Cakka Nakal nyubitin pipi Cla," teriak Claudya mengadu pada bunda.
"Bang, kok demen banget, sih. Godain Adiknya."
Itu bukan suara bunda, melainkan suara Kak Ina istri bang Cakka.
"Habisnya gemes, Sayang. Pipi Cla, kaya mochi stroberi. Jadi pengin digigit."
"Bang!" sungut Claudya tak terima pipinya disamakan dengan mochi stroberi kesukaan Bang Cakka.
"Bang ... adiknya baru aja pulang dari rumah sakit lho, udah diajak candaan aja. Cla masih butuh istirahat," lanjut Kak Ina membela Claudya.
"Woah ... kak Ina terbaik, deh." Cindy bergerak keluar dari selimut menghambur memeluk Kak Ina.
Bang Cakka hanya terkekeh sambil menggaruk tekuknya yang tak gatal.
"Curang, ih. Kak Ina dipeluk-peluk. Kok Abang nggak?"
"Nggak mau! Aku nggak ada kakak yang modelan kaya Abang. Sekarang kakakku cuma Kak Ina dan Cindy"
"Oh, gitu ya sekarang." Bang Cakka berhambur menghampiri Claudya. Claudya bergegas bersembunyi di belakang kak Ina.
Seketika bang Cakka mundur mengangkat kedua tangannya melihat kak Ina yang sudah berkecak pinggang.
"Lagian, Bang Cakka dan kak Ina nggak kerja?"
"Abang sama Kakak ambil cuti," jelas Kak Ina
"Ambil cuti? kalian mau honeymoon, ya. Dua bulan setelah menikah kalian belum sempat honeymoon, kan," sergah Claudya. "Kalian mau honeymoon ke mana?" lanjutnya lagi.
Memang benar sesudah menikah Abang dan kakaknya itu belum pernah menghabiskan waktu untuk honeymoon atau sekedar liburan.
Saat menikah dua bulan lalu pun mereka hanya libur satu minggu.
"Anak kecil ini kok bawel banget sih. Pengin tahu aja urusan orang gede." Bukan jawaban yang Claudya inginkan. Bang Cakka justru menganggap Claudya anak kecil yang serba ingin tahu.
"Bang! Cla udah gede." Bibinya manyun karena tak terima dianggap anak kecil.
"Tapi bagi abang kamu tetap adik kecil. Kenapa sih kamu sama Cindy cepet banget gedenya. Padahal, kan abang belum puas nguyel-nguyel pipi kalian, belum puas nyiumin wangi minyak telon dari kalian, yang sehabis mandi sore. Rasanya punggung abang belum lelah gendong kalian."
"Bang, karena kita udah terlanjur gede, daribpada minta sesuatu yang nggak mungkin. Kenapa abang nggak kasih kita keponakan aja." Claudya menatap Kak Ina dan Bang Cakka bergantian.
"Udah, udah. Mendingan kita turun aja. Bunda udah dari tadi lho, nungguin di meja makan," lerai Kak Ina yang mungkin sudah bosan mendengar adu argumen mereka berdua.
Bersama, mereka melangkahkan kaki menuju lantai bawah dan ruang makan yang sudah ada bunda dengan senyum sumringah menanti anak-anaknya.
.
.
.
Bersambung.
jangan Lupa Vote coment.
Re-publish : March, 14. 2020
Re-publish II : 16 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top