36. Pencarian
Palembang, Sumatera Selatan.
Di sinilah Cindy sekarang, di tanah kelahiran mendiang kedua orang tuanya. Sekaligus tanah kelahirannya.
Sungguh tak pernah terbayangkan olehnya Cindy, semua ini terjadi.
Dia yang hidup selama dua puluh tujuh tahun. Ah, tidak! Bulan depan usianya sudah genap dua puluh delapan tahun.
Selama dua puluh delapan tahun, hidup bersama Claudya dan keluarga Joanne, bukanlah waktu yang sebentar. Di usia yang lebih dari seperempat abad itu, Cindy harus menerima garis takdir yang sudah Tuhan tentukan untuknya.
Cindy layaknya manusia biasa, punya rasa amarah dan kecewa. Namun, ia tetap bersyukur dan berterima kasih, keluarga angkatnya mau menerima dan merawatnya.
Sedikit tidak sopan rasanya jika Cindy menyebut mereka hanya dengan sebutan 'keluarga angkat'. Cindy memang bukan anak kandung di keluarga Joanne, tetapi perlu diingat. Cindy, Claudya, dan Bang Cakka punya garis keturunan satu, mereka memiliki darah yang sama mengalir pada tubuh mereka. Mereka saudara sepupu. Dan paling terpenting, air susu mendiang ibu mendarah daging pada tubuh Cindy.
Claudya ternyata bukanlah saudari kembar Cindy mereka hanya lahir pada tanggal dan hari yang sama. Bang Cakka bukanlah kakak laki-laki kandungnya. Kedudukan ayah pun sama.
Cindy yang selalu bermimpi, suatu hari kelak menyaksikan ayah dan pria pilihannya, berjabat tangan mengucapkan ikrar ijab kabul, tapi semua ... harus kandas bersamaan dengan sebuah kenyataan. Bahwa Cindy bukanlah anak kandung ayah.
Cindy pikir mereka berdua yang berbeda, tapi ternyata ia salah. Yang berbeda di sini hanya ia sendiri. Cindy sempat menyakini ia dan Claudya satu ayah berbeda ibu dengan Bang Cakka.
Ternyata ia salah besar. Bang Cakka dan Claudya satu ayah satu ibu, yang lahir dari pasangan Ibu Adelia Fathina dan Ayah Ikhwan Amaar Joanne.
Sementara Cindy bukanlah anak kandung bunda Salma, tentu bukan pula anak kandung almarhumah Ibu Adelia dan Ayah Amaar.
Cindy lahir dari pasangan mama Adena Fathiyya dan papa Kms. Adnan Dhiaurrahman.
***
Cindy duduk di balkon kamar hotel, yang menghadap langsung ke sebuah jembatan yang merupakan ikon kota Palembang.
Jembatan Ampera. Nama Ampera sendiri singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat.
Jembatan sebagus ini pun punya cerita tidak menyenangkan dalam sejarahnya. Banyak perjuangan dan pengorbanan, hingga bisa menjadi kokoh seperti sekarang ini.
Sinar matahari terbit sudah menghiasi langit kota Palembang. Kemarin saat baru saja sampai di sini Cindy mengirimkan chat pada dokter Bisma.
Dok, aku bingung mau mulai dari mana. Aku masih belum kemana-mana. Masih di hotel.
dr. Bisma Kalandra :
Ya sudah, besok aku dan abangmu ke sana. Kamu jaga diri baik-baik.
Sungguh. Cindy benar-benar bingung. Tidak tahu harus mulai dari mana mencari keluarga kandungnya. Keputusan nekad Cindy memang terkesan bodoh. Dia tidak tahu orang tuanya tinggal di mana, dia tidak tahu wajah kedua orang tuanya seperti apa.
Bahkan dia tidak begitu paham dengan kota ini. Terdengar seperti lelucon, dia yang selalu bangga mendeklarasikan bahwa dia berasal dari Bumi Sriwijaya. Namun, tidak pernah mengenal dengan baik tanah kelahirannya, bahkan kota ini seolah asing.
Ini adalah kali pertama Cindy menjejakkan kaki di kota ini. Ingin menelusuri jejak-jejak sejarah hidupnya sendiri.
Pintu kamar hotel yang Cindy tempati diketuk, Cindy tidak berniat untuk menanyai siapa yang ada di balik pintu itu.
"Dek, abang masuk, ya?" ucapnya.
Ya, itu Bang Cakka. Bang Cakka dan dokter Bisma sudah berada di sini sejak dua jam lalu, menempuh perjalanan udara Jakarta-Palembang 1 jam 5 menit. Dan mereka menginap di hotel yang sama dengan Cindy.
Cindy masih duduk di sofa menghadap kaca besar transparan, menampilkan hiruk pikuknya kesibukan Kota Palembang. Bang Cakka sudah masuk kamarnya, yang kebetulan tidak ia kunci.
Bang Cakka duduk di samping Cindy. "Cin, maafin abang, ya. Abang nggak bermaksud mau bohongi kamu," ucap Bang Cakka.
Cindy menoleh, menatap sendu Bang Cakka. Ia sudah terlalu banyak menangis beberapa hari ini. "Bang," panggilnya.
"Hmm," jawab Bang Cakka singkat.
Cindy tidak bisa menahan lagi, tubuhnya menyusup ke dalam pelukan Bang Cakka. Tangisnya kembali pecah di dada Bang Cakka.
"Kamu sekarang boleh nangis, tapi setelah itu janji harus berhenti," perintah Bang Cakka.
Cindy masih dalam dekapan kakaknya, sampai tangisnya mereda. "Bang Cakka, mau nggak cerita apa yang Bang Cakka ketahui, tentang Cindy?"
Bang Cakka melepaskan pelukannya, ia menarik napas dan mengembuskannya. Ia mulai bercerita.
"Dulu, waktu abang umur sembilan tahun, ada seorang perempuan muda datang ke rumah, dengan membawa bayi perempuan berusia tiga bulan." Bang Cakka menatap Cindy lekat. "Bayi perempuan itu lucu, sangat cantik juga."
Bang Cakka menjeda ucapannya, sebelum akhirnya berkata, "Perempuan muda dan bayi perempuan itu adalah kamu dan bunda."
Bang Cakka meraih tangan Cindy. Menenangkan perasaannya melalui usapan di punggung tangan. "Mendiang ibu dulu berpesan, bayi perempuan itu harus abang sayangi dan dijaga seperti adik abang sendiri."
Butiran bening di pelupuk mata Cindy jatuh, Bang Cakka adalah sosok kakak yang sangat baik. Ia menjalani amanat dari mendiang ibu dengan sangat baik.
Cindy tidak bisa menahan lagi, ia kembali menelusup masuk ke dalam pelukan Bang Cakka. "Bang, terima kasih, ya. Udah menyayangi bayi perempuan itu. Sudah menjaga bayi perempuan itu sampai sebesar ini. Maaf kalau bayi perempuan itu pernah buat Abang kecewa, marah atau bahkan menyulitkan Bang Cakka."
Cindy mengeratkan pelukan, membenamkan kepalanya di dada Bang Cakka, tempat paling nyaman setelah dada ayah.
"Mau ketemu mama dan papa?" tawar Bang Cakka, yang sontak membuat Cindy menegakkan kepala. "Mudahan abang masih ingat, tempat pemakamannya," lanjut Bang Cakka.
Cindy mengangguk antusias. "Iya, Bang. Cindy mau," ucap Cindy semangat.
***
Cindy mengernyitkan dahi, Bang Cakka bilang akan membawanya ke tempat mama dan papa, tapi kok? dia tidak diajak masuk ke sana.
"Rumah siapa?" Suara dokter Bisma menyentak lamunan Cindy.
Cindy menggeleng pelan. "Nggak tahu, Dok," jawabnya.
Mereka berada di depan sebuah rumah besar, dengan bangunan kental khas Sumatera Selatan. Rumah yang memiliki tiang penyangga dengan ketinggian sekitar dua meter dari permukaan tanah.
Jika waktu sekolah dasar Cindy mengenal rumah adat Limas, dari buku pelajaran. Sekarang ia bisa melihatnya langsung.
Sekitar lima belas menit yang lalu, Cindy dan dokter Bisma menunggu di depan halaman yang sangat luas.
Bang Cakka keluar dan menghampiri mereka yang masih berada di dalam mobil. "Masuk, yuk. Udah ditungguin di dalam," ajak Bang Cakka.
Cindy hanya menurut, mengikuti langkah Bang Cakka menaiki satu per satu anak tangga. Mereka sudah masuk ke dalam rumah besar itu, Cindy dibawa menemui seseorang yang ada di ruang tengah.
"Nek, ini Cindy," ungkap Bang Cakka, kepada seorang perempuan lanjut usia.
Nenek yang dipanggil Bang Cakka itu duduk di kursi, melambaikan tangannya yang renta ke arah Cindy. Tidak ada pilihan lain bagi Cindy selain mendekatinya.
"Ini, n-nenek. Ibu dari papa ka-kamu. Ibu bunda kamu."
Akhirnya terjawab sudah, siapa perempuan yang sedang berada di hadapan Cindy ini. Cindy seketika meraih tangannya, menciumi punggung tangannya dengan rasa bangga.
Dia adalah nenek Cindy, ibunda dari bunda dan papa. Sekarang Cindy mengerti, bunda adalah adik kandung dari ayahnya. Dengan kata lain bunda adalah tantenya.
Cindy pun mengerti kenapa bunda dan ayah sering bolak balik Jakarta-Palembang, dengan dalih ada pekerjaan ayah, sementara mereka tidak diizinkan untuk ikut. Termasuk siapa bunda sebenarnya, kini terjawab sudah.
Mama dan bunda menikah dengan pria berdarah Palembang. Bedanya ibu menikahi ayah yang berdarah Palembang, tetapi sudah besar dan hidup di Jakarta. Sementara mama menikah dengan papa, yang tidak hanya berdarah Palembang tapi juga masih menetap disini.
Dan setelah ibu meninggal, ayah menikahi bunda. Gadis berdarah Palembang juga. Yang tak lain adalah adik dari papa.
Complicated.
"Mama sama papa mana, Nek? tanya Cindy dengan suara sedikit bergetar.
Wanita itu menarik garis senyum rentanya. "Nanti, kamu akan bertemu."
***
"Assalamualaikum. Ma, pa."
Cindy dan Bang Cakka sudah berada di TPU di suatu daerah kota Palembang. Nisan dengan batu marmer berwarna hitam itu, berjajar bersebelahan. Pada nisan sisi kanan tertulis jelas nama papa. Dan sebelah kiri nisan mama. Tangis Cindy pecah, harapan tinggi bisa melihat dan memeluk kedua orang tuanya runtuh seketika, saat mendapati kenyataan bahwa dia anak yatim piatu.
"Ma, pa. Ini Cindy. Maaf Cindy baru bisa datang sekarang." Cindy menahan semampunya untuk tidak kembali terisak.
"Ci-cindy, kangen mama sama papa. Cindy su-sudah jadi dokter ma, pa. Cindy baik-baik saja, Cindy di-dijaga dengan b-baik sama ayah, ibu, bunda, Bang Cakka dan Claudya," pungkasnya, meski tercekat karena isak tangis yang ia tahan dengan susah payah.
Cindy bertekad akan menyampaikan semua yang ada dalam hatinya.
Tangisnya kembali turun. Saat kalimat paling ingin ia ucapkan akhirnya terlaksana juga. "Cindy sayang mama dan papa."
.
.
.
.
TBC
Tanjung Enim, 2 Juli 2020
Revisi : 25 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top