35. Pengakuan Dokter Bisma.

Lelah! Itulah yang dokter Bisma rasakan saat keluar dari ruangan itu. Setelah kurang lebih empat jam melakukan operasi. Dan disambung meeting dengan rekan sesama dokter, yang menghabiskan waktu dua jam.
Dokter Bisma bergegas menuju ruang praktik, mengistirahatkan tubuh sejenak.

Di tengah istirahat, tiba-tiba wajah seorang gadis melintas begitu saja dari pikiran Dokter Bisma.

Gadis yang akhir-akhir ini, mengisi penuh pikirannya. Meski dokter Bisma sepenuhnya belum yakin dengan perasaannya sendiri. Namun, kehadiran Cindy, perlahan mampu mengikis jejak masa lalu yang enggan pergi dari relung hati.

Sebelum meeting dokter Bisma sudah meneleponnya. Dokter Bisma meraih gagang laci meja kerja dan membukanya, mencari ponsel yang ia simpan di sana. Garis senyumnya secara refleks tertarik ke atas, saat layar ponsel sudah menampilkan nama Cindy Joanne.

Cindy mengirim pesan chat ke dokter Bisma satu jam lalu. Garis senyum yang tadi sempat tercipta, kini sudah hilang begitu saja. Cindy mengirimkan sebuah foto. Bukan foto itu yang membuat senyum itu hilang, melainkan rahasia di baliknya.

Dokter Bisma tahu ini salah, tidak seharusnya ia menyembunyikan ini darinya. Yang seharusnya Cindy juga berhak tahu. Dengan gerakan cepat, dokter Bisma menghubungi Cindy. Berkali-kali mencobanya, tetapi berkali-kali sambungan telepon dijawab oleh operator.

Dokter Bisma bergegas bangkit keluar ruang praktik. Yang ada di pikirannya sekarang adalah menemui Cindy. Menjelaskan semua yang terjadi.

Rumah. Ya, aku harus ke rumahnya.

Dokter Bisma sudah berada di depan pintu kediaman keluarga Joanne. Ada sedikit rasa ragu, tetapi akhirnya tangannya berhasil bergerak menekan bel. Pintu bergerak ke dalam.

"Selamat siang," sapa dokter Bisma pada seorang wanita yang membukakan pintu tersebut.

"Iya, selamat siang. Mau cari siapa, Mas?" tanyanya bingung.

Dokter Bisma menarik napas sesaat. "Maaf, Bi. Saya Bisma. Temannya dokter Cindy, saya mencari dokter Cindy, ada?"

"Dokter Bisma? dokternya Mbak Claudya, bukan?"

"Ah, iya. Saya dokter yang menangani Claudya."

Wanita yang masih berdiri di depan dokter Bisma ini adalah Bude Yanti. Ia tampak ragu mengucapkan kalimat selanjutnya. "Maaf Mas, sekitar setengah jam yang lalu, Mba Cindy keluar, bawa koper. Katanya mau balik ke apartemennya. Tapi ...."

"Tapi kenapa Bi?" Dokter Bisma bertanya. Penasaran sekaligus khawatir mendengar penjelasannya tentang Cindy.

"Mbak Cindy, nggak bawa mobilnya. Dia tadi naik taksi," pungkasnya.

"Ah, baiklah. Oh iya, Bi. Saya bisa meminta nomor telepon kakaknya dokter Cindy?"

Bude Yanti tampak berpikir sejenak, "Telepon Mas Cakka?"

"Iya, Bi. Nomor telepon Mas Cakka."

Bude Yanti kembali memasuki rumah, tidak membutuhkan waktu lama ia sudah berdiri kembali di hadapan dokter Bisma, mengangsurkan selembar kertas kecil yang bertuliskan nomor telepon kakaknya Cindy.

"Terima kasih ya, Bi. Kalau gitu saya pamit," ucap dokter Bisma.

Bu Yanti tersenyum ramah. "Iya. sama-sama Mas."

Dokter Bisma meninggalkan kediaman keluarga Joanne, tujuan selanjutnya apartemen Cindy.

-o0o-

Lama Dokter Bisma menekan bel di sisi pintu apartemen Cindy. Tidak ada pergerakan akan dibuka. Dokter Bisma yakin tidak salah, ini kamar apartemen Cindy. Karena sebelumnya pernah dua kali mengantarnya pulang ke apartemen.

"Cari siapa, Kak?" Suara itu terdengar menyentak fokusnya.

"Ah, maaf. Saya mencari Cindy. Ini benar kamarnya, kan?"

Seorang gadis berdiri tidak jauh dari dokter Bisma, seperti seorang mahasiswi.

"Oh, Kak Cindy. Yang dokter itu, kan?"

Dokter Bisma mengangguk, membenarkan ucapannya. Ia memastikan tidak salah orang.

"Setahuku, Kak Cindy sudah empat atau lima bulan nggak pulang ke apartemen, Kak. Katanya dia tugas di luar kota," jelasnya.

Benar. sekembalinya bertugas di Bali, Cindy langsung pulang ke rumahnya. Tidak ke apartemen. Lalu sekarang Cindy di mana?

"Ah, begitu rupanya. Baiklah kalau begitu, saya permisi. Terima kasih."

***

"Iya, saya juga masih mencarinya. Baiklah, nanti kalau saya menemukannya atau mendapatkan info keberadaan Cindy. Saya segera hubungi."

Sambungan telepon terputus. Dokter Bisma berada di sebuah kafe di bilangan Kemang. Mengistirahatkan sejenak tubuhnya. Dari siang berkeliling Jakarta mencari keberadaan Cindy. Jam digital pada layar ponsel menunjukkan pukul 20.39 wib.

Saat dokter Bisma tak mendapati Cindy di apartemennya, ia memutuskan menghubungi Bang Cakka. Memberi kabar mengenai hasil pemeriksaan yang sudah diketahui Cindy. Mereka tak kalah khawatirnya seperti dokter Bisma. Mereka lebih mencemaskan Cindy. Tentu!

Ponsel yang dokter Bisma simpan di atas meja tiba-tiba berdering, ada barisan angka tertampil di sana.

"Halo," sapa dokter Bisma saat sambungan terhubung.

"Halo, Dok. Ini aku Erika." Suara di ujung sana memperkenalkan diri.

Erika? Suster Erika?

"Suster Erika?" Dokter Bisma bertanya untuk memastikan.

"Iya, Dok. Maaf, menganggu malam-malam. I-itu, di kost-ku ada dokter Cindy. Aku bingung, dari siang dia cuma nangis aja. Aku mau menghubungi keluarganya, ta-tapi ia melarangnya. Aku pikir Dokter dekat dengan dokter Cindy. Maka dari itu aku menghubungi Dokter," terang suster Erika di seberang sana.

Dokter Bisma bergeming, masih belum percaya dengan apa yang ia dengar.

"Dok, halo?" Suara suster Erika menyadarkannya dari lamunan.

"Iya, Sus. Suster Erika, tolong shareloc sekarang juga. Saya segera ke sana."

***

Dokter Bisma sudah berada di depan kamar kost suster Erika, beruntung peraturan kost-an ini tidak begitu ketat dalam hal menerima tamu.

Di kamar kost berlantai dua tingkat itu, Cindy duduk di balkon menghadap ke halaman belakang. Suster Erika sudah memberi izin masuk ke kamarnya.

Dengan pelan dokter Bisma melangkah menemui Cindy. "Cindy ...," panggil dokter Bisma engan segala rasa khawatir.

Cindy mendongakkan kepalanya menoleh ke arah pintu, di mana tempat dokter Bisma berdiri. Dokter Bisma bergegas mendekat ke arah Cindy. Merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. "Maaf ...," ucap lirih dokter Bisma.

Cindy memberontak dalam dekapannya hingga terlepas, air matanya kembali tumpah. Mata kecilnya sembab. Hati dokter Bisma berdenyut ngilu melihat keadaan Cindy seperti ini. Ia hendak meraihnya kembali ke dalam pelukan. Lagi-lagi Cindy menepis sedikit mendorong tubuh dokter Bisma.

"Cindy, sudah jangan nangis lagi," cicit dokter Bisma, yang semakin khawatir dengan keadaannya. "Aku akan jelaskan semua. Tolong maafkan aku."

Cindy menatap tajam ke arah dokter Bisma. Rasa kecewaan dari sorot matanya terlihat jelas.

"Iya, aku salah. Tidak seharusnya aku menyembunyikan itu. Tolong dengarkan aku."

"Sejak kapan Dokter merahasiakan itu," timpalnya.

"Sebelum Claudya melakukan BMP pertama. Tepatnya dua hari sebelumnya, saat ia datang ke rumah sakit menemuiku. Claudya memintaku merahasiakannya. Awalnya aku menolak, tapi Claudya memaksa tidak akan melanjutkan pengobatan jika aku tidak mau berjanji merahasiakannya." Dokter Bisma menjelaskan tanpa ada yang dirahasiakan.

"Lalu, pemeriksaan Bang Cakka?" Cindy kembali bertanya dengan tatapan yang masih sama.

"Keluargamu yang meminta untuk merahasiakan dari kamu."

Cindy kembali terisak. Dokter Bisma kembali memberanikan diri merengkuh tubuh lemah itu. Cindy diam saja, mungkin sudah terlalu lelah seharian menangis.

Pelukan semakin dokter Bisma eratkan, menciumi puncak kepalanya dengan sayang. "Maafin aku, ya. Maaf," gumam dokter Bisma sembari mengelus punggung Cindy, yang masih bergetar karena tangis.

"Dok, sakit," adunya kepada dokter Bisma. "Kenapa aku tahu semuanya dengan cara seperti ini. Kenapa mereka harus menyembunyikannya dariku."

"Mungkin mereka punya alasan."

"Dokter jahat."

"Iya. Aku jahat. Maafin, ya. Sekarang kamu pulang, ya. Mereka mencemaskan kamu, Cin."

"Nggak! Aku belum mau ketemu mereka," decaknya.

"Kenapa? Kamu boleh kecewa tapi harus dibicarakan baik-baik. Dengan kamu kabur tidak akan menyelesaikan masalah," tutur dokter Bisma menasehati Cindy.

"Pokoknya, aku belum mau ketemu mereka!" berangnya sembari melonggarkan dekapan.

"Ya sudah, sekarang apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku mau mencari keluargaku di Palembang, besok aku berangkat," cetusnya.

"Oke, aku temani."

"Nggak! Aku mau sendiri," sergahnya.

"Tapi—"

"Dok, please," rengeknya.

Dokter Bisma mengembuskan napas, Cindy keras kepala juga. "Oke, baiklah. Tapi aku harus memberi tahu keluarga kamu. Kalau kamu baik-baik saja, agar mereka tidak khawatir, oke?" pungkas dokter Bisma.

"Tapi bilang juga, aku belum mau ketemu mereka," potongnya.

Dokter Bisma mengangguk, menyanggupi syarat yang diucapkan Cindy.

Setelah perdebatan panjang, Cindy duduk di sebelah dokter Bisma dengan kepala bersandar di bahu. Dokter Bisma sudah mengirimkan pesan ke keluarga Cindy. Mengabarkan Cindy yang baik-baik saja. Juga keputusan ia yang akan pergi ke Palembang besok.

Dengkuran alus terdengar, Cindy sudah terlelap. Dia pasti lelah, ini hari berat baginya. Dokter Bisma menghubungi suster Erika. Sejak  masuk ke kamarnya, suster Erika harus mengungsi ke kamar temannya sementara.

Suster Erika sudah berada lagi di kamarnya, Cindy sudah ditidurkan di kasur yang cukup dihuni berdua bersama suster Erika.

Sudah pukul sebelas malam. Dokter Bisma berpamitan. "Suster Erika, terima kasih, ya. Saya titip Cindy untuk malam ini. Besok saja balik lagi ke sini," pamit dokter Bisma ke suster Erika.

"Baik, Dok."

Setidaknya malam ini saya cukup tenang sudah menemukan Cindy.
.
.
.
To be continued
Tanjung Enim, 1 Juli 2020
Revisi : 24 Desember 2020

Salam
RinBee 🐝


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top