34. Terungkap

"Lagi apa?" tanya dokter Bisma di seberang sana.

"Lagi di ruang kerja ayah" Cindy menjawab pertanyaan dokter Bisma dengan santainya duduk pada kursi kerja ayah.

Cindy diam sejenak. "Dok," panggilnya.

"Iya, kenapa." Meski terdengar samar, dokter Bisma mengembuskan napas lelahnya.

"Dokter capek?"

Suaranya sedikit terjeda. "Iya, habis operasi. Coba kalau ada kamu."

"Emang kenapa, kalau ada aku?"

"Kan, lelahnya bisa cepat berkurang," celetuknya.

"Apaan, sih, Dok!"

Dokter Bisma tergelak, suaranya terdengar dari speaker ponsel Cindy. Hari ini adalah jadwal Cindy libur. Itu sebabnya ia berada di rumah.

"Dok, aku rindu Claudya," cicit Cindy.

Sekarang Cindy mulai terbiasa, segala sesuatu ia ceritakan pada dokter Bisma. Cindy seperti menaruh kepercayaan pada dokter Bisma.

"Sudah mengajukan surat cuti tahunan?" tanyanya.

"Sudah, tinggal nunggu persetujuan aja."

"Mau dibantu agar cepat disetujui?"

"Nggak perlu. Iya, deh. Tahu yang punya kekuasaan di rumah sakit," ledek Cindy.

Suara tawa dokter Bisma menggema lagi.

"Cindy, aku ada meeting setelah ini."

Jika bukan di lingkungan rumah sakit. Sekarang dokter Bisma tidak pernah memanggilnya dengan panggilan dokter Cindy lagi.

"Hmm, baiklah."

"Bye, kamu jangan lupa makan."

Dokter Bisma tidak pernah lupa mengingatkan hal itu sebelum akhirnya sambungan terputus.

Claudya sudah menjalani pengobatan di Singapura. Sekarang Cindy kembali ke rumah, tidak tinggal di apartemennya. Bang Cakka dan Kak Ina pun untuk sementara tinggal di sini. Kasihan ayah jika harus tinggal sendirian di rumah, karena bunda mendampingi Claudya selama menjalani pengobatan di Singapura.

Sebelum keputusan melanjutkan pengobatan ke luar negeri, ada beberapa opsi rekomendasi rumah sakit, yang bisa dipilih untuk Claudya.

Namun, dokter Bisma merekomendasikan National University Hospital Singapore, Singapura. Karena Kalandra Hospital bekerjasama dengan rumah sakit tersebut. Dan ada adik sepupu dokter Bisma untuk menangani Claudya, ia salah satu dokter ahli hematologi dan kanker di sana.

Chan turut ke Singapura. Selama di Singapura, bunda banyak dibantu oleh keluarga Chan. Mama, ayah sambung Chan, serta adik tirinya menetap di Singapura. Cindy masih di dalam ruangan yang banyak menyimpan kenangan, terutama masa-masa kecilnya bersama Claudya.
Dulunya ini adalah ruang bermain kami saat masih kecil.

Cindy bangkit dari kursi kerja ayah. Menyusuri ruangan yang dipenuhi rak-rak buku. Pada sisi dinding tergantung foto kelurga berukuran besar. Ada Cindy di pangkuan ayah, Claudya di pangkuan bunda. Dan Bang Cakka berdiri di tengah. Foto yang diambil saat hari ulang tahun Cindy dan Claudya ke tiga tahun.

Cindy berdiri menatap foto keluarga itu. Ia mengernyitkan dahi, mengingat sesuatu. kenapa aku baru terpikir sekarang.

Cindy pernah melihat fotonya sewaktu bayi. Kata bunda, itu dia yang baru berusia dua hari. Cindy digendong bunda dan jika melihat suasananya pun seperti masih di rumah sakit.

Namun, Cindy tidak pernah menemukan foto Claudya bersama bunda saat Claudya baru lahir. Yang ia temukan foto bunda dan mereka yang sudah berusia beberapa bulan.

Ah, sudahlah. Memikirkan itu membuatku semakin merindukan mereka.

Netra Cindy jatuh pada lemari kecil di bawah foto keluarga. Ada tali merah yang menjuntai keluar. Seperti tali yang biasa ditemukan pada amplop besar berwarna cokelat.

Cindy berjongkok di depan lemari itu. Karena tinggi lemari hanya sebatas pinggang orang dewasa. Mencoba membuka lemari. Tidak dikunci.
Cindy menarik gagang pintunya. Sepertinya ini dokumen penting perusahaan ayah.

Cindy menarik amplop tersebut, mencoba mengaitkan tali itu dengan benar pada pengaitnya yang serupa bentuk kancing berwarna merah.

Saat tangannya hendak mengaitkan tali tersebut, sekilas Cindy melihat kop surat pada lembaran kertas di dalamnya.

Seperti kop Rumah Sakit Kalandra.

Untuk memastikan apa yang ia lihat, Cindy menarik kertas di dalamnya, membaca dengan seksama apa yang tertulis di atas kertas putih tersebut. Ini adalah surat hasil pemeriksaan Claudya.

Cindy terperangah membaca barisan kalimat demi kalimat pada kertas itu.
Sesuai hasil pemeriksaan, Claudya mengidap inherited aplastik anemia. Atau bahasa sederhananya anemia aplastik bawaan. Disebabkan kelainan genetik yang diwariskan dari orang tua. Anemia aplastik jenis ini berisiko mengalami kanker lainnya seperti leukemia.

Leukemia. Diwariskan dari orang tua. Orang tua?! Siapa? Ayah dan bunda tidak mengidap anemia aplastik. Ibu?

Cindy tergerak untuk mencari tahu lebih jauh, meraih amplop lainnya dari lemari yang sama. Amplop berisi lembaran kertas dengan kop surat yang sama. Kembali Cindy membacanya, sempat melirik tanggal dikeluarkannya surat itu. Sekitar satu minggu sebelum Claudya berangkat ke Singapura.

Ini hasil pemeriksaan untuk melakukan haematopoietic stem Cell (HSC) atau transplantasi sel punca dengan metode allogeneic.

Yang membuat Cindy semakin tercengang adalah, saat membaca nama Ganendra Cakkaraka Joanne. Tertulis jelas di dokumentasi sebagai pendonor sumber sel punca.

Cindy berdecak. Kenapa Bang Cakka? Kenapa bukan aku? Bukankah donor terbaik adalah saudara kandung.
Sementara Bang Cakka dan Claudya ... saudara tiri. Kenapa Claudya dan ibu memiliki riwayat penyakit yang sama? Kenapa aku tidak diberitahu tentang pemeriksaan ini.

Pertanyaan itu bermunculan di kepala Cindy, ia menghela napas. kepalanta mendadak pusing karena berpikir terlalu keras. Cindy membuka lemari itu lagi, pada tingkat bawah ada sebuah kotak berwarna biru tua. Sudah berdebu. Ia membuka perlahan mencari petunjuk.
Yang ia dapati adalah fotonya sewaktu masih bayi. Di balik foto tertulis, Nys. Adtsana Elcindy. Palembang, 10 Agustus 1992.

Adtsana Elcindy? Palembang?

Ini fotonya dan juga tanggal lahirnya. Tapi kenapa ....

Napas Cindy seperti tercekat, dia membongkar kotak itu dengan tidak sabar. Dalam kotak usang itu, semua berisi foto-fotonya dan bunda. Kemana Claudya?

Cindy menemukan satu kertas usang. Surat keterangan kelahiran, dari salah satu rumah sakit di Palembang.
Meski telah usang, dengan kertas yang sudah berubah warna menjadi kekuningan. Namun, jelas di sana tertulis nama dokter yang membantu kelahiran.

Telah lahir seorang bayi perempuan yang diberi nama Nys. Adtsana Elcindy.

Begitulah kurang lebih di sana tertulis. Tapi tunggu ... nama kedua orang tua tertulis Adena Fathiyya dan Kms. Adnan Dhiaurrahman.

Siapa lagi mereka berdua ini?

Cindy bangkit dari posisinya, menuju meja kerja ayah. Mencari sesuatu yang mungkin bisa menjawab semua keganjilan ini. Cindy membuka laci meja kerja ayah. Tidak menemukan sesuatu, beralih ke laci sisi kanan. Tidak ia temukan juga, selain album foto yang tiap slotnya hanya cukup satu foto berukuran 3R.

Cindy membuka lembar-lembar foto tersebut dengan cepat dan tergesa. Awalnya tidak ada yang mencurigakan. Ini album foto ayah, ibu dan Bang Cakka. Foto yang mengabadikan momen Bang Cakka berulang tahun. Dari ulang tahun pertama hingga ke sembilan.

Tunggu ... di ulang tahun ke sembilan. Ayah menggendong Claudya, dan ibu menggendong bayi perempuan lainya.

Aku? Itu aku. Tapi kemana bunda?

Cindy membolak-balik lagi album foto tersebut, dengan perlahan. Mungkin ada sesuatu yang terlewat olehnya tadi. Matanya mulai berembun, menemukan beberapa lembar foto saat ibu melahirkan. Ibu yang masih mengenakan pakaian operasi, dengan
seorang bayi tengkurap di dadanya, sementara ayah tersenyum lebar menghadap kamera.

Di sudut sebelah kanan tercetak tanggal dan jam pengambilan foto. 10/08/1992. Tanggal lahir yang sama dengan Cindy hanya berbeda beberapa jam.

Cindy buka lagi lembaran foto berikutnya. Foto ayah, ibu yang terbaring di bed pasien sembari memeluk seorang bayi dengan balutan kain berwarna merah muda, dan Bang Cakka kecil yang duduk di ujung tepi ranjang. Tanggal yang tercetak di sana 11/08/1992.

Kembali Cindy membalik lembaran berikutnya. Menampilkan ibu yang duduk di sofa, sambil menggendong bayi itu lagi dan ayah duduk di sampingnya. Bayi itu berjenis kelamin perempuan. Terlihat ia mengenakan pakaian khas bayi perempuan. 16/08/1992

Di baliknya foto Bang Cakka yang hanya mengenakan celana pendek cokelat, baju kaus putih sedang berada di atas tempat tidur. Memeluk bayi itu lagi. 26/08/1992

Bayi perempuan itu adalah ... Claudya.

Di lembaran berikutnya, foto bunda menggendong Cindy, Claudya pada gendongan ibu. 03/10/1992. Setelahnya, baru Cindy temukan foto yang ia lihat pertama kali tadi.

Sekarang Cindy mengerti. Claudya dan Bang Cakka adalah saudara kandung. Lahir dari ibu yang sama. Mempunyai ayah yang sama. Pantas saja jika hasil pemeriksaan untuk donor punca, Bang Cakka dan Claudya memiliki kesesuaian lengkap.

Lalu bagaimana denganku? Aku siapa? Anak bunda? Adena Fathiyya dan Kms. Adnan Dhiaurrahman itu siapa? Kedua orang tuaku?

Pikiran Cindy kalut, air matanya sudah berjatuhan tanpa bisa dicegah.
Cindy kembali berjongkok di depan lemari kecil di bawah foto keluarga. Mengambil lembaran hasil pemeriksaan Claudya. Cindy memotretnya, lalu mengirimkannya pada dokter Bisma via pesan chat. Dokter Bisma pasti tahu alasan kenapa Cindy tidak diberi tahu soal hasil pemeriksaan ini.
.
.
.
TBC
Tanjung Enim, 30 Juli 2020
Revisi : 23 Desember 2020

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top