32. Kiss

Cindy sudah kembali bekerja, Claudya masih dirawat di Kalandra Hospital.
Sejak kemarin Cindy lebih memilih menghindari bertemu dengan Chan. Ia akan menemui Claudya jika Chan sedang tidak ada di ruang inap Claudya. Masih terngiang apa yang oma bicarakan tempo hari, aku sudah bertekad benar-benar akan melupakan Chan.

Cindy masih berada nyaman di balik meja kerjanya. Berkutat dengan berkas-berkas pasien. Meski ini sudah waktunya makan siang, Cindy masih belum berniat untuk mengisi perutnya. Rasa lapar terkadang hilang entah ke mana.

Semenjak Claudya kembali jatuh sakit, pikiran Cindy hanya tercurah pada Claudya. Terkadang ia lupa makan tepat waktu. Jam istirahatnya kacau. Cindy takut saat ia memejamkan mata, ada sesuatu hal yang Claudya butuhkan.

Pintu ruang kerja Cindy diketuk. Siapa? Suster Erika, bukannya sudah pamit izin makan siang. Cindy bergeming saat ketukan pertama. Suara ketukan ke dua kembali terdengar.

Sepertinya bukan suster Erika. Suster Erika, tidak akan sampai menunggu dipersilakan terlebih dahulu baru akan masuk.

"Iya, masuk," sahut Cindy dari dalam.

Pintu berderit didorong ke dalam. Menampilkan Chandrika. Orang yang sangat aku hindari sejak kemarin, malah muncul di depanku. Sial!

"Ch-chan? Ada apa? Perlu sesuatu?"

Chan tersenyum. "Lo sibuk, Cin? Gue mau ke luar sebentar, gue mau minta tolong. Jagain Cla sebentar, bisa?"

Cindy bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu. "Iya, bisa. Gue akan jagain Cla."

Saat tangan Cindy hendak meraih gagang pintu, tiba-tiba Chan menarik tangan Cindy. Menggenggam kedua tangannya, erat. "Terima kasih, Cin. Gue janji nggak bakal lama."

Tolong, Chan. Jangan seperti ini. Pertahanan gue bisa runtuh lagi. Gue sudah berjanji kali ini benar-benar akan melupakan lo.

Cindy melepaskan genggaman tangan Chan. "Gue kakaknya, Chan. Lo nggak perlu ngelakuin itu. Tanpa diminta pun, itu tanggung jawab gue jagain Cla."

Chan terkekeh, tangannya terulur hendak mendarat di puncak kepala Cindy, tapi sudah ditepis terlebih dahulu.

"Maaf ...," lirih Cindy, menarik napas pelan. "Lo duluan aja, sebentar lagi gue nyusul. Ada sesuatu yang mau gue beresin dulu."

"Oke. Thanks ya, Cin," ucap Chan lalu berlalu di balik pintu.

Tubuh Cindy merosot bersandar di pintu. Dadanya sesak. Tak disangka, menahan perasaan di depan orang yang kamu cintai, bertingkah seolah-olah perasaan itu tidak ada, sangat sulit dilakukan.

Mungkin sudah lima menit Cindy menetralkan jantungnya. Menata kembali pertahanan hati. Cindy keluar ruangan, menuju ruang rawat Claudya. Ia sudah berdiri di depan kamar VIP 037.

Nyawa Cindy serasa pergi dari raganya untuk beberapa detik, saat matanya menangkap sesuatu yang terjadi di dalam ruangan ini.

Dari balik pintu yang sebagiannya terbuat dari kaca. Cindy memperhatikan Claudya dengan posisi setengah duduk. Chan di sampingnya mendekap tubuh Claudya.

Cairan bening jatuh begitu saja dari pelupuk matanya, bukan karena Chan memeluk Cla dengan sayang, tapi lebih dari itu. Saat kedua bibir mereka menyatu dengan penuh perasaan.

Cindy berdecak, menertawakan dirinya sendiri. Lihat Cin! Mereka punya perasaan yang sama. Mereka saling mencintai. Semesta pun turut andil. Stop! Nggak usah drama. Untuk apa lo menangis atas kebahagiaan mereka. Itu sudah menjadi cerita alam semesta, dan lo nggak bisa mengubahnya.

Cindy berdecih, saat hati kecilnya kembali menyuarakan pendapatnya. Ia buru-buru menghapus air matanya. Mengetuk pintu memberi tahu mereka akan keberadaannya. Cindy berpura-pura baru saja sampai dan tidak melihat kejadian apa yang terjadi sesaat tadi.

Cindy mendorong pintu ke dalam. Pelukan Chan sudah terlepas. Namun, posisinya masih di tempat yang sama. Claudya mengembangkan senyumannya. Meski wajahnya pucat, tapi kecantikannya tidak berkurang sedikit pun.

Cindy melirik ke arah Chan. "Katanya mau pergi?"

Chan hanya mengangguk, ia kembali melihat ke arah Claudya. "Gue pergi sebentar, ya. Nggak akan lama," ucap Chan yang dengan penuh sayang.

Chan sudah keluar, Claudya menatap Cindy heran. "Cin, mata lo merah. Kenapa? Sakit?"

Cindy gelagapan, hendak beralasan apa. Tidak mungkin ia katakan bahwa habis menangis, hanya karena melihat mereka berciuman.

"Hmm ... itu. Mungkin karena gue kurang istirahat. Ya, karena gue kurang istirahat aja," sangga Cindy.

"Istirahat, Cin. Jangan dipaksakan, lagian gue nggak apa-apa kok," lirihnya.

Cindy duduk di tepi tempat tidur, memeluk Claudya. "Gue juga nggak apa-apa."

Claudya sudah kembali tidur, Cindy duduk di sofa sambil menyelesaikan pekerjaan. Chan belum juga kembali, sejak pamit satu jam yang lalu. Ponselnya tiba-tiba bergetar singkat, menandakan ada pesan yang masuk.

dr. Bisma Kalandra :
Sudah makan?

Belum.

Pesannya hanya dibaca tanpa ada balasan selanjutnya. Cindy kembali pada pekerjaannya. Tak berselang lama ponselnya kembali bergetar, hanya saja getarannya agak sedikit lebih lama.

"Halo, Dok."

"Dimana?" Tanpa salam, tanpa kata halo. Dokter Bisma sudah melemparkan pertanyaan.

"Rumah sakit," jawab Cindy singkat.

"Iya, aku juga tahu kamu di rumah sakit. Yang bilang kamu di kantor gubernur siapa. Aku ada di depan ruang kerja kamu. Kok, nggak ada."

Cindy sempat terkekeh mendengar penuturannya. "Oh, aku ada di kamar Claudya"

Sambungan telepon terputus. Dokter Bisma kenapa lagi?

Lima menit berselang dari dokter Bisma yang memutuskan telepon secara tiba-tiba. Kamar Claudya diketuk, hanya beberapa ketukan. Pintu terbuka menampilkan dokter Bisma. Dengan balutan kemeja biru langit dan celana berwarna gelap.

Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang tepat di sebelahnya. Cindy melirik wajahnya. Tergambar guratan wajah lelah.

"Sudah selesai operasinya?" tanya Cindy.

Dokter Bisma duduk dengan tegap, menatap Cindy. Sesaat kemudian ia tersenyum samar.

"Kenapa?" tanya Cindy.

Dokter Bisma hanya menggeleng, mengulurkan tangan mengusak rambut Cindy, menarik seulas senyum.

"Udah keramas, Dok. Iya, udah nggak lengket lagi," cibir Cindy ke dokter Bisma.

Dokter Bisma tertawa, kemudian bangkit menuju bed pasien di mana Claudya tidur dengan pulasnya.
Cindy memperhatikan dokter Bisma, ia sedang mengecek keadaan Claudya.

Cindy kembali melanjutkan kegiatannya. Dokter Bisma sudah kembali duduk, ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Lengannya ia simpan di atas dahinya, menutup matanya.

Cindy membiarkan dokter Bisma beristirahat sejenak. Mungkin ia lelah, karena baru selesai melakukan operasi pada pasiennya.

"Cindy," gumamnya.

Cindy? Bukan dokter Cindy? Dokter Bisma sedang mengingau atau gimana ini? Dari kemarin manggil nama gue.

"Hum?"

Dokter Bisma menegakkan kepalanya, menoleh ke arah Cindy. "Lapar ...," adunya.

Hah? Lapar? Ini dia kenapa, sih?

"Lapar?" ulang Cindy.

Dokter Bisma mengangguk dengan muka memelas.

"Ya, makan, Dok."

"Ayo, temenin."

Cindy mengernyitkan dahi. Sepertinya ada yang salah ini dengan dokter Bisma.

"Dokter sehat?" tanya Cindy bingung.

"Kenapa emang?"

"Ya, aneh aja. Dokter dari tadi ... bertingkah kayak bukan Dokter aja gitu."

"Kamu sudah makan?"

Cindy menggeleng. "Belum."

"Tadi sarapan, nggak?"

Cindy bingung mesti jawab apa. Karena sebenarnya sejak pagi tadi, Cindy belum memasukkan makanan apa pun ke dalam lambungnya. Bekal sarapan yang bunda bawakan pun masih berada dalam tas kerjanya.

Dokter Bisma melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya seketika berubah tegas.

"Kamu ...." Jari telunjuknya mengarah ke arah Cindy. Dokter Bisma menghela napas sejenak. "Kamu itu dokter, bagaimana pun juga kesehatan kamu lebih penting. Kamu belum makan apa pun dari pagi. Gimana kalau kamu jatuh sakit? Gimana kamu akan menangani pasien-pasien kamu. Bagaimana kamu bisa menjaga Claudya!"

Cindy menunduk dalam, saat dokter Bisma menyinggung tentang Claudya.
Dokter Bisma benar. Bagaimana dia bisa menjaga Claudya, jika menjaga kesehatannya saja tidak peduli.

Dokter Bisma terlihat mengotak-atik ponselnya, yang entah tidak tahu apa yang sedang ia kerjakan pada benda pipih tersebut. Kecanggungan yang sempat tercipta mendadak cair saat pintu terbuka. Chandrika sudah kembali dari urusannya.

Thanks Chan. Lo nyelamatin hidup gue.

"Dokter Cindy, teman kamu sudah datang. Kamu ikut ke ruanganku," bisiknya.

Cindy menautkan alis. Bingung. Seakan tahu, dokter Bisma melanjutkan maksud ucapannya. "Aku sudah delivery untuk kita makan."

Seperti anak kecil yang patuh ucapan orang tuanya. Cindy hanya mengangguk saat dokter Bisma mengutarakan maksudnya.

Turuti aja, Cin. Daripada dia berubah menakutkan lagi seperti tadi.
.
.
.
TBC

Tanjung Enim, 28 Juni 2020
Revisi 21 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top