31. Aa' Bisma
"Sendirian aja, Neng?" tanyanya, sembari tersenyum menggoda. "Mau kemana? Aa' temani, ya," ucap pria itu. Yang Cindy saja tidak tahu datang dari mana. Tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Cindy di pelataran rumah sakit.
"Apaan, sih. Dok," ujar Cindy.
"Mau ke mana?" ulang dokter Bisma.
"Mau pulang."
"Ayo, aku antar."
Cindy meneliti penampilan dokter Bisma, kemeja yang ia kenakan berwarna gelap. Masih sama seperti yang ia kenakan pagi tadi saat memeriksa Claudya, hanya saja ia mengenakan suit berwarna navy sebagai luarannya.
"Dokter mau ke mana?" tanya Cindy karena penasaran.
"Aku baru selesai pertemuan bersama kolega." Dokter Bisma kembali memberi tawaran, "ayo, mau pulang nggak?"
Cindy baru saja hendak membuka suara, menolak dokter Bisma. Namun, ia sudah berujar terlebih dahulu. "Nggak ada penolakan," tegasnya.
Cindy cemberut, selalu saja begini.
"Baiklah," sahutnya dengan nada malas.
Dokter Bisma terkekeh, mengusak rambut Cindy. Dokter Bisma berhenti dari kegiatannya, ia menatap telapak tangan yang ia gunakan mengusap puncak kepala Cindy tadi.
"Kenapa?" tanya Cindy.
"Biasanya halus, wangi. Kok, sekarang lengket ya?"
"Dokter ...," rengek Cindy.
Dokter Bisma semakin tergelak, puas menggoda Cindy. Jangankan mau keramas, dari kemarin Cindy sempat membasuh wajah dan menggosok gigi.
Cindy masih berdiri melipat tangan di depan dada. "Ya, udah, aku pulang dengan taksi aja, dari pada nanti mobil Dokter jadi bau," sungutnya.
Dokter Bisma masih terlihat menahan tawanya. Ia bergerak ke samping Cindy, merangkul bahunya. "Ayo cepat, aku ada pertemuan lagi setelah ini," tandasnya.
Cindy sudah berada dalam mobil dokter Bisma. Memasang sabuk pengaman. "Dokter, ada pertemuan lagi? Ya, udah Dokter ke pertemuan aja. Aku bisa naik taksi. Nanti telat, loh."
Di balik stir, dokter Bisma memutar tubuhnya sedikit menghadap Cindy. Kedua tangannya menangkup pipi Cindy. "Cerewet sekali, sih. Dari tadi bantah aja. Lagi pula pertemuannya masih empat jam lagi, Cindy."
Cindy? Dokter Bisma menyebut nama Cindy tanpa embel-embel dokter. Seperti yang biasa ia gunakan.
Penjelasan dokter Bisma, membuat Cindy tidak bisa protes lagi.
Berada di dekat dokter Bisma, Cindy tidak bisa untuk tidak bersyukur. Ia merasa terlindungi. Cara dokter Bisma menjaga membuat teduh. Cindy menemukan sosok kakak dari dokter Bisma.
Mobil dokter Bisma sudah melaju membelah jalanan, Cindy dan dokter Bisma saling melemparkan candaan. Cindy juga sempat menanyakan tentang Claudya.
Perjalanan tiga puluh menit menuju rumah tidak terasa, saat mobil dokter Bisma sudah berada di depan pintu pagar, tidak memasuki halaman.
"Aa' Bisma, nggak mau masuk dulu?" ucap Cindy, sengaja untuk menggoda dokter Bisma. Hitung-hitung balas dendam, karena ia tadi menggoda rambutnya yang lengket belum keramas.
Dokter Bisma tertawa lebar, matanya hampir saja hilang membentuk garis bulan sabit.
"Dih, malah ketawa. Jadi mau dipanggil aa aja, nih? Nggak mau dipanggil mas?"
"Aa aja," jawabnya mantap. Dokter Bisma menjeda ucapannya seperti berpikir. "Kalau mas ... jadi ingat teman kamu yang waktu di Bali, dia manggil aku mas, kan. Lagi pula aku masih ada darah sunda dari mommy."
Kini giliran Cindy yang terkekeh. Mengingat Chan sewaktu di Bali, dengan gayanya yang tengil memanggil dokter Bisma dengan sebutan 'mas'.
"Ya, udah, aa Bisma. Aku undur diri dulu, ya. Terima kasih tumpangannya."
"Iya. jangan lupa bersih-bersih. Biar wangi," godanya lagi.
"Dok!"
Cindy merenggut, dokter Bisma kembali tertawa puas, karena berhasil menggoda Cindy lagi.
"Nanti ke rumah sakit lagi, nggak?" tanya dokter Bisma.
Cindy berpikir sejenak. "Iya, nanti sore aku ke rumah sakit lagi."
"Ya, sudah. Istirahat dulu sana. Kamu nggak istirahat dari kemarin."
Cindy hanya mengangguk patuh. Sebagai seorang adik yang baik. Harus patuh kepada kakaknya.
"See you," ucap penutupnya.
Cindy sudah turun dari mobil dokter Bisma, memasuki halaman rumah. Terdiam sejenak, saat matanya menangkap sosok wanita yang sangat ia kenali.
Cindy bergegas menghampiri. "Oma, kok nggak masuk?"
"Nggak apa-apa, oma tadi mau ngetuk, cuma lihat ada mobil di depan makanya oma tunggu dulu. Kirain siapa, ternyata Nak Cindy. Sama pacarnya, ya?"
Pacar?
"Bukan Oma. Dia senior Cindy di rumah sakit."
Cindy membuka pintu, sudah bisa dipastikan di rumah hanya ada Bude Yanti.
"Asalamualaikum, Bude. Cindy pulang," salam Cindy.
Cindy menoleh ke oma Chan yang masih berdiri di tempatnya. "Ayo, Omah. Masuk."
"Waalaikumsalam, Mbak Cindy," sahut Bude Yanti yang berlari kecil dari halaman belakang.
"Oma, silakan duduk. Mau minum apa? Cindy bikinin minum, ya," tawar Cindy pada Oma Chan.
"Nggak usah repot-repot, Nak. Oma cuma mau titip ini. Pakaian ganti buat Chan."
Cindy melirik papper bag, yang oma genggam di tangannya. Cindy meraih papper bag tersebut. "Iya, Oma. Nanti Cindy sampaikan ke Chan."
"Nak Cindy, kapan pulang? Bukannya katanya ada di Bali?"
"Baru aja kemarin siang, Oma."
"Pulang karena Claudya sakit?" tanya Oma Chan.
"Nggak Oma, emang kebetulan tugas Cindy di Bali sudah selesai. Sekarang tugas di Jakarta lagi," jelas Cindy.
"Oh, oma kira sama seperti Chan. Kemarin Chan baru pamitan mau ke Bogor. Cuma karena oma bilang Claudya masuk rumah sakit lagi, jadinya sorenya dia balik lagi ke Jakarta." Oma Chan menatap Cindy sejenak. "Nak, Cindy. Menurut Nak Cindy, Chan orangnya seperti apa?"
Cindy berdeham, masih mencerna arah pembicaraan Oma Chan. Sebelum menjawab pertanyaan oma. Bude Yanti datang menginterupsi dengan membawakan minuman untuk Oma Chan.
"Silakan Oma, diminum." Cindy mempersilakan.
Cindy menghela napas. "Menurut Cindy, Chan teman yang baik. Dari kita kecil Chan selalu menjaga kita, terutama Cla. Sangat dijaga dengan baik oleh Chan."
"Menurut Nak Cindy, Chan pantas nggak untuk Cla?"
Jantung Cindy seperti mendapat kejutan secara tiba-tiba.
"Ma-maksud, Oma?" tanya Cindy dengan terbata. Belum siap mendengar sesuatu hal yang lebih mengejutkan lagi.
"Chan selalu cerita ke oma, tentang kalian, tapi Chan lebih sering menceritakan tentang Cla. Chan sayang sama Cla. Tapi ...,"
Oma menggantungkan kalimatnya.
"Tapi?" Cindy penasaran dengan kelanjutan apa yang hendak oma katakan.
"Tapi ... oma ragu, takut Chan nggak pantas buat Claudya."
"Cindy boleh tanya?"
"Mau tanya apa, Nak? Oma akan jawab kalau itu bisa oma jawab."
"Menurut oma, antara Cindy dan Claudya mana yang pantas untuk Chan?"
Oma sempat terkekeh. Mungkin pertanyaan yang Cindy lontarkan konyol baginya.
"Kalian berdua, sama-sama anak yang baik. Dari keluarga baik-baik. Oma sudah mengenal kalian dengan baik, sejak kalian masih kecil. Jika ditanya mana yang lebih pantas. Rasanya berlebihan," ucap oma, sesaat tatapannya menjadi serius menatap mata Cindy. "Justru oma beranggapan Chan yang kurang pantas untuk Claudya"
Claudya? Apakah oma akan bilang kalau Claudya lebih pantas untuk cucunya, ketimbang aku?
Oma melanjutkan ucapannya. "Tapi bagaimana, Chan selalu bilang ke oma. Chan sayang sama Claudya, kebahagiaan Chan bersumber dari Claudya," papar oma yang tatapannya sudah menunduk.
"Oma," panggil Cindy.
"Ya, Nak Cindy."
"Oma suka sama Claudya?"
Oma kembali menegakkan kepalanya, menatap lurus ke arah mata Cindy. Persis seperti yang ia lakukan tadi.
"Rasanya, orang tua mana yang tidak menyukai kalian. Kalian anak yang cantik, berpendidikan, santun. Bahkan dulu oma sempat berpikir, alangkah senangnya hidup oma jika punya cucu perempuan seperti kalian. Eh, ternyata adiknya Chan laki-laki," kekeh oma sembari mengingat adik tiri Chan.
Oma melanjutkan ucapannya. "Oma suka Claudya. Bukan berarti oma tidak menyukainya Cindy. Oma juga sayang Cindy dan juga Claudya."
Cindy tersenyum, "Terima kasih, ya Oma."
Terima kasih sudah menyadarkanku, bahwasanya mungkin Chan memang ditakdirkan untuk Claudya. Mungkin ini saatnya, aku harus benar-benar melupakan perasaanku, merelakan Chandrika untuk Claudya.
***
TBC.
Tanjung Enim, 24 Juni 2020
Revisi : 21 Desember 2020
Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top