3. Second Meet With dr. B
Kicauan burung gereja terdengar riuh dari luar jendela, sementara mentari pagi, sudah kembali dengan cahayanya yang malu-malu mengintip dari celah gorden yang belum terbuka dengan sempurna.
Perlahan Claudya membuka matanya, menyamakan cahaya yang masuk ke netranya, menyapu sekeliling sudut ruangan ini dengan penglihatannya.
Sesaat Claudya menghela napas jengah.
"Huh ... kenapa gue nggak pernah lepas dari ruangan membosankan ini, sih. Ini juga jarum kecil nggak pernah bosan apa nancap di tangan gue," gerutunya. "Bundaa ... Cla mau pulang ...."
Monolog Claudya sembari memperhatikan dan mengayunkan punggung tangannya di udara.
"Makanya, cepetan sembuh kalo bosan sama ruang ini," sahut Cindy, yang tanpa disadari Claudya sedari tadi duduk di sofa mendengarkan keluh kesahnya tentang rumah sakit.
Claudya memang sangat tidak menyukai yang namanya rumah sakit dan seisi perangkatnya. Dulu saat mereka memilih jurusan untuk melanjutkan kuliah. Cindy yang mantap dengan pilihan di Fakultas Kedokteran, sementara Claudya dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional.
Claudya sempat beberapa hari merajuk mendiamkan Cindy, dengan alasan ia ingin kuliah di universitas yang sama atau bahkan di fakultas yang sama dengan Cindy. Sejak kecil, Cindy yang bermimpi menjadi seorang dokter, masih teguh pada pilihannya.
Jika hanya ingin dengan jurusan yang sama, kenapa tidak Claudya saja yang mengikuti Cindy. Pikir Cindy pada saat itu.
Namun ... lagi-lagi Claudya beralasan dan tidak mau mengambil bidang yang sama dengan Cindy, karena ia tidak menyukai rumah sakit. Bahkan Claudya sangat tidak menyukai warna putih.
Claudya seperti sudah tersugesti, putih mengingatkannya pada dokter.
Dan Claudya membenci hal itu.
"Astaga! Tuhan. Cindy! Sejak kapan lo ada di sana. Bikin kaget aja tau, nggak. Gue kira penghuni halus ruangan ini."
Claudya terperanjat, sepertinya ia tidak berbohong dengan ucapannya. Tangannya memegang dada. Ia benar-benar terkejut.
"Jangan-jangan ... benar kata Chan kemarin. Lo udah kayak hantu tau, nggak. Tiba-tiba nongol aja depan muka. Nggak tau kapan datang."
Omelan panjang Claudya bisa berpotensi memecahkan gendang pendengaran jika tidak dihentikan.
"Sebelum lo buka mata dan berakhir ngajak infus ngobrol. Gue udah di sini dari tadi. Kurang kerjaan atau gimana lo, Cla. Segala botol infus lo ajak curhat."
"Haish!" Claudya berdecak. "Eh, by the way lo nggak kerja, Bu Dokter?"
"Kerja," jawab Cindy santai. "Cuma jadwal gue hari ini siang sampai sore."
"Oh ... berarti bisa bantu gue sekarang? Gue mau pipis, nih. Kebelet nggak tahan lagi. Sekalian mau bersih-bersih."
"Bentar gue siapin dulu peralatannya, gue ambilin kursi roda, mau?" tawar Cindy pada Claudya. "Atau gue panggil suster, ya? Buat bantuin lo, atau sekalian gue aja yang mandiin lo, nih."
Meski dalam keadaan sedikit menggodanya, tapi Cindy serius mengatakan ingin membantunya membersihkan diri.
"Nggak usah, gue masih bisa sendiri kok. Thank you Bu Dokter yang cantik," ucapnya sambil memberi isyarat flying kiss.
Cindy hanya tersenyum melihat tingkah Claudya yang terkadang absurd.
Tiga puluh menit berselang, Claudya sudah selesai dengan acara bersih-bersihnya. Sudah kembali mengenakan pakaian khas pasien rumah sakit dan kembali berbaring di atas ranjangnya.
Claudya yang asik berselancar di sosial medianya. Yang ia sebut fangirling online
Sementara Cindy kembali berkutat dengan pekerjaannya, karena kemarin sempat ditinggalkan dan belum terselesaikan semuanya.
"Cin ...," panggilnya yang ditujukan pada manusia lainnya di dalam ruangan ini—Cindy.
"Hum, lo butuh sesuatu?"
"Nggak butuh apa-apa, kok. Cuma mau nanya hari ini jadwal visit dokter, kan?"
Cindy hanya mengangguk dan sedikit mengerjapkan matanya, membenarkan pertanyaan Claudya.
Air muka Claudya berubah sendu sesaat. Jemari lentiknya memilin ujung baju. Cindy paham jika sudah seperti ini. Itu berarti ... ada sesuatu yang menggangu pikiran Claudya. Salah satu dari yang paling Cla tidak sukai yaitu bertemu dokter.
Pintu ruang inap Claudya diketuk dan terbuka, menampakkan dokter Bisma dan beberapa suster dari balik pintu.
"Permisi ... selamat pagi," sapa dokter Bisma dengan ramah seperti biasanya.
"Pagi," balas Cindy berbarengan dengan sahutan Claudya
"Gimana, apa kabar hari ini? sudah bisa diperiksa, kan?" Senyum ramah dokter Bisma yang terpatri sempurna di wajahnya.
Cindy melirik Claudya yang mendadak bergeming, netranya tak lepas memandangi dokter Bisma. Seperti ada sedikit ekspresi terkejut.
Sampai akhirnya ... Cindy menyenggol lengan Claudya untuk menguraikan lamunannya.
"Cla ... udah siap belum buat diperiksa? Ntar aja ngelamunnya. Tolong kondisikan pandangan lo. Liur lo hampir jatuh, tuh," bisik Cindy sambil menggoda Claudya.
"Ehh, Y-ya." Gagapnya. "Ini Dokter B, kan? masih ingat denganku, Dok? kenapa Dokter nggak praktik lagi, Dok?" Bukannya menjawab pertanyaan Cindy, Claudya malah memborong beberapa pertanyaan yang dilemparkan ke dokter Bisma untuk dijawab.
"Wah, yang mana dulu, nih. Yang harus saya jawab," kekeh dokter Bisma. "Oke. Baiklah, saya jawab semua satu-satu ya. Iya benar saya dokter Bisma, hmm ... kalau mau panggil dokter B, juga boleh, not bad." Sekali lagi dokter Bisma memasang senyum teduhnya.
"Saya masih praktik, hanya saja sekarang lebih fokus di rumah sakit. Sejak saya melanjutkan study spesialis. Tempat praktik saya serahkan pada beberapa junior saya. Sesekali saya suka cek keadaan di sana."
Setelah menyelesaikan pendidikan dokternya, dokter Bisma kembali ke Jakarta untuk membuka klinik, lalu saat ia melanjutkan pendidikan spesialis di Inggris, ia menitipkan kliniknya pada rekannya. Dan sekarang setelah meraih gelar spesialis penyakit dalam dokter Bisma hanya fokus di rumah sakit.
Gue pikir, dokter Bisma setelah nyelesaiin pendidikan langsung ke rumah sakit Kalandra. Cindy baru mengetahui hal ini.
"Kamu?" tanya dokter Bisma pada Claudya sambil mengingat-ingat.
"Aku Claudya, Dok. Yang dulu sering datang ke klinik dokter, yang ada di kawasan Cengkareng."
"Oh, Mahasiswi yang nggak pernah absen setiap satu minggu sekali datang ke klinik saya. Benar?
wah, ternyata benar kata orang, ya. Dunia sebesar daun kelor. Kita ketemu lagi. Dan ternyata kamu saudara dokter Cindy."
Dokter Bisma tersenyum lagi." Mungkin tiga atau empat tahun dari terakhir kita bertemu," lanjutnya.
"Nggak, Dok. Dunia nggak selebar daun kelor. Buktinya aku nggak pernah, tuh. Ketemu bias di jalan atau ketemu bias lagi nongkrong," jawab Claudya dengan santainya.
"Bias? What is that?" tanya dokter Bisma bingung.
Kembali Cla memakai istilah-istilah yang biasa ia gunakan pada oppa kesayangannya. Cindy saja tidak mengerti dengan istilah tersebut.
"Iya, Dok. Hmm ... bias itu istilah untuk idol atau aktor favorit kita dari Korea."
"Oh, saya mengerti sekarang. Are you a korean lover?"
"Ya, Dok, I really like everything about Korean. Singers, songs, films, dramas and even more so in their culture," jelas Claudya dengan mata berbinar semangat.
"Apa Dokter juga sama?"
"Hmm ... saya tidak begitu mengerti tentang musik mereka. But I also like Korean culture." Dokter Bisma menjelaskan sebelum hening sesaat, kemudian membuka suara kembali. "By the way, gimana kabar pacar tinggimu itu?"
"Dia bukan pacar saya, Dok," jelas Claudya dengan malu-malu.
Cindy yang sejak tadi masih bingung tentang Claudya dan dokter Bisma yang ternyata sudah lama saling mengenal.
Cindy cukup terkejut dengan dokter Bisma yang suka berbicara panjang lebar ... selain topik tentang kondisi pasien.
Mungkin ini alasan kenapa dokter Bisma bisa terkenal di kalangan pasien dan rumah sakit lain.
Cukup lama acara reuni dadakan Claudya dan dokter Bisma, tiba-tiba harus teralihkan oleh salah seorang suster menginterupsi dokter Bisma, untuk melakukan pemeriksaan.
"Baiklah, saya periksa dulu ya. Maaf, ya. Ngobrolnya kita sambung lain kali," ucap dokter Bisma yang mulai memeriksa Claudya dan memposisikan stetoskop di dada Claudya.
Satu perawat mencacat semua yang di ucap dokter Bisma pada map hijau yang sejak tadi dipegangnya. Dari suhu tubuh, tensi darah sampai obat apa saja yang harus diberikan ke Claudya nantinya.
"Cepat sembuh ya. Saya permisi," ucap Dokter Bisma, diiringi suster yang membantunya dan berlalu hilang di balik pintu.
Selesainya dokter Bisma melakukan tugas, Cindy menghantarkannya hingga ke pintu, Cindy berbalik menghadap Claudya menuntut penjelasan. Bagaimana Claudya bisa mengenal dokter Bisma yang sepertinya sudah kenal sejak lama.
"Sekarang jelaskan, gimana lo bisa kenal dokter Bisma?"
"Lo kenapa nggak pernah cerita, sih. Kalo Dokter B ada di rumah sakit yang sama dengan lo."
"Hei, come on Sist. Please answer my question first. Explain everything." Cindy mendelik. "Dan ... ngapain juga gue cerita ke lo, sejak kapan juga lo exited dengan yang namanya dokter dan rumah sakit?" sindir cindy pada Claudya.
"Oke ... gue jelasin semuanya. Ingat waktu gue harus dilarikan ke rumah sakit karena kecapekan ikut ospek? dulu tempat praktik dokter B, nggak jauh dari kampus gue. Dan kebetulan juga tim medis kampus waktu itu salah satunya, ya dokter B ini."
"Terus, setelah itu lo rajin datang ke kliniknya meski nggak sakit, gitu?" Tatapan curiga Cindy tudingkan ke Claudya.
"Hehehe... iya. Habisnya, dokter B ganteng parah sih, Cin. Udah kayak boyband korea tau nggak. Terus ramah lagi. Padahal gue datang ke kliniknya cuma buat tanya dan konsultasi doang." Claudya mulai bercerita dengan semangat.
"Lo tau, kan. Baekhyun member Exo? Dokter B itu nggak kalah ganteng lah, sama Baekhyun Exo."
"Mana gue tau, Cla. Baekhyun Exo yang mana. Oppa-oppa korea lo bejibun saking banyaknya."
"Iya, deh. Lo, kan nggak pernah tertarik keluar zona aman. Yang lo tau belajar dan sekarang kerja ... kerja dan kerja," ledek Claudya di barengi dengan tawanya.
Cindy lebih menyukai berdiam diri di rumah dengan buku bacaan. Untuk urusan selera musik dia lebih menyukai musik dengan melodi yang lembut dan menenangkan. Berbeda dengan Claudya yang sangat menyukai Kpop.
"Sekarang ... masih sering ke klinik dokter Bisma?"
"Udah nggak lagi. Waktu semester lima, gue datang kesana awalnya sih nggak tau. Tapi dua kali gue kesana, dokter B selalu nggak ada dan di gantiin sama dokter lain."
Claudya menjeda ceritanya sejenak, kemudian melanjutkannya. "Akhirnya gue tanya sama dokter pengganti. Ternyata dokter B, melanjutkan study-nya dan di gantikan sama juniornya."
Claudya menarik napas dalam, mengembuskan perlahan. "Sejak itu, gue nggak pernah datang lagi kesana, deh."
Ekspresi Claudya sempat murung namun beberapa detik kembali tersenyum.
"Tapi nggak apa-apa, Cin. Sekarang, kan udah ketemu lagi!"
seru Claudya, memamerkan senyum khasnya.
"Terus, siapa yang di maksud dokter Bisma pacar lo tadi?" Cindy menyelidiki Claudya.
"Yeh.. lo tau sendirilah, Cin. Siapa cowok tinggi kayak galah pohon mangga pak RT, yang selalu nempel kayak lintah di gue."
Cindy dan Claudya sejenak saling memandang, menyebutkan satu nama.
"CANDRIKA," ucap mereka berbarengan diiringi dengan kekehan.
"Ya kenapa? ada Apa?"
.
.
.
To Be continue.
.
.
Re-publish, 16 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top